Oleh: Alexandro Rangga OFM
Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dapat dimaknai secara kontekstual di Papua sebagai hari โPapua Bangkitโ, baik bagi pemerintah Indonesia, maupun bagi orang Papua. Sudah menjadi cerita umum bahwa tidak banyak orang Papua yang nasionalis Indonesia. Hal ini tentu dipengaruhi oleh dinamika sejarah orang Papua dalam bingkai Indonesia sejak dulu hingga hari ini.
Ini bukan merupakan suatu tugas yang mudah terutama ketika pendekatan yang diambil di Papua, pemerintah pusat tidak mendengarkan orang Papua itu sendiri sebagai subjek pembangunan.
Bagi orang Papua, Hari Kebangkitan Nasional dapat dimaknai secara lebih kaya. Kata Papua Bangkit menjadi wacana yang mulai sering didengungkan pasca adanya koalisi Papua Bangkit yang mengusung pasangan Lukas Enembe dan Klemen Tinal pada Pilgub 2018.
Kata ini semakin akrab di telinga masyarakat Papua pasca polemik peralihan nama Stadion Papua Bangkit menjadi Stadion Lukas Enembe.
Dalam konteks Papua, tentu Hari Kebangkitan Nasional tidak hanya bertujuan untuk mengingat hari lahirnya Budi Utomo dan Kebangkitan Pergerakan Nasional pada tahun 1908 silam.
Lebih jauh dari itu, Hari Kebangkitan Nasional yang mulai dirayakan pertama kali sejak tahun 1948, dapat menggaris bawahi beberapa hal penting berikut ini bagi orang Papua.
Pertama, organisasi Budi Utomo menghidupkan semangat kebangkitan nasional, khususnya di bidang politik. Selain menginisiasi lahirnya organisasi modern di bidang politik lainnya, seperti Perhimpunan Indonesia, Muhammadiyah hingga Indische Partij, metode perjuangan Budi Utomo berubah arah dari perlawanan fisik, menjadi diplomasi.
Papua perlu memikirkan kembali cara-cara perjuangan diplomasi. Tidak hanya karena perjuangan diplomasi ini adalah cara yang bermartabat, tetapi juga menjadi cara yang dapat diterima oleh semua pihak.
Tentu karena cara-cara diplomasi merupakan cara damai yang tidak menelan korban jiwa, baik dari pihak aparat militer (TNI/Polri dan TPNPB/OPM), maupun masyarakat sipil;
Kedua, organisasi Budi Utomo mengubah perjuangan yang berdasarkan gerakan kedaerahan menjadi gerakan nasional. Gerakan-gerakan di Papua masih sporadis dan bersifat kedaerahan.
Hal ini diperparah, baik oleh situasi geografis, maupun pembagian wilayah Papua secara administratif (dan pemekaran wilayah). Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) menguatkan gerakan kedaerahan sekaligus memperlemah rasa kepapuaan di satu sisi sambil di sisi lain memperparah nasionalisme ganda orang Papua.
Nasionalisme ganda orang Papua rentan memunculkan konflik horinzontal internal Papua, maupun horizontal kesukuan antara Papua dan suku-suku lain yang ada di Papua;
Ketiga, visi dan misi Budi Utomo ialah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan dan kebudayaan. Bidang pendidikan dan kebudayaan di Papua menjadi bidang yang kurang diperhatikan akibat akar masalah Papua dalam bidang politik.
Hal ini menyebabkan kehancuran dalam bidang pendidikan dan kebudayaan di Papua dibiarkan atau tidak dipedulikan sama sekali. Ada banyak nilai-nilai kearifan lokal budaya Papua yang tergerus oleh perubahan zaman.
Ada banyak anak-anak Papua yang tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak. Memberi perhatian pada bidang pendidikan dan kebudayaan adalah akar dan dasar bagi pembentukan karakter manusia Papua yang kuat, berwawasan luas, cerdas, bangkit, dan mandiri.
Akhirnya, setiap tanggal 20 Mei, rakyat Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Setiap tanggal 20 Mei pun, orang Papua dapat merayakan Hari Kebangkitan Nasional sebagai Hari Papua Bangkit untuk terus membangun rasa kepapuan, serta berjuang bagi keadilan dan perdamaian dalam bidang politik, pendidikan dan kebudayaan. (*)
Penulis adalah staf SKPKC Fransiskan Papua
Discussion about this post