Oleh: Immout de Djthem*
Selama 20 tahun terakhir, sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan pemekaran provinsi serta kabupaten/kota di Tanah Papua, isu pergaulan bebas, minuman beralkohol, ganja, narkoba, seksualitas, korupsi, kriminalisasi, penculikan, mutilasi dan pelanggaran HAM hampir pasti terjadi setiap hari. Seakan Papua ganjil dan sunyi jika tanpa isu-isu tersebut.
Sangat menarik untuk melihat fenomena sosial tersebut. Tanah Papua yang katanya telah diberkati Tuhan itu tidak ada lagi kesan di balik asa-asas keadaban. Mulai dari kalangan anak muda hingga orang-orang tua, bahkan tokoh-tokoh publik.
Katakanlah kota-kota besar di Papua. Semisal, kota Jayapura itu dikenal dengan julukan “Kota Beriman” sedangkan Manokwari disebut-sebut sebagai “Kota Injil”. Kemudian Merauke disebut sebagai “Kota Pintu Hati Kudus Yesus”, Wamena sebagai kota yang paling sejuk, dan masih sebutan lainnya untuk kabupaten/kota di Tanah Papua ini.
Kota-kota di atas ini, dulu identik dengan kota-kota religius. Jika demikian, setidaknya kota-kota itu menunjukkan wajahnya sebagai kota yang bermoral.
Akan tetapi, kenyataan belakangan ini berbeda. Kota-kota tua yang menjadi barometer dan diharapkan menjadi contoh, malah mengajarkan hal-hal buruk. Orang bebas melakukan transaksi minuman beralkohol, ganja, narkoba, dan lainnya. Banyak anak muda hingga orang dewasa menjadi korban akibat hal-hal tersebut. Sebagian besar ditangkap, diproses hukum, dan dipenjarakan.
Akan tetapi, tak sedikit pula yang menjadi korban minuman beralkohol oplosan dan stres karena ganja dan narkoba.
Tak hanya itu, banyak bar yang menjadi basis para Pekerja Seks Komersial (PSK). Pusat-pusat PSK ini menjadi tempat yang paling rentan menimbulkan banyak korban meninggal dunia karena penyakit IMS/AIDS akibat hubungan seks berisiko.
Sudah ada peraturan pemerintah, tetapi pengawasannya longgar. Citra kota-kota religius makin hancur karena perilaku manusia.
Banyak korupsi, bahkan hasil korupsi berserak di kota-kota besar ini. Hilang dalam kelamin wanita, hotel-hotel, kafe, dan lainnya.
Belakangan banyak elite politik lokal Papua meninggal dunia secara tiba-tiba di tempat-tempat seperti itu.
Filsafat dan Franz Magnis Suseno
Dalam agama dan Tuhan berbicara tentang moralitas manusia. Moralitas dalam sudut pandang filsafat berkaitan dengan etika. Etika ini menyangkut perilaku manusia yang nampak lewat pikiran, sikap, perkataan dan perbuatan yang baik dan buruk.
Dari keduanya, etika selalu menitikberatkan pada perilaku manusia. Perilaku manusia dalam konteks etika, dalam pandangan Franz Magnis Suseno, SJ, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, dalam buku “Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern” membaginya dalam dua bagian.
Dua bagian etika itu, antara lain; etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia. Sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya (Suseno, 2001, hlm 8).
Kehidupan manusia diperhadapkan dengan dua etika, yaitu; etika individu dan etika sosial. Etika individu ini cakupannya sangat terbatas karena itu berhubungan dengan individu manusia yang mempertanyakan diri individu, hubungan individu dengan alam, Tuhan, wam, sue, udara dan lainnya.
Sedangkan etika sosial punya ruang lingkup yang luas, karena berhubungan dengan kehidupan sosial, yang selalu menuntut manusia menentukan kehendak, pikiran, sikap, dan tindakan yang baik dan beradab.
Etika individu memiliki relasi dengan etika sosial. Kehendak, pikiran, sikap, dan tindakan individu manusia bisa berdampak baik ataupun buruk dalam etika sosial.
Sebaliknya, perilaku sosial atau dinamika sosial—situasi dan keadaan lingkungan sekitar pun bisa mempengaruhi kehendak, pikiran, sikap, dan tindakan individu yang baik ataupun buruk.
Ini merupakan semacam siklus etika yang saling bergantung, tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Etika manusia ini diakibatkan oleh dua aspek. Pertama, aspek internal; Kedua, aspek eksternal.
Aspek internal berkaitan dengan individu. Sedangkan aspek eksternal berkaitan dengan pengaruh luar yang masuk dalam etika manusia.
Pengaruh etika internal sarat dengan kehendak, hawa nafsu, emosi, sentimen, ambisi, keangkuhan dan percaya diri yang berlebihan yang muncul dalam pikiran, sikap, perkataan dan perbuatan. Semisal, ambisi seseorang untuk menguasai birokrasi politik, menyelewengkan dana, dan lain sebagainnya untuk memperkaya diri, kelompok dan lainnya.
Sementara itu, pengaruh etika eksternal dipengaruhi oleh keadaan luar terhadap individu manusia. Semisal, si A dulu tidak tahu mencuri motor, uang, dan lainnya. Tetapi karena si B datang mengajak karena lapar dan untuk memenuhi kebutuhannya, maka dia berpikir untuk mencuri barang milik orang lain. Inilah gambaran umum krisis moral Papua hari ini, yang akan dibahas berikut ini.
Pergaulan bebas anak-anak muda
Banyak anak muda yang terjerumus dalam pergaulan bebas, mengonsumsi minuman beralkohol, menghisap ganja dan menggunakan narkoba, bahkan secara aktif terlibat dalam seks bebas. Banyak sekali anak putus sekolah karena hamil dan memiliki anak di usia muda.
Setelah punya anak tidak lagi bertanggung jawab. Tetapi justru menitipkan anak dan istri pada orang tua yang tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu mereka bersenang-senang di luar setelah menyalibkan beban kepada orang tua dan keluarga di rumah, kos atau kontrakan dan kampung halaman. Mereka kemudian bersenang-senang dengan teman-temannya, sedangkan orang tua mereka sibuk mengurus cucu.
Petrus adalah anak Papua yang sejak kecil sangat normal. Anak Sorong yang lahir besar di kompleks Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura ini sudah menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya, tetapi terpengaruh oleh lingkungannya ketika SMP.
Teman-temannya mengajak dia mengisap ganja di sekitar kawasan Argapura, Entrop dan APO. Pertama coba biasa-biasa saja. Kedua dan ketiga langsung ketagihan.
Hampir setiap hari ia mengingat teman yang selama ini memberikan barang itu kepadanya. Dan memintanya lagi.
Sekali waktu dia minta dalam jumlah yang besar. Kemudian dia tidak pergi ke sekolah. Tinggal di rumah untuk mengisap ganja sampai puas.
Dari situ mempengaruhi organ sarafnya hingga kini dia tidak sekolah. Dia mengalami gangguan saraf akibat ganja.
Saya biasa bawa dia ke kos di Graha Youtefa dan Kamp Wolker Waena. Tidur dan makan sama-sama. Kasih mandi dia dan bertanya tentang segala hal menyakut dia.
Dia menceritakan itu. Pasalnya anak-anak di sekitarnya yang mempengaruhi dia tidak sekolah dan tidak berprestasi akibat ganja.
Dia juga mengaku sering menonton film porno, hingga mempengaruhi pikiran mereka untuk bersetubuh dengan teman-temannya di sekolah, atau siapa saja untuk memuaskan hawa nafsunya.
Sebagian dari teman-temannya telah meninggal dunia. Hanya dia yang masih hidup.
Petrus sering parkir di depan kampus USTJ, halte samping SMP St. Paulus Padangbulan dan jalan kaki dari Abe ke Waena, Waena ke Sentani, Waena ke Entrop, Entrop ke APO atau ke rumahnya hingga di Dok 9 dan Angkasa.
Masa depan Petrus hancur dan mati karena ganja. Orang tua dan keluarga mereka pun tidak bisa mengharapkannya. Beberapa kali mereka bawa dia ke rumah sakit agar stabilkan sarafnya. Tetapi dokter bilang sudah tidak bisa tertolong.
Predator seksual
Selain itu, ada pejabat birokrasi politik yang membawa anak-anak SMA ke Jakarta. Di sana mereka diberi minuman beralkohol hingga mabuk. Lalu oknum itu mencabuli mereka dengan iming-iming uang. Anak-anak ini mendapat ancaman apabila mereka lapor kepada keluarga.
Sejumlah tokoh religius yang selama ini membela hak-hak orang kecil dan tertindas berbicara keras soal politik ideologi Papua, diharapkan bisa mendukung kaum yang tak bersuara. Bukannya membiarkan proses hukum, mereka malah membela pelaku yang bertindak bejat itu.
Korbannya ada empat orang. Mereka adalah DOL, DAL, RW dan OW. Rata-rata usia 16 tahun. Mereka sekolah di salah satu sekolah swasta. Sedangkan pelakunya berinisial GY.
Kasus ini pernah diangkat oleh Benyamin Lagowan, dkk. Lagowan adalah seorang dokter muda asal Wamena di Kota Jayapura.
Dalam proses hukum, Lagowan selaku kakak dari salah satu korban mendapatkan teror dari pelaku, keluarga dan orang dekat si pelaku. Bahkan mereka menakut-nakuti dia melalui oknum penegak hukum. Karena dinamika yang tidak sehat ini, keluarga memutuskan untuk tidak melanjutkan proses hukumnya.
Ini hanya satu gambaran kecil. Tapi banyak basis moral anak-anak muda dan dewasa hari ini hancur. Di media sosial banyak grup bokep. Pemerintah bisa membatasi situs-situs pornografi semacam itu. Akan tetapi, banyak orang yang bisa mengaksesnya melalui jalan tikus.
Di dunia nyata banyak juga geng anak-anak muda, bahkan jual diri. Saya pernah bertemu mereka pada ajang kegiatan anak muda di sebuah hotel. Di sana perempuan dan laki-laki bersenang-senang sambil mengkonsumsi minuman beralkohol dan berpesta seks.
Seorang kawan dekat saya diminta oleh seniornya, untuk mencari gadis-gadis usia SMP dan SMA/SMK. Untuk mencari anak-anak tersebut, dia diberikan sejumlah uang dengan nominal yang fantastis. Kemudian teman ini mencarinya dengan mobil, lalu membawa anak-anak itu ke sebuah hotel di Kota Jayapura.
Tak sedikit pula elite politik yang meminta beberapa anak muda untuk mencari perempuan dan membawanya ke mobil atau hotel. Belum juga masalah bagaimana perempuan merayu laki-laki pengusaha atau pejabat berduit, hingga berujung pemerasan dan korban nyawa.
Berdasarkan “Studi Formatif
Kebutuhan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Pekerja Seks Perempuan Jalanan dan Laki-Laki di Empat Kabupaten/Kota di Tanah Papua” yang diinisiasi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, bahwa anak-anak muda usia 14-30 tahun terlibat dalam seksualitas.
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan melalui Yayasan Kerti Praja Denpasar (2016), yang dipimpin oleh Komang Ayu Kartika Sari itu, android menjadi penghubung untuk membangun komunikasi awal dan saling terhubung satu sama lain. Taman Imbi atau hotel menjadi tempat-tempat yang paling banyak diungkapkan oleh informan sebagai tempat mereka bercinta.
Mayoritas anak muda mengatakan aktif mengonsumsi minuman beralkohol, mengisap ganja dan kalau berhubungan seks jarang menggunakan kondom. Hal serupa juga berlaku bagi orang-orang dewasa.
Laporan itu mengungkapkan bahwa banyak sekali pejabat publik, baik dari kalangan birokrasi politik, religius dan adat terlibat dalam pesta-pesta itu. Artinya, banyak sekali pejabat atau tokoh Papua yang terjun dalam dunia itu. Mereka sering mengkonsumsi minuman beralkohol dan terlibat dalam pesta seks.
Bisa saja oknum-oknum pejabat dan tokoh-tokoh ini mengambil uang rakyat atau uang jemaat. Lalu uang itu disalahgunakan.
Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa pejabat pemerintah dari wilayah pegunungan Papua secara teratur membeli seks dari responden. Klien mereka yang paling konsisten.
Namun penggunaan kondom sangat sporadis, tingkat pengetahuan penggunaan kondom sangat rendah dan penggunaan alkohol sangat tinggi.
Dalam polemik otsus dan DOB: Bicara lain main main
Salah satu fenomena sosial yang menarik adalah polemik Otsus Papua dan pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Mayoritas orang Papua, terutama kelompok akar rumput menolak otsus dan DOB, sedangkan elite politik lokal dan nasional menerimanya.
Mirisnya ada elite politik lokal yang mula-mula menolak otsus dan DOB, tetapi diam-diam menerimanya dengan dalih ketakutan, mendapat teror, demi keselamatan nyawa, keluarga, dan masa depan atau karier. Ini sangat mengecewakan rakyat, yang tadinya percaya sepenuh hati kepada mereka.
Perilaku elite semacam itu membuat moralnya dan mental orang Papua umumnya hancur. Elite seperti ini dikenal dengan sebutan “bicara lain main lain”.
Bicara di depan umum (rakyat) baik-baik supaya kalau maju bupati dan gubernur besok dapat dukungan dan legitimasi dari rakyat. Tetapi ketika ada tekanan dari pusat turun melalui aparat dan intelijen, lupa segalanya, kehilangan kendali, tidak berani lagi dan menghianati janjinya di hadapan rakyat.
Mereka lupa apa yang mereka ikat di depan rakyat, sama halnya dengan mengikat janji di hadapan Tuhan, leluhur dan alam semesta.
Korupsi dan kriminalisasi elite politik lokal
Ada pula kasus korupsi yang menggiring para elite politik lokal. Terbaru adalah kasus Bupati Timika, Eltinus Omaleng dan Gubernur Papua, Lukas Enembe (LE). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan kedua tokoh ini sebagai tersangka pada awal September 2022 ini.
Melihat mereka ditetapkan sebagai tersangka, banyak pihak, terutama orang-orang dekat dari Omaleng dan Enembe kebakaran jenggot. Tanpa urat malu, anak muda, pemuda dan gembala sekalipun turun mimbar. Ketika Enembe diperiksa di Mako Brimob Kotaraja, para simpatisannya mereka melakukan demonstrasi.
Kasus Omaleng biasa-biasa saja. Tetapi kasus yang melibatkan gubernur Papua ini, membuat pengikutnya menurunkan massa untuk kawal LE. Kediamannya di Koya Timur dijaga ketat oleh masyarakat dengan alat perang tradisional.
Bahkan yang paling aneh adalah gembala umat yang selama ini dikenal lantang melawan sistem pemerintah, justru membombardir opini liar sana-sini. Dia menuding aparat penegak hukum dengan argumentasi logis, tetapi tidak faktual. Yang paling memprihatinkan adalah sang gembala itu dengan mudah membela LE dan menggunakan kapasitas sebagai Dewan Gereja Papua (DGP).
Selama ini DGP menjaga netralitas dan independensinya. Membela LE dengan kapasitas sebagai DGP adalah sesuatu yang aneh. Sebab DGP [kalau tidak salah] tidak pernah didirikan untuk membela oknum koruptor. Sebaliknya, untuk berbicara soal realitas kehidupan jemaat dalam perspektif suara kenabian.
Jika mendukung LE sebagai sesama kelompok tertentu silakan saja. Tetapi kalau membelanya dengan membawa nama dewan gereja, bahkan tanpa kompromi dengan pihak terkait lainnya, merupakan sesuatu yang fatal. Paling fatal lagi kalau pembelaan pribadi dicampurbaurkan dengan gereja (bersama).
Soal dugaan kriminalisasi negara terhadap orang Papua oleh Jakarta, termasuk tokoh sekaliber LE patut dikritisi bersama. Namun, mengkritisi hal seperti begitu tanpa memilah-milah urusan individu dengan kelompok/organisasi membuat orang tertawa.
Kita harus bijak membedakan urusan individu dan pribadi. Sekali lagi kriminalisasi negara memang harus direspons serius, dan bila perlu dilawan oleh seluruh elemen orang Papua. Karena itu merusak citra, wibawa, derajat dan merusak karier serta masa depan orang Papua di mata dunia.
Label seperti teroris hingga upaya kriminalisasi yang disangkutpautkan dengan kepentingan politik ideologis harus dilawan. Karena pada galibnya label merusak moralitas manusia Papua.
Negara dengan sadar ataupun tidak, setelah memberikan label atau cap kepada orang Papua, menunjukkan bahwa negara berperilaku sesat. Dia membangun opini kriminalitas terhadap orang Papua yang mungkin saja diakibatkan oleh mentalitas dasarnya yang amoral. Karena esensi mentalnya amoral, maka bisa saja memberikan label kepada orang dan kaum tertentu sesuka hati.
Sebuah fakta yang sesungguhnya menunjukkan sifat sistem politik aneksasionis yang mempengaruhi segala aspek kehidupan orang Papua. Hal semacam ini perlu ditanggapi serius berdasarkan asas pertimbangan moralitas sesama manusia.
Juga kalau membela dalam perspektif moral, semisal mendoakan LE agar tetap kuat, tidak patah semangat dan sehat selalu atau mendoakan para penegak hukum agar tidak tebang pilih, tidak mengkriminalisasi dan lainnya oke-oke saja. Namun kalau dibela karena hal lain sangat aneh.
Hal lain misalnya, karena kesamaan suku dan ras. Kemudian memanfaatkan komunitas tertentu.
Itu sangat keterlaluan. Sangat keterlaluan lagi itu adalah ketika orang yang dikenal sebagai tokoh, gembala dan selalu bicara soal kepentingan politik ideologi, tiba-tiba bicara soal politik praktis.
Akal sehat dan nuraninya dimana? Apakah sudah mempertimbangkan segala aspek, misalnya, dengan membongkar rahasia tertentu justru akan mempersulit orang dan kelompok lain, termasuk LE sendiri dalam menjalani proses hukum? Apakah kita sedang mempercepat proses agar LE masuk jeruji besi atau ingin berusaha membelanya dengan tanggung jawab moral?
Kita tahu bahwa negara ini negara hukum. Jadi boleh saja pasrah sama hukum. Tapi tidak bisa juga pungkiri bahwa ada praktik hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Bahkan selalu sangat kecil kemungkinan untuk orang Papua menemukan keadilan dan mengobati luka batin dalam peradilan Indonesia.
Sejak awal memang ada hal yang aneh. KPK menetapkan LE sebagai tersangka tanpa pemeriksaan terlebih dahulu. Jika ini benar, maka ada aroma kriminalisasi untuk kepentingan politik praktis—mengamankan pejabat DOB, pejabat sementara gubernur, agenda eksploitasi sumber daya alam Papua, dan pemilihan serentak 2024 nanti.
Soal ini, silakan pengacara hukum mendampinginya. Silakan simpatisan juga membelanya, tetapi tetap menjaga wibawa, dan mampu memisahkan urusan rumah tangga dan organisasi. Jangan mencaplok kiri kanan dengan legalitas publik yang sebenarnya juga menunjukkan kebobrokan moralitas kita.
Hukum tabur tuai
Apa yang sedang kita tanam ini? Apakah kita sedang menanam benih yang baik atau buruk? Apa yang akan dilakukan dan dialami oleh anak-anak generasi penerus? Apakah kemungkinan kecil, bahwa mereka tidak akan meniru perilaku hidup kita saat ini kelak?
Tangkai pohon kering yang jatuh di bawah tanah tidak akan lari jauh dari pohonnya. Anak-anak generasi penerus kita tidak akan pernah bebas dari peninggalan kebiasaan hidup kita. Mereka akan memetik hasil dari apa yang kita tanam hari ini.
Jika kita tanam perilaku yang salah, maka mereka akan mendikte perilaku dan gaya hidup kita. Meskipun akan ada transformasi, itu tidak akan mempengaruhi pola pikir, sikap, perkataan dan perbuataan secara signifikan. Mereka akan melakukan kesalahan yang sama, karena kita salah menunjukkan pada hari ini.
Satu gereja satu asrama
Perilaku hidup orang ini menunjukkan sebuah fakta bahwa terjadi krisis moral di Papua. Pelakunya bukan hanya tokoh-tokoh publik dalam gereja maupun masyarakat. Tapi juga calon-calon pemimpin masa depan.
Korbannya juga bukan hanya perempuan, laki-laki juga kerap menjadi korban. Bakalan ada anak-anak muda di bawah umur dan lansia. Penyebabnya bukan saja dari internal individu, tapi juga dari aspek eksternal (sosial).
Hari ini Papua butuh para pemikir untuk melihat krisis moral dan mencari jalan keluar. Tapi juga membutuhkan figur yang memiliki moralitas yang baik untuk mempengaruhi generasi penerus untuk menjadi generasi emas.
Butuh pemikir, konseptor dan pemimpin bermoral dan berakhlak baik dan berwibawa untuk menciptakan generasi emas. Kemudian menjadi teladan bagi semua suku di Tanah Papua.
Salah satu tempat untuk menyiapkan generasi emas yang bermoral, adalah melalui pendidikan berpola asrama. Kita tahu bahwa banyak orang yang lahir dari pendidikan berpola asrama dulu, tetapi pada hari ini tidak bermoral.
Oleh karena itu, semua denominasi gereja di Tanah Papua perlu membangun konsep “satu gereja satu asrama”. Hal ini akan jauh lebih efektif, ketimbang konsep generasi emas tanpa menyiapkan lahannya.
Gereja bisa bermitra dengan pemerintah dan lembaga nirlaba lainnya. Pemerintah bisa mendukung dari segi dananya, namun konsep pembinaan dan lainnya dipercayakan kepada pihak gereja atau lembaga tertentu. Saya pikir, pendidikan berpola asrama bisa memperbaiki krisis moral orang Papua seribu tahun ke depan. (*)
*Penulis adalah warga Kota Jayapura, Papua