Opini  

Kargoisme dan harapan akan masa depan OAP (2/3)

Kargoisme, Agama, Spiritual
Foto ilustrasi. - pixabay.com

Oleh: Bernardus Bofitwos Baru OSA *

Saya pernah mendengar langsung pernyataan seorang anggota kelompok pemuda asli Papua yang berjuang demi masa depan Papua. Ia mengatakan bahwa mereka sudah “bernegosiasi” dengan roh-roh leluhur di Tanah Papua untuk pergi berperang menghancurkan Jakarta sebagai pusat kejahatan bagi orang Papua. Dengan demikian, strategi, target dan daya upaya untuk mengatasi krisis menjadi mandul atau tidak berdaya guna. Yang terjadi sebaliknya, reaksional, irasional dan emosional–yang tidak mempunyai strategi, metode, target dan tujuan untuk mencapai titik akhir dari sebuah perjuangan yang dicita-citakan bersama.

Ada juga aspek negatif lain dari cara berpikir kargoisme ini, yaitu para tokoh yang mendirikan kultus kargo ini memposisikan diri sebagai “mesias” atau “penyelamat”. Karena beranggapan bahwa merekalah yang akan mengeluarkan masyarakatnya dari krisis, menuju masa depan yang lebih baik dan akan terjadi pembaharuan radikal.

Konsep berpikir kargoisme ini yang selama ini turut mempengaruhi cara berpikir dan mentalitas para pemimpin sipil-politik lokal dan pemimpin agama di Papua. Mereka menjadikan dirinya penyelamat (mesias) secara politik dan ekonomi. Peran mereka sebagai penyelamat (mesias) politik dan ekonomi diidentikkan dengan kekayaan secara status sosial-politik dan kelimpahan materi, seperti, uang, mobil, rumah, dan lain-lain.

Cara berpikir kargoisme ini tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga bersifat positif. Pemikiran kargoisme pada dasarnya dilandasi oleh cara berpikir eskatologis (zaman akan datang atau parusia) yang dasari oleh pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Masa depan yang dimaksudkan adalah masa depan hidup kita di dunia dan setelah kematian.

Bagaimana kita menyiasati masa depan kita di dunia dan setelah kematian? Untuk meraih masa depan hidup yang lebih baik, tidak terlepas dari masa lalu dan masa kini. Masa lalu dan masa kini adalah objek konstruksi masa depan.

Berbicara tentang masa berarti berbicara tentang waktu. Apa itu waktu (time)? Apakah waktu berkaitan dengan jam? Ataukah waktu itu ruang? Apakah waktu itu ide?

Menurut filsuf Martin Buber dan St. Augustinus, hakikat waktu adalah tidak memiliki waktu lalu dan akan datang. Waktu tidak berkaitan dengan jam, tetapi berkaitan dengan angka-angka. Angka-angka adalah simbolisme kesadaran atas eksistensi. Eksistensi berkaitan dengan kehidupan (bios) yang atomik dan energik. Waktu pada hakikatnya adalah pada saat ini.

Menurut mereka bentangan waktu itu ada di dalam ide (pikiran) dan hati manusia. Ketika manusia memulai suatu ide atau aksi, maka pada saat itu juga ia sedang mengkonstruksi sesuatu yang berlanjut pada hari ini, sehingga menjadi memoria/kenangan, yang disebut sejarah.

Sedangkan yang menjadi cita-cita ke depan adalah harapan. Karena bagi M. Buber dan St. Augustinus, ketika kita memulai suatu karya, berarti kita sedang membagun suatu nilai sebagai bagian dari kekekalan waktu. Karena nilai dan waktu adalah bagian dari Sang Kekekalan (Allah) itu sendiri.

Jadi, dampak positif cara berpikir kargoisme pada dasarnya membentuk mentalitas spiritual, agar kita mampu menghadapi segala persoalan atau krisis hidup di dunia ini secara rasional dan objektif, serta beriman yang kokoh, sambil bersandar penuh kepada rencana dan rancangan Tuhan atas hidup kita. Keteguhan iman rasional dan objektif tersebut diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri kepada kita melalui via dolorosa (jalan penderitaan-Nya) yaitu jalan sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.

Harapan akan masa depan yang lebih baik–lebih membahagiakan itu–terletak pada kemampuan bertahan, sekaligus berupaya (berjuang) mencari solusinya secara rasional, objektif dan terencana, sambil bersandar kepada rencana dan rancangan Allah (dimensi iman). Karena itu, cara berpikir kita sebagai manusia yang berakal budi sekaligus beriman, mestinya mampu menyikapi segala bentuk krisis dalam hidup kita di dunia ini dengan keyakinan atau iman yang rasional (fides quaerens intellectum). Dengan demikian, kita mampu mempertanggungjawabkan secara objektif, melalui berbagai program kerja nyata, bukan mengandalkan emosi yang irasional dan bersandar kepada narasi kargoisme negatif.

Adapun aspek positif lainnya, yaitu gerakan kargoisme adalah salah satu bentuk upaya perlawanan terhadap pengaruh dan dominasi agama Kristen atas agama asli. Gerakan kargoisme ini sebagai bentuk rancang-bangun teologi pribumi yang berbasis kepada sistem kepercayaan agama asli.

Yang dimaksud dengan rancang-bangun teologi pribumi adalah suatu bentuk formulasi teologis yang berbasis dari unsur-unsur agama asli (agama suku), yang bertujuan untuk mempertahankan unsur-unsur agama aslinya dari serbuan dan dominasi unsur-unsur agama luar, khususnya agama Kristen (Katolik dan Protestan). Dominasi bahkan pemusnahan unsur-unsur agama asli (agama suku) oleh agama Kristen sebagai faktor pendorong lahirnya gerakan kargoisme ini.

Konsep rancang-bangun teologi pribumi ini diangkat dan didalami oleh Pdt. Dr. Benny Giay (2022) melalui disertasinya berjudul “Zakheus Pakage dan Komunitasnya Wacana Keagamaan Pribumi Perlawanan Sosial-Politik dan Transformasi Sejarah Orang Mee, Papua”.

Ada pula aspek positif dari fenomena kargoisme ini adalah upaya menghidupkan konsep mitos tentang asal-muasal dunia dan manusia yang berkulminasi pada pandangan akan masa depan, yaitu pandangan apokaliptik. Melalui gerakan kargoisme dapat mengajak masyarakat agar merenung kembali tentang asal-usul dunia dan manusia, serta tujuan akhirnya melalui metode prediksi dan intuisi tentang masa depannya.

Konsep apokaliptik adalah prediksi dan intuisi tentang masa depan manusia melalui metode penglihatan (vision),  dengan menggunakan bahasa-bahasa simbol dan alegoris (kiasan). Dengan demikian, fenomena kargoisme dapat dilihat sebagai upaya penyatuan dua konsep, yaitu mitos tentang asal-usul alam dan manusia, serta visi apokaliptik tentang masa depan sebagai kepenuhan ciptaan Allah, baik makro maupun mikro kosmos. Maka aspek negatif gerakan kargoisme terjadi karena ketidakmampuan rasional-objektif para pemimpin dan pengikutnya menyatukan kedua konsep ini ke dalam sebuah formulasi objektif rasional. Konsep ini oleh beberapa filsuf, khususnya Jurgen Habermas sebut sebagai pergeseran dari mitos ke logos, yaitu dari narasi tentang intuisi ilahi ke dalam refleksi akal budi – ilmiah.

Penyatuan visi masa lalu dan masa depan pada masa kini dalam konsep apokaliptik adalah visi mesianik yang diwartakan oleh Tuhan Yesus. Maka hal yang sama yang diusung oleh kargoisme sebagai gerakan mesianik apokaliptik. Tujuannya adalah mengajak pengikutnya untuk merenungkan tentang zaman akhir (eskatologis). Tentang ajaran akhir zaman ini, Ronald Gregor Smith dalam bukunya “The Whole Man, Studies in Christian Anthropology (1969)” mengatakan bahwa masa lalu dan masa yang akan datang menyatu pada masa kini (masa sekarang).

Menurut Gregor, inkarnasi Sabda menjadi manusia adalah masa depan manusia yang sudah dimulai pada masa kini. Masa depan manusia dan alam raya sudah dimulai saat ini di dunia ini, dan akan menjadi utuh dan sempurna di masa yang akan datang (masa eskatologis). Maka masa yang akan datang adalah menjadi penting pada masa lalu dan masa kini. Dan sebaliknya, masa lalu dan kini juga menjadi penting bagi masa yang akan datang.

Pemikiran tersebut di atas sama dengan apa yang dikatakan oleh P.D. Hason. Menurutnya pemikiran apokaliptik adalah bagian integral dari gerakan kenabian (mesianik) yang menekankan aspek eskatologis–tidak hanya eskatologis akhir zaman (parusia), tetapi juga eskatologis zaman kini, yaitu waktu sekarang menuju ke masa depan dalam proses sejarah manusia (D.S. Russell: 1993).

Karena itu, mitologi tentang kedatangan Kristus yang kedua kalinya memberikan penegasan kepada kita bukan tentang berakhirnya dunia ini. Bukan pula kejadian di luar sejarah atau berakhirnya sejarah, tetapi tentang penggenapan dan penyempurnaan sejarah manusia itu sendiri. Kedatangan Kristus yang kedua kali sebagai bentuk komprehensif (menyeluruh) dalam sejarah yang baru atau sejarah yang berbeda.

Namun, sejarah kedatangan Kristus yang pertama tidak berbeda dengan sejarah kedatangan kedua-Nya. Perbedaannya terletak pada penyempurnaan dan pemenuhan sejarah yang pertama dalam sejarah yang kedua.

Bersambung. (*)

* Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua. 

Comments Box

Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130
banner 728x250