Oleh: Helmi
Hukum idealnya menjadi sarana untuk melayani kepentingan-kepentingan seluruh masyarakat yang mengadakan hukum itu. Dan peradilan menjadi paradigma sebagai simbol keadilan yang mengeluarkan putusan-putusan pengadilan, untuk memberikan putusan kepada warga masyarakat, khususnya yang berurusan dengan suatu perkara di pengadilan.
Marzuki dalam pengantarnya pada buku Sutiyoso (2010: ix) mengemukakan bahwa dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi seringkali dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan pencari keadilan.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3 huruf e menegaskan, peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya sering terjadi penundaan waktu persidangan karena penegak hukum cenderung tidak konsisten. Salah satu dampaknya adalah status hukum terdakwa tidak jelas.
Dalam menjalani proses hukum di persidangan seorang terdakwa akan dihadapkan dengan aparat penegak hukum, yang dengan segala kewibawaannya menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang.
Apabila terjadi penundaan waktu persidangan yang berlarut-larut, maka dampak negatif yang sangat berat dirasakan terletak pada pihak terdakwa.
Dalam persidangan kasus makar di Papua, tidak sedikit jumlah warga Papua yang ditahan, dikriminalkan, bahkan diproses hukum hingga sampai pada proses persidangan karena soal ekspresi politiknya.
Menariknya, Mahkamah Konstitusi atau MK melalui putusannya Nomor 7/PUU-XV/2017 memberikan panduan dalam argumen ratio decidendi khusus interpretasi frasa makar dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana. Penafsiran diberikan oleh Mahkamah Konstitusi setelah melihat realitas penegakan hukum telah banyak disalahgunakan dalam penerapan pasal makar.
Hal demikian bertentangan dengan kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berekspresi, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Stephen Schafer, misalnya, mengidentifikasi setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik, salah satunya kejahatan terhadap negara/keamanan negara.
Dalam KUHP, kejahatan terhadap keamanan negara diatur dalam Bab I Buku Kedua yang salah satunya adalah makar. Dengan demikian sudah selayaknya proses hukum di persidangan dalam mengadili perkara makar seharusnya mengutamakan proses hukum yang adil.
Proses hukum yang adil merupakan proses yang menjunjung tinggi hak, baik itu hak korban, maupun hak pelaku tindak pidana. Yang dimaksud adil dalam proses hukum adalah prosedur hukum yang ada dilaksanakan dengan mengakomodasi unsur-unsur keadilan, serta diselenggarakannya proses peradilan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. Ini diharapkan tidak terjadi adanya suatu penundaan-penundaan persidangan yang berlarut-larut.
Oleh karena proses peradilan pidana mengakibatkan orang yang menjalani proses hukum tersebut merasa terampas hak-haknya.
Dengan demikian diharapkan adanya penegakan hukum dalam perkara tindak pidana makar yang tidak hanya menitikberatkan pada penegakan atas aturan yang dilanggar, tetapi juga adanya keseimbangan terhadap penegakan hukum pada perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa, agar keadilan dan kepastian hukum paling tidak, dapat tercapai. (*)
Penulis adalah advokat pada Aliansi Demokrasi untuk Papua
Discussion about this post