Manokwari, Jubi-Massa Front Rakyat Papua memperingati Hari Aneksasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan cara orasi yang digelar di putaran Jalan Gunung Salju Fanindi, Rabu (1/5/2024).
Massa yang awalnya hendak menuju kantor DPRD Papua Barat ini, ternyata terhenti di Fanindi karena dihadang barikade polisi, lengkap dengan kendaraan taktis. Situasi itu sempat mengganggu arus lalu lintas, namun kemudian arus lalu lintas dialihkan ke jalur lain terutama arah dari Fanindi, Sanggeng dan sekitarnya menuju Amban.
Dalam orasinya, massa meneriakkan kalimat “hanya percaya polisi tidur dari pada yang lain”, karena ruang mereka untuk menyampaikan pendapat terus dihalangi aparat kepolisian. “Tiga hari sebelum aksi kami sudah memasukan surat pemberitahuan, namun apa yang terjadi? kami dihadang dan ini sudah sering kali kami hadapi,” kata Yunus Aliknoe, salah satu orator.
Aliknoe bahkan mengatakan, dengan dibungkamnya kebebasan berbicara, mereka kemudian tidak respek lagi kepada polisi, justru respeknya kepada polisi tidur.
“Aksi yang sama di Sentani dan di beberapa tempat, juga dihadang dan dipukul mundur oleh polisi. Ini bagian dari strategi terstruktur Polisi Indonesia yang dimainkan di seluruh tanah Papua. Demokrasi dibungkam demi keamanan dan alasan lalu lintas. Itu alasan yang konyol ,” ucapnya.
Wakil Fraksi Otsus di DPRD Papua Barat, Mudasir Bogra yang hadir di tengah-tengah aksi massa itu mengatakan, sebagai wakil rakyat pihaknya turut merasakan penderitaan yang dialami rakyat Papua. “Sebagai orang Papua kami juga merasakan apa yang dirasakan saat ini,” kata Mudasir Bogra.
Bogra mengatakan bahwa perjuangan yang ia lakukan berada pada porsi yang berbeda. Berada di DPR Papua Barat memperjuangkan hak rakyat Papua melalui kebijakan yang berpihak.
“Terus terang saya bukan ketua, saya hanya anak buah. Tapi sebagai anak Papua, saya merasa harus datang untuk berkomunikasi dengan pihak keamanan agar aksi ini jangan ada kekerasan, ” katanya
Berikut lima poin seruan yang dibacakan kordinator Aksi, Luti Selam;
1. Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka, sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak Tanggal 1 Desember 1961.
2. Rakyat West Papua secara tegas menolak hasil-hasil Pepera 1969, karena dilakukan atas dasar New York Agreement yang cacat moral dan cacat hukum. Dilaksanakan dalam suasana penindasan di luar batas-batas perikemanusiaan, peniadaan hak dan kebebasan berpendapat bangsa Papua, dan dilakukan dengan cara-cara yang represif dan tidak demokratis. Bangsa Papua mempunyai hak untuk menentukan masa depannya untuk menentukan nasib sendiri untuk merdeka dan berdaulat secara politik, hukum dan ekonomi.
3. West Papua Zona Darurat Militer, segera hentikan operasi militer di West Papua dan tarik militer organik dan non organik dari West Papua. TPNPB (West Papua) dan TNI/Polri (Indonesia) segera lakukan gencatan senjata demi mewujudkan perundingan politik yang dimediasi oleh phak ketiga yang netral.
4. Indonesia segera buka akses terhadap Jurnalis Internasional masuk ke West Papua.
5. Indonesia segera menempatinya janjinya kepada Ketua Dewan HAM PBB di Jakarta pada 2018 untuk memberikan akses kunjungan Dewan HAM PBB di West Papua.
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!