Oleh: Helmi*
Kepastian hukum selalu diidentikkan dengan hukum, untuk menjamin hak-hak warga negara, dan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Dalam penegakan hukum, kepastian hukum juga menjadi salah satu hal yang selalu dianggap penting untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi, dalam hal undang-undang tersebut tidak bisa memberi rasa keadilan, hakim boleh membuat putusannya sendiri.
Dalam penanganan perkara pidana secara legalitas diselesaikan melalui lembaga peradilan yang telah dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang kewenangan lembaga-lembaga peradilan tersebut beserta mekanisme penyelesaiannya, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam realitasnya penanganan perkara bagi seorang penuntut umum mempunyai permasalahan tersendiri untuk dipecahkan, selaku pemegang mandat asas dominus litis. Di satu sisi setelah perkara dinyatakan lengkap, penuntut umum menyatakan suatu perkara sudah atau belum memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, terutama mengenai cukup tidaknya alat bukti, dan apakah suatu perkara tersebut merupakan tindak pidana.
Karena jika hal tersebut tidak dipertimbangkan dengan matang oleh Penuntut Umum, maka akan berdampak pada putusan bebas (vrijspraak) atau lepas (onslag). Atas pertimbangan tersebut penuntut umum melakukan penuntutan dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Berkas perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan dengan permintaan agar diperiksa dan diadili sehingga mendapatkan putusan, pada saat proses pembuktian terkadang alat bukti yang disajikan penuntut umum ke hadapan majelis hakim untuk pembuktian berbanding terbalik dengan alat bukti yang telah dipersiapkan penyidik dalam berkas perkara, baik berupa keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hal demikian merupakan konsekuensi logis karena asas diferensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP sebagai satu-satunya hukum pidana formil di Indonesia.
Jaksa tidak bisa turun langsung untuk memantau proses penyidikan yang dilakukan penyidik, jaksa hanya menunggu berkas perkara yang dipersiapkan penyidik. Padahal keterlibatan jaksa secara langsung sejak tahap penyidikan adalah untuk memfilter alat-alat bukti yang sah sebagai bahan pembuktian di pengadilan nantinya.
Begitu pun ketika perkara bergulir di pengadilan majelis hakim terkadang berpendapat lain terhadap alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum, hal ini berimplikasi terhadap suatu putusan perkara pidana, baik berupa putusan bebas karena tidak terbukti, ataupun putusan lepas karena bukan merupakan tindak pidana.
Upaya hukum putusan vrijspraak atau onslag berkaitan dengan putusan pidana setidaknya terdiri dari tiga jenis putusan, yaitu, putusan pemidanaan jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, putusan bebas, dan lepas dari segala tuntutan hukum.
Terhadap putusan tersebut dapat dilakukan upaya hukum banding, kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Selanjutnya untuk setiap putusan perkara pidana pada tingkat terakhir kecuali Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya hukum kasasi kecuali terhadap putusan bebas.
Berkaitan dengan putusan bebas ini biasanya penuntut umum melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi, kewenangan tersebut telah dipertegas dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dari putusan tersebut pun dianggap logis dan bisa diterima, karena nyatanya Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.
Sebagai pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan tersebut, menjadi mutlak bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan dari keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.
Bila ditelusuri dari beberapa norma upaya hukum yang terumuskan dalam KUHAP tidak satu pun yang tertulis dengan tegas tentang upaya hukum terhadap putusan lepas (onslag). Namun, dalam praktek peradilan pidana upaya hukum yang ditempuh penuntut umum terhadap putusan lepas (onslag) adalah kasasi. Hal ini tidak lain didasari pada syarat pemeriksaan pada tingkat kasasi (apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya).
Pelaksanaan putusan ontslag kemudian yang menarik untuk dibahas tentang putusan onslag adalah mengenai pelaksanaan amar yang terdapat dalam putusan tersebut yang dijatuhkan oleh majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama (putusan dalam perkara tipikor No: 2/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mks).
Dilihat dari sisi kewenangan jaksa, di satu sisi jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan disisi lain jaksa selaku penuntut umum berwenang melaksanakan penetapan hakim. Berdasarkan Pasal 197 KUHAP salah satu syarat sah putusan harus memuat tentang status penahanan terdakwa tetap ditahan atau dibebaskan. Dalam praktiknya putusan onslag yang dijatuhkan majelis hakim biasanya menetapkan terdakwa dibebaskan/segera dikeluarkan dari tahanan, kecuali ada alasan lain.
Pertanyaannya, apabila dalam suatu putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang menetapkan terdakwa harus dibebaskan, apakah jaksa harus melaksanakan perintah dalam putusan tersebut? Begitu pun berkaitan dengan barang bukti yang ditetapkan untuk dikembalikan kepada terdakwa? Karena berdasarkan Pasal 194 Ayat (1) KUHAP dijelaskan ”…terhadap putusan bebas dan lepas, pengadilan menetapkan barang bukti diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut….”
Apakah jaksa tetap harus melaksanakannya? Polemik pun terjadi ketika terkadang jaksa berpendapat, bahwa jaksa hanya melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), sedangkan putusan pengadilan tingkat pertama (putusan dalam perkara tipikor No: 2/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mks) yang menyatakan terdakwa lepas (onslag) adalah belum inkracht, karena masih ada upaya hukum kasasi yang bisa dimohonkan oleh penuntut umum.
Alasan demikian pun logis dan praktis untuk dipertimbangkan karena nantinya jika perkara tersebut oleh Mahkamah Agung dinyatakan merupakan tindak pidana dan Mahkamah Agung berpendapat lain dengan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan mengadili sendiri perkaranya, jaksa selaku eksekutor akan kewalahan untuk mengeksekusi terdakwa yang berada di luar tahanan, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan menjadi tunggakan eksekusi.
Selain itu juga dengan demikian, telah mengakibatkan terjadi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan putusan bebas atau lepas dari pengadilan tingkat pertama, dan berdampak kepada hak-hak terdakwa, karena dalam Pasal 192 Ayat (1) KUHAP ditegaskan ”Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan”.
Praktik peradilan pidana, demi menjamin hak-hak terdakwa yang telah dirumuskan dalam KUHAP, terhadap putusan bebas atau lepas biasanya jaksa akan melaksanakan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan sesegera mungkin setelah putusan diucapkan. Oleh karenanya dengan terlindungi hak-hak terdakwa ataupun pihak lain dalam proses peradilan menunjukan sisi pragmatisme hukum itu bekerja demi mewujudkan Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan hukum. (*)
*Penulis adalah praktisi hukum, tinggal di Jayapura, Papua