Opini  

Pinang mama Papua dalam cengkeraman migran

Mama Papua
Mama Nanda Howay di pondok pinangnya. – Jubi/Suara Papua-Maria Baru

Oleh: Debi Debora Okowali 

Awalnya saya berpikir biasa saja, tetapi lama-lama ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikiran saya. Judul esai ini diangkat karena keresahan saya dan mungkin sebagian orang asli Papua atau OAP yang sadar akan eksistensi mama Papua dalam mempertahankan hak-hak ekonominya.

Bagi OAP, mama adalah sumber dan harapan hidup. Orang Papua merasa bahwa hidup tanpa mama sama dengan kehilangan kasih sayang dan harapan hidup. Mama identik dengan kehidupan.

Oleh karena itu, orang Papua kadang-kadang merasa lebih baik kehilangan bapa dari pada mama, karena mereka senantiasa hidup dalam kasih sayang dan kedamaian bersama mama. Mama sering diasosiasikan sebagai tanah atau sebaliknya yang menjadi air susu kehidupan, sehingga Tanah Papua diasosiasikan sebagai mama yang memberikan susu kehidupan bagi semua orang.

Dalam kehidupan sehari-hari peran mama sangat sentral, terutama menggerakkan perekonomian keluarga. Peran mama dalam hidup orang Papua penting. Namun bagaimana kalau hak-hak dasar ekonominya dibatasi ruang geraknya tanpa disadari?

Fakta itu yang saya lihat, ketika diperhadapkan dengan kaum migran dari luar Tanah Papua yang memiliki modal yang cukup dengan network yang solid menguasai ekonomi riil di Tanah Papua. Salah satu faktor ketidakberdayaan ekonomi mama-mama Papua adalah migrasi penduduk dengan motif ekonomi yang pada beberapa dekade terakhir ini cukup tinggi.

Kalau kita lihat dari tren migrasi besar-besaran ke Tanah Papua dari data BPS tahun 2015 menunjukkan migrasi neto di Provinsi Papua sebanyak 402,395. Angka ini terus bertambah hingga tahun 2019 sebanyak 26,181 jiwa, sehingga total migran neto sebesar 428,576 dan ada lima provinsi besar asal migran seumur hidup yang datang ke Provinsi Papua berasal dari Sulawesi Selatan 31,4%, Jawa Timur 16,7%, Jawa Tengah 11,4%, Maluku 8,5%, dan Nusa Tenggara Timur 5,3%. Migran terampil yang ke Papua kebanyakan menjadi ASN, sebagian menjadi pegawai swasta di berbagai perusahaan, menjadi pengusaha, tukang ojek, sopir taksi (angkutan kota), tukang bangunan, dan sebagainya.

hutan sagu
Hutan sagu di Kabupaten Jayapura, Papua. – Jubi/Dok

Kita bisa melihat dominasi penduduk migran dari menjamurnya berbagai bangunan BTN dan ruko-ruko di wilayah Kota dan Kabupaten Jayapura. Dulu waktu saya masih kecil awal tahun 2000-an daerah Sentani, terutama di wilayah Yahim, Kehiran, dan Doyo masih diselimuti hutan sagu.

Namun, saat ini wilayah-wilayah tersebut dipadati dengan perumahan BTN, ruko-ruko, dan perkebunan yang mayoritas didominasi oleh penduduk migran. Dulunya saya masih bisa menyaksikan pepohonan yang hijau dan burung-burung berkicauan. Namun, saat ini hanya melihat rumah-rumah warga dan suara kebisingan kendaraan dari berbagai arah. Mungkin itulah yang disebut dengan globalisasi dan modernisasi yang kita rasakan di Papua beberapa dekade ini.

Setiap kali saya naik pesawat dari wilayah Jawa ke Tanah Papua ataupun sebaliknya, melihat penumpang orang asli Papua jumlahnya sangat sedikit, mungkin kita bisa hitung dengan jari saja.

Sedangkan penumpang non-Papua yang ke Tanah Papua atau sebaliknya mendominasi berbagai maskapai penerbangan. Bukan berarti saya berpikir rasis. Namun fenomena sosial ini kalau tidak disadari dan dikritisi akan memberikan dampak buruk bagi kelangsungan hidup OAP.

Kalau saya lihat dari sisi positif, dominasi penduduk migran tentu akan mempercepat peradaban Tanah Papua menjadi lebih modern namun di sisi lain memperburuk eksistensi OAP yang saat ini sudah menjadi minoritas dan tidak berdaya saing dari berbagai dimensi kehidupan.

Saya melihat ruang gerak pengembangan ekonomi bagi OAP semakin sempit, terutama mama-mama Papua yang menjadi tumpuan utama ekonomi keluarga. Mama-mama Papua selama ini hanya bisa menjual sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu-bumbu, dan pinang di depan pasar dan emperan toko dengan beralaskan kardus, karung, dan beratap langit. Ada juga yang menjual pinang di tempat putaran taksi, pangkalan ojek, dan pertigaan jalan. Saat menyaksikan fenomena ini sangat menggugah hati dan pikiran saya yang benar-benar sadar akan realitas hidup OAP.

Ketidakberdayaan ini bagi orang yang belum sadar dan paham anggap biasa saja, namun bagi orang yang sadar akan eksistensi OAP secara umum dan khususnya Mama-mama Papua adalah suatu ketidakadilan dan pengabaian hak-hak dasar dalam bidang sosial ekonomi.

pohon pinang
Ilustrasi, kebun pohon pinang. – Jubi/Greeners.co

Dalam esai ini saya fokuskan pada pinang. Pinang merupakan buah khas yang ditanam serta dikonsumsi oleh orang asli Papua dalam kehidupan sehari-hari secara turun-temurun. Pinang menjadi santapan pencuci mulut usai makan atau dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Bagi orang Papua buah pinang adalah simbol jati diri dan persaudaraan, sehingga buah pinang ini selalu ada dan berdampingan dengan orang Papua.

Hampir mayoritas orang Papua, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, mengonsumsi buah pinang setiap hari. Boleh dibilang tiada hari tanpa pinang. Dari acara-acara adat, pembayaran maskawin, nikah, ibadah, hingga duka dan masih banyak acara yang tidak saya sebutkan, masyarakat Papua sudah pasti menyediakan pinang sebagai salah satu menu spesial pencuci mulut. Pinang sudah menjadi identitas orang Papua, bahkan lebih dari itu mengunyah pinang bagi masyarakat Papua adalah sebuah simbol dan bukti kecintaan terhadap Tanah Papua.

Pinang memiliki nilai ekonomis sekaligus nilai budaya yang sangat tinggi. Ketika berbicara tentang pinang maka yang terlintas di benak orang pada umumnya adalah mama Papua karena mereka yang selalu menjual pinang. Namun menurut pengamatan saya selama ini di pasar Sentani, Youtefa Kota Jayapura, dan hampir sebagian besar pasar di Kota dan Kabupaten Jayapura penjual pinang didominasi oleh kaum migran. Ini membuat ancaman serius bagi mama Papua yang selama ini menghidupi perekonomian keluarga, baik kebutuhan pendidikan anak, Kesehatan, dan kebutuhan rumah tangga.

Mama Papua yang selama ini hidup dari hasil jual pinang mulai terancam dengan pesaing migran. Dengan modal yang cukup besar para migran berhasil memborong dari penadah pinang di pasar yang dijual OAP dengan harga murah dan dijualkan kembali, dibandingkan dengan mama Papua yang hanya berjualan dengan modal seadanya dan untuk diputarkan kembali dengan mendapat keuntungan dalam jumlah sedikit.

Berjualan pinang saat ini merupakan salah satu sumber hidup orang Papua, jika dikuasai oleh migran maka tingkat kesejahteraan OAP akan menjadi buruk dan berdampak pada kemiskinan yang sulit terkontrol. Bahkan fenomena ini khusus buat demand komoditas pinang dari pebisnis migran sudah tergolong “monopoli” yang hingga saat ini sulit terhindarkan.

Papua mesti belajar dari Kalimantan Barat pada tahun 2018 mengekspor 3.600 ton pinang dengan Rp 103 miliar, Pangkalpinang tahun 2019 mengekspor 3.300 ton pinang dengan nilai Rp 93 miliar, dan tahun 2021 di masa pandemi, Jambi mengekspor 73.716 ton pinang dengan nilai Rp 2,039 triliun. Presiden Jokowi melepas komoditas pinang untuk di ekspor ke Thailand, Iran, India, China, dan Pakistan untuk diolah menjadi berbagai macam produk mulai dari produk kesehatan hingga kecantikan.

Sebenarnya ketersediaan pinang di Tanah Papua juga tidak kalah saing untuk diekspor ke berbagai negara, hanya saja orang Papua sebagai pemilik komoditas ini tidak memiliki akses modal, manajemen, dan network untuk ekspor.

Dalam skala lokal saya amati selama ini yang menjadi masalah utama yaitu kemudahan akses ke pasar. Hanya mau menjual pinang ke kota para petani harus mengeluarkan ongkos yang cukup mahal. Kadang-kadang hasil jual pinang sebagian dipakai untuk membayar biaya ongkos transportasi.

Beberapa contoh kampung yang ada di Kabupaten Jayapura ke pasar Sentani, para petani ini harus menempuh perjalanan selama 2-4 jam dengan tarif yang cukup mahal. Misalnya tarif per-Maret 2022 dari kampung Demta-Sentani PP Rp 100.000, Berap-Sentani PP Rp 70.000, Warombaim-Sentani PP Rp 60.000, Dormena-Sentani PP Rp 120.000, Depapre-Sentani PP Rp. 60.000, Maribu-Sentani PP Rp 30.000.

Sama halnya dengan para petani pinang di kampung-kampung di Kabupaten Keerom yang mau berjualan di Kota Jayapura. Mereka harus menempuh selama tiga jam dengan ongkos yang mahal juga. Kalau menggunakan transportasi umum masih membatasi jumlah barang karena dalam satu mobil berisi banyak orang. Sedangkan menggunakan kendaraan dengan sistem sewa akan membutuhkan biaya hingga ratusan ribu rupiah. Tentu ini menyulitkan para pedagang pinang dari kampung-kampung untuk dijual ke kota. Apalagi saat ini belum adanya kendaraan khusus yang disediakan untuk mengangkut hasil bumi, terutama pinang untuk dijual ke kota.

buah pinang
Buah pinang adalah simbol perekat masyarakat Papua. – Jubi/IST

Oleh karena itu, ada beberapa solusi yang saya tawarkan dalam esai ini, yaitu perlu adanya perhatian serius dari pemerintah daerah terhadap Mama-mama Papua yang menggantungkan hidupnya dari jualan pinang di depan pasar dan emperan toko, yang beralaskan karton dan karung bekas dengan beratap langit. Kita mesti menempatkan mereka dengan fasilitas jualan yang layak dan berwibawa, sebab mama Papua sebagai simbol dan harga diri OAP.

Anggaran otonomi khusus juga sudah semestinya memodali mama-mama Papua untuk mendukung pengembangan usaha pinang dan barang dagangan lainnya. Sebab yang saya amati selama ini permodalan menjadi salah satu penghalang eksistensi ekonomi OAP.

Pemerintah daerah juga perlu membuat Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sebagai turunan dari UU Otonomi Khusus untuk melindungi serta memberikan keberpihakan kepada masyarakat asli Papua, misalnya pinang dan bahan pangan tertentu yang identik dengan Papua hanya dijual oleh OAP agar identitas budaya tetap terjaga dan juga eksistensi ekonomi lokal terus ada dan berkembang.

Selain itu, pemerintah daerah perlu memikirkan wadah yang bisa menampung dan mengelola bahan pangan dan produk dari OAP, misalnya dengan membuat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ataupun bisa bekerja sama dengan pihak swasta mendirikan industri pengolahan bahan pangan, terutama pinang yang menjadi tumpuan ekonomi OAP.

Dengan cara ini Mama-mama Papua tidak repot-repot lagi menjual pinang di depan pasar dan emperan toko, karena setiap hari mereka bisa datang jual di perusahaan pengolahan pinang milik pemerintah atau swasta. Nantinya pemerintah atau pihak swasta yang berpikir untuk menampung, mengelola dan ekspor ke luar negeri seperti yang dilakukan oleh Kalimantan Barat, Pangkalpinang, dan Jambi. Dengan cara ini tentunya akan membantu meningkatkan perekonomian masyarakat asli Papua, terutama pemberdayaan mama-mama Papua sekaligus mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi pemerintah daerah. (*)

*) Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Ekonomi, Universitas Kristen Satya Wacana

Comments Box

Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130
banner 728x250