Oleh: Pares L. Wenda
Tulisan ini saya sajikan kepada pembaca setelah Drs. Moksen Idris Sirfefa meminta saya dalam grup ”The Spirit of Papua” menulis perspektif Soekarno dan Mohamad Yamin. Moksen meminta saya menulis setelah membaca tulisan”Mengangkat Kembali Pemikiran Bung Hatta Untuk Resolusi Konflik’’(Suarapapua.com, 30/10/2019) yang saya publikasi kembali setelah penembakan anggota TNI pada 15 April 2023 di Nduga-Papua oleh TPNPB pimpinan Egianus Kogoya. Keberadaan anggota TNI di wilayah itu untuk mencari pilot Philip Marten yang disandera pasukan TPNPB sejak 7 Februari 2023.
Saya pun menyertakan pandangan Mohammad Hatta dan Ishak Samuel Kijne tentang resolusi konflik Papua. Tentu dalam perpektif ilmiah, kritis dan lugas, untuk melihat secarah jernih, jujur dan bijaksana, tentang akar konflik Papua. Pandangan Ishak Semauel Keinje bukan teori, tetapi pandangan profetis yang belum terwujud. Jika terwujud kelak, maka nubuatan itu tergenapi.
Pandangan Hatta adalah pandangan seorang tokoh dan negarawan yang berpikir objektif. Di Indonesia sekaliber Mohammad Hatta adalah Gus Dur. Namun, kali ini saya mengangkat tokoh peletak dasar NKRI itu, dalam kaitannya dengan resolusi konflik Papua.
Resolusi konflik, dalam konflik apapun teori resolusi konflik menjadi sarana atau alat untuk menjawab kebuntuan akibat konflik parah pihak.
Judul tulisan ini sengaja dipilih untuk membedakan apakah pandangan Mohammad Yamin dan Soekarno atau Mohammad Hatta dan I.S Kijne sebagai sebuah resolusi konflik Papua.
Lalu dimana posisi orang Papua asli yang kebangsaannya dibicarakan oleh keempat tokoh tadi? Dimana dan kapan orang Papua asli berbicara tentang masa depannya? Apakah masa depan mereka ditentukan oleh mereka sendiri sejak awal atau ditentukan di Jakarta, Amsterdam, New York, Cambera, atau Roma?
Pertanyaan lain yang penting juga adalah apakah Belanda menjajah Papua? Sehingga Soekarno dan Mohammad Yamin hadir sebagai pejuang resolver konflik Papua, dimana, dilakukan negosiasi dengan Belanda untuk medapatkan Papua? Jika demikian, mengapa hingga kini konflik Papua terus terjadi?
Sejumlah buku menulis bahwa Belanda di Papua tidak pernah menjajah. Belanda tidak dianggap sebagai penjajah dan mengkolonisasi Papua.
Buku-buku itu, diantaranya, Socratez Sofyan Yoman (2000) ”Pintu Menuju Papua Merdeka.”, Tom Beanal (2000) ”Kata Hati Tombeanal”, John Salford (2003) “The United Nation and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969”, Socratez Sofyan Yoman (2005) ”Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM”, Neles Tebay (2006) ”Upaya Lintas Agama Demi Perdamaian di Papua Barat”, L.E.Visser dan A.J.Marey (2008) ”Bakti Pamong Praja Papua, Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia”, Muridan S. Widjojo (2009) “Papua Road Map”, Neles Tebay (2009) ”Dialog Jakarta-Papua Sebuah Perspektif Papua”, P.J. Drooglever (2010) ”Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”, Bernarda Meteray (2012) ” Nasionalisme Ganda Orang Papua” dan Rosmida Sinaga (2013) ”Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962”.
Buku-buku di atas tidak melulu berbicara tentang konflik Papua-Jakarta sejak 1945 sampai1969-an, 1960-1999, dan 2000-sekarang. Tetapi setidaknya mengulas sejarah kekerasan konflik Papua, baik kekerasan verbal, maupun kekerasan nonverbal yang terus terjadi di Tanah Papua.
Dengan kata lain, usulan Mohammad Yamin dan Soekarno tidak membuahkan resolusi konflik Papua, karena pelaksanaan Act of Free Choice ternyata masih mendapat perlawanan dari pihak Papua. Act of free choice (1969) bukan sebuah resolusi konflik Papua. Konflik waktu itu juga bukan konflik Papua-Jakarta, melainkan konflik Jakarta-Belanda tentang Papua.
Papua tidak dimintai pendapatnya dalam sengketa Amsterdam-Jakarta-Belanda, dan segala keputusan ditetapkan di luar kehendak orang Papua asli. Orang Papua asli dipaksa memilih dalam Act of free choice 1969, sehingga dalam konteks ini tentu bukan resolusi konflik.
Atau pendekatannya bukan nonlitigasi, melainkan pendekatan litigasi. Dan tentu saja menggunakkan kekuatan negara. Artinya, menekan yang lemah, sehingga Papua dipaksakan hanya menerima hasilnya.
Kalau begitu apa itu resolusi konflik? Resolusi konflik menurut Simon Fisher, et al. (2000:7) adalah menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Dalam konteks Papua, konflik Jakarta-Belanda dalam perebutan Papua berakhir setidaknya pada pengakuan Indonesia sebagai negara merdeka pada tahun 1949 dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda; dan setelah Act of Free Choice 1969.
Lalu Jakarta dan Papua masuk dalam fase konflik baru sejak pra, during, and pasca Act of free Choice ini. Hingga sekarang tidak menghasilkan resolusi konflik permanen. Karena kedua belah pihak belum membangun hubungan baru yang harmonis dan bisa diharapkan bertahan lama. Di Papua hingga kini belum tercipta apa yang disebut dengan perdamaian negatif, apalagi menciptakan perdamaian positif.
Tahun 2022 Komnas HAM RI mendorong jeda kemanusiaan, tetapi tidak terjadi. Padahal mungkin itu salah satu instrumen perdamaian negatif, karena dengan begitu tahapan selanjutnya adalah mendorong perdamaian positif – para pihak yang berkonflik bisa bicara untuk menciptakan Papua yang damai tanpa kekerasan dan konflik.
Kalau berkaca dari teori konflik Fisher et al. (2000:8), maka konflik Papua digolongkan ke dalam teori negosiasi prinsip. Teori ini menganggap konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Upaya negosiasi prinsip dilakukan untuk mencairkan posisi Papua dan Jakarta yang belum cair, belum lunak, masing-masing tetap pada posisi. Jakarta berpandangan bahwa masalah Papua final usai after act of free choice yang dicatat United Nation (UN) melalui Resolusi 2054 di PBB (take note). Sedangkan Papua berpendapat bahwa act of free choice tidak sesuai keputusan atau kesepakatan New York Agreement. Singkatnya tidak sesuai mekanisme internasional.
Itu terbukti bahwa tidak ada referensi yang disebutkan di atas yang menyatakan bahwa Act of free Choice adalah sah (Yoman, 2005:15-109 dan Drooglever, 2005—yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia 2010:771-789). Keduanya memberikan simpulan yang sama, meskipun narasinya berbeda.
Keduanya menunjukkan bahwa masalah Papua belum final di dalam Indonesia, sehingga perlu sekali dikomunikasikan ulang. Orang Papua dengan keadaan saat ini sangat menyadari bahwa masa depan Papua harus dikomunikasihkan ulang oleh Papua-Jakarta yang difasilitasi pihak ketiga. Bagi Amsterdam-Jakarta telah final, tapi bagi Jakarta-Papua belum final.
Referensi di atas juga tidak membahas bahwa Belanda sebagai negara kolonial telah melakukan kekerasan terhadap orang-orang di Papua, sehingga ada gerakan penentuan nasib sendiri. Buku ini lebih banyak membahas dan mendorong resolusi konflik Papua di dalam kekuasaan dan kontrol Jakarta di Papua. Bersambung. (*)
Penulis adalah Anggota Members at Large Youth Department of Baptist World Alliance mewakili Indonesia dari Papua dan pemerhati masalah social-politik Papua.
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!