Oleh: Thomas Ch Syufi*
Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat, Benny Wenda mendarat di Bandara Internasional Bauerfield, Port Vila, Vanuatu, Senin, 4 Juli 2022, pukul 13.30 waktu Vanuatu. Beliau mendarat di Vanuatu setelah melakukan penerbangan dari London, Inggris, melewati Dubai-Uni Emirat Arab dan Sydney-Australia.
Pada 1 Desember 2020, Benny Wenda mendeklarasikan diri sebagai Presiden Ad Interim Papua Barat. Wenda ke Vanuatu untuk memenuhi undangan dari Sekretariat Pasifik Island Forum (PIF) atau Forum Kepulauan Pasifik yang menyelenggarakan KTT PIF ke-51 pada 11-14 Juli 2022, di Suva, Fiji.
Yang penting dalam dunia diplomasi adalah gerak-gerik, bukan retorika. Jadi, kedatangan Benny Wenda ke Vanuatu dua minggu sebelum digelar KTT PIF, tentu memiliki makna yang terimplisit.
Vanuatu sebagai kantor pusat sekaligus tempat lahirnya ULMWP, 2014 silam. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkondisian dan persiapan awal, perihal komunikasi dan konsolidasi internal sesama pengurus ULMWP, serta pertemuan dengan sejumlah stakeholders setempat, terutama pemerintah Vanuatu yang akan membawa ULMWP masuk ke forum KTT PIF ke-51.
Berbagai pertemuan yang dilakukan ULMWP dan Vanuatu tentu berkisar tentang isu pelanggaran HAM dan hak penentuan nasib sendiri (to rights self determination) rakyat Papua.
Mereka juga akan membahas tentang strategi untuk melobi para pemimpin (kepala negara maupun kepala pemerintahan) yang terhimpun dalam PIF, agar berempati dan bersatu dalam solidaritas Pasifik, untuk mengeluarkan resolusi tentang pelanggaran HAM dan hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua.
Hal itu merujuk pada KTT PIF ke-49 tahun 2019 di Tuvalu. Para pemimpin dari organisasi regional yang beranggotakan 16 negara di kawasan Pasifik itu (Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Cook, Negara Federasi Mikronesia atau FSM, Kiribati, Nauru, Niue, Palau, Samoa, Tonga, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Selandia Baru, dan Australia), mengeluarkan resolusi tentang pelanggaran HAM di Papua.
Dalam komunike bersama tersebut, para pemimpin PIF menyambut baik undangan Indonesia untuk misi ke Papua oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB. Mereka sangat mendorong agar sebelum pertemuan PIF berikutnya, 2020, kedua pihak menyelesaikan waktu kunjungan dan membuat laporan informasi, yang berbasis bukti tentang situasi HAM di Tanah Papua, untuk diberikan pada pertemuan PIF 2020.
Namun, desakan para pemimpin Pasifik tersebut sampai sekarang belum digubris oleh Pemerintah Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia belum ada itikad baik dan keseriusan dalam menyelesaikan konflik dan pelanggaran HAM di Papua (sejak 1 Mei 1963).
Oleh karena itu, pertemuan PIF kali ini memungkinkan para pemimpin Pasifik yang dimotori oleh Vanuatu akan kembali menyoal hal tersebut. Vanuatu akan melantangkan suara untuk meyakinkan para pemimpin PIF, agar mengeluarkan resolusi yang lebih keras dan terukur, sesuai tradisi atau ketentuan-ketentuan internal PIF tentang masalah HAM Papua.
Vanuatu juga akan mengangkat isu hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua, dengan mendesak PIF untuk segera mengeluarkan resolusi, yang mengakui Pemerintahan Papua Barat (dari Sorong-Samarai) yang telah dideklarasikan oleh ULMWP dan telah mendaulat Benny Wenda sebagai Presiden Ad Interim.
Jika itu terjadi, isu Papua kian meningkat dan akan memojokkan posisi Indonesia di kawasan Pasifik dan komunitas internasional. Resolusi itu tetap menjadi agenda bersama PIF dan secara rutin PIF akan mendorong PBB, untuk segera memberikan hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Ini akan menggerus reputasi dan mengancam eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat dalam komunitas global.
Apalagi Vanuatu selama ini secara total mendukung penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua, baik di panggung Pasifik, maupun dunia.
Meski sebagai negara mungil di Pasifik, Vanuatu adalah negara berdaulat, yang memiliki pengaruh besar di kawasan itu, yang ikut mengendalikan ritme geopolitik kawasan, bahkan berkali-kali mengangkat isu Papua di forum PBB, termasuk berhasil mengegolkan ULMWP menjadi Observer di Melanesian Spearhead Group (MSG) pada KTT MSG ke-20 di Honiara, Kepulauan Solomon, 24-26 Juni 2015.
Vanuatu adalah salah satu negara Pasifik yang sejak lama konsisten memperjuangkan isu pelanggaran HAM dan mendukung kemerdekaan Papua. Pada Juli-Agustus 2000, dilakukan sosialisasi hasil Kongres Papua II, 29 Mei sampai 4 Juni 2000, Presidium Dewan Papua (PDP) membuka sayap diplomasi, dengan melakukan lawatan politik ke negara-negara Pasifik, yang dimulai dari Australia, PNG, Vanuatu, dan Nauru.
Dalam kunjungan persahabatan itu, hanya pemerintah Australia dan PNG yang tidak membuka suara. Akan tetapi, Vanuatu dan Nauru merespons dengan baik, dengan mengatakan bahwa mereka mendukung Papua merdeka dan berjanji memperjuangkan kemerdekaan Papua di PBB.
Janji itu dibuktikan pada Millenium Summit PBB. Tiga perwakilan PDP masuk sebagai delegasi resmi Nauru pada sidang 6-14 September 2000 di Markas PBB, New York, AS. Tanggal 7 September dalam sidang tersebut, di hadapan 160 kepala negara dan kepala pemerintahan anggota PBB, termasuk Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden Republik Nauru, Bernard Dowiyogo MP dalam pidatonya menyatakan dukungan untuk terbentuknya negara West Papua.
Tanggal 8 September di sidang yang sama, Perdana Menteri Vanuatu Mr. Barak T. Sope Maautemate dalam pidato resminya menyatakan dukungan penuh dari negaranya untuk West Papua. Sebagai pemimpin dunia mereka telah berulang kali menyatakan keprihatinan yang sungguh dan ketidakpuasan karena sejumlah keputusan dan aksi PBB, yang tidak sejalan dengan maksud dan tujuan Piagam PBB.
Kesalahan-kesalahan itu telah diidentifikasi dan merupakan tanggung jawab bersama sebagai keluarga dunia, untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan paling tepat dilakukan sekarang untuk meluruskan kesalahan-kesalahan itu, agar kita memasuki milenium baru dengan pikiran yang bersih (Kris Ansaka, Tifa Papua, Minggu Ketiga, September 2000).
Pertemuan PIF ke-51 ini juga bisa menjadi momentum bagi Vanuatu untuk lebih keras mendorong isu pelanggaran HAM Papua ke level yang lebih tinggi, agar menjadi perhatian serius para pemimpin PIF dan Komisioner Tinggi HAM PBB. Juga mengajak para pemimpin Pasifik untuk berempati dan bersolidaritas mendukung perjuangan kemerdekaan Papua, dengan mengakui Pemerintahan Papua Barat di bawah pimpinan Presiden Ad Interim, Benny Wenda.
Vanuatu juga pernah menikmati pahitnya kolonialisme Barat. Dijajah oleh Inggris dan Perancis. Berbagai zig-zag dan peluh keringat perjuangan untuk meraih kemerdekaan itu, menjadi bekal bagi Vanuatu untuk membantu daerah-daerah di kawasan Pasifik, termasuk Papua–yang menurutnya masih di bawah kekuasaan Indonesia–untuk merdeka.
Vanuatu yakin tiada perjuangan dan pengorbanan yang sia-sia, termasuk perjuangannya untuk memenangkan isu Papua di berbagai forum, baik di Oseania, Afrika, Karibia, Eropa, maupun PBB. Freedom is not free (tiada kebebasan yang digratiskan) atau tiada revolusi tanpa darah dan kematian.
Dengan spirit solidaritas Melanesia yang kuat, Vanuatu akan terus konsisten meniupkan asap moral dari Pasifik ke seluruh dunia, untuk membantu menyelesaikan konflik Papua secara adil, jujur, damai, dan bermartabat.
Namun, belum ada kata terlambat bagi pemerintah Indonesia untuk mengembalikan mosi tidak percaya dan berbagai upaya masif pihak luar untuk menginternasionalisasi isu kemerdekaan Papua. Hak asasi manusia menjadi pintu utama yang akan dilalui oleh negara-negara Pasifik atau Melanesia, yang bersatu dalam PIF dan MSG, serta 79 negara ACP (African, Caribbean and Pacific), termasuk sejumlah negara Barat, seperti Parlemen Inggris, Spanyol, dan Uni Eropa yang baru menggelar pertemuan dengan Benny Wenda di Brussels, Belgia, 12 Juni 2022.
Maka, jalan terbaik bagi pemerintah Indonesia adalah segera mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung dan mengklarifikasi langsung situasi HAM di Tanah Papua, antara fakta di lapangan dengan laporan (data) yang diperoleh dari lembaga-lembaga pemerhati HAM Papua.
Selain itu, untuk mengakhiri konflik Papua yang terus memicu keprihatinan dan sorotan masyarakat internasional, pemerintah Indonesia harus berani membuka pintu dialog yang adil, jujur, demokratis, dan bermartabat dengan rakyat Papua, yang diwakili ULMWP dan difasilitasi pihak ketiga yang disepakati oleh kedua pihak.
Tentu, dialog atau perundingan damai butuh kerangka kerja yang sistematis, disertai niat yang tulus, kerja cerdas dan konsisten, bukan dari intensitas kunjungan atau tur pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi segera mengeluarkan sebuah instruksi presiden tentang dialog Jakarta-Papua, sekaligus menunjuk seorang special envoy (utusan khusus) presiden, yang bertugas mengurus berbagai tahapan dialog tersebut. Cara ini dapat mengakhiri berbagai tuduhan terhadap pemerintah Indonesia atas kejahatan kemanusiaan di Papua, sekaligus mewujudkan Papua tanah damai. (*)
* Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua
Discussion about this post