Oleh: Florentinus Tebai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru saja memperingati hari ulang tahun (HUT) proklamasi kemerdekaan ke-77. Angka 77 hendak menunjukkan bahwa NKRI telah memasuki usia tua.
Kita dapat mengatakan bahwa usia ini ialah usia lansia atau lanjut usia. Artinya negara Indonesia sudah dewasa dalam tata cara kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan dalam penerapan hukum dan tingkat penyelesaian atas berbagai persoalan, seperti pelanggaran HAM, pengungsian, penangkapan dan penyiksaan, serta korupsi.
Jika melihat usia, dasar negara, dan semboyannya–Bhineka Tunggal Ika, maka negara Indonesia mempunyai dasar negara yang bertuhan, bermoral dan beriman, serta mempunyai jiwa sosial.
Namun demikian, bila kita membandingkan antara realitas terdekat yang kita alami, amatlah jauh berbeda dengan usia dan dasar negara serta semboyan di atas itu. Negara yang berprinsip hidup pada semangat jiwa bertuhan, bermoral, dan beriman, serta sosial itu sudah dan sedang mempraktikkan perilaku amoral, asosial dan bahkan menjadi “ateis”.
Ia justru tidak menyadari modal sosialnya, yakni keberagaman suku, etnis dan budaya. Meski beragam suku, bahasa, budaya, adat, dan ras, Indonesia telah bernaung di bawah semangat dan semboyan yang mempersatukan semua perbedaan itu, yakni Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).
Semboyan ini hendak menandakan bahwa negara ini berlandaskan pada semangat “no racism”. Hidup tanpa saling membeda-bedakan.
Namun, semboyan Bhineka Tunggal Ika sangat bertentangan dengan realitas hari ini, terutama perlakuan terhadap orang asli Papua (OAP). Tindakan rasisme terhadap OAP terjadi pada 16 Agustus 2019 di Surabaya, Jawa Timur, melalui kata umpatan “monyet”.
Sebenarnya ungkapan ini sebagai salah satu ungkapan yang menurunkan derajat dan martabat OAP sebagai ciptaan Allah. Seolah-olah menunjukkan sikap asli negara dan orang Indonesia yang tidak menghargai perbedaan.
Tindakan rasisme itu kemudian mengundang reaksi dari OAP di dalam dan luar negeri melalui demonstrasi, hingga berujung konflik.
Demonstrasi damai itu dilakukan oleh orang-orang asli Papua di Jayapura, Sorong, Manokwari, Deiyai, Dogiyai, dan Wamena. Orang asli Papua memang menolak perlakuan rasis, sebab pada hakikatnya orang Papua juga adalah sesama warga negara yang bertuhan, bermoral dan berjiwa sosial.
Orang asli Papua juga hidup atas dasar filosofi “dimi” (pikiran) dan “kegepa” (hati nurani) yang sudah dianugerahi oleh Allah dalam kebudayaan orang Melanesia.
Negara yang baru saja memperingati HUT ke-77 pada 17 Agustus 2022 ini juga dengan sadar baru saja membacakan lima sila di hadapan rakyatnya. Di antara lima sila yang dibacakan itu adalah “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Sila ini berarti hendak menghargai dan mengasihi sesama warga negara, seperti Tuhan Allah yang selalu mengasihi umat ciptaan-Nya.
Namun, pada usia proklamasi kemerdekaan ke-77 itu juga, Indonesia tidak menyadari tindakan tidak berperikemanusiaan terhadap orang asli Papua. Pada usia lansia itu, Indonesia dengan percaya diri masih menunjukkan sikap nonsense dan hati nurani yang buta.
Indonesia tidak melihat dan menyadari semua konflik dan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua. Ia tampil seperti seekor serigala yang mengenakan bulu domba. Ia tampil memukau dan meyakinkan, tetapi penuh tipu daya, manipulatif dan munafik terhadap orang asli Papua.
Jika kita melihat usianya, Indonesia sudah tua, tetapi masih bermental seperti anak ayam kehilangan induk. Artinya, Indonesia punya prinsip kerakyatan, keadilan, dan ketuhanan yang dianggap dapat diyakini sebagai norma dan nilai yang baik, adil, benar dan bijaksana.
Namun, sikap dan mentalnya serta jiwanya seperti anak-anak. Orang Inggris bilang “they are children”. Ia hanya mampu melahirkan konflik, tetapi lemah dalam penyelesaiannya. Hukum dan kebijakannya diskriminatif dan rasial.
Jika negara ini ingin bertumbuh menjadi dewasa, maka tuntutannya ialah di usia lansia 77 tahun ini presiden mesti mengevaluasi kebijakan dan penerapan filosofi pancasila dan semboyannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai kapankah negara ini bermental dewasa dan berketuhanan, sosial dan bermoral serta adil, sosial dan baik pada rakyatnya? Kiranya pertanyaan ini menjadi pertanyaan reflektif bagi bangsa Indonesia. Supaya bangsa ini tidak dipermalukan di hadapan sesama negara-negara sahabat. Paling tidak, di negara-negara kawasan Asia-Pasifik. (*)
Penulis adalah anggota Kebadabi Voice Group dan mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!