Oleh: Gembala Dr. A.G Socratez Yoman, MA
Pemaksaan daerah otonomi baru (DOB) di Papua hanya akal-akalan penguasa Indonesia dengan dua tujuan, yaitu, 1) Penguasa berusaha bersembunyi di atas kegagalan diplomasi di luar negeri tentang persoalan Papua. Selama ini Indonesia membangun diplomasi di level internasional berbasis kebohongan.
Kini kebenaran itu berjalan pelan tapi dengan pasti meyakinkan komunitas internasional dan rakyat Indonesia, bahwa selama ini penguasa Indonesia berbohong tentang persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan di Papua; 2) Pemekaran DOB itu sebagai siasat penguasa Indonesia untuk memecahkan persatuan orang asli Papua.
Dengan kata lain, negara berusaha mengalihkan perhatian rakyat dan bangsa West Papua supaya tidak fokus mendukung perjuangan ULMWP untuk hak penentuan nasib sendiri;
Kesepuluh, posisi paling bahaya bagi Indonesia ialah penguasa Indonesia tidak membuka akses kepada Komisi HAM PBB, diplomat asing dan wartawan asing masuk ke Papua. Pertanyaannya ialah penguasa Indonesia sembunyikan apa dan bikin apa di Papua? Dalam hal ini, Indonesia menghadapi makan buah simalakama—kalau buahnya dimakan ibunya mati, dan kalau buahnya tidak dimakan ayahnya mati. Jadi, siapa yang mau dikorbankan, ibu atau ayah?
Dalam posisi seperti ini dibutuhkan hikmat dari Tuhan. Dalam situasi seperti ini juga bahwa perbedaan ideologi dan nasionalisme sempit harus disingkirkan dan melihat keadilan dan martabat kemanusiaan untuk harmoni/kedamaian;
Sebelas, wilayah West Papua tidak bisa dipertahankan dengan menjadikan beberapa orang Papua sebagai tameng/bumper untuk head to head dengan orang asli Papua sendiri;
Dua belas, generasi muda Indonesia—dari SD sampai perguruan tinggi, termasuk saya, lebih mengerti sejarah dan bangsa West Papua, yaitu sejarah Perjanjian New York 15 Agustus 1961 dan Pepera 1969, serta pelanggaran HAM berat oleh negara selama 61 tahun sejak 1 Mei 1961.
Setelah anak-anak SMU di Papua beberapa waktu lalu mendengar hasil kelulusan, semua baju seragamnya digambar bintang kejora, bukan merah putih. Apakah mau melawan ideologi yang bertumbuh dan mendarah daging tanpa diajarkan di sekolah ini? Contoh lain, pada 17 Agustus 1945—hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia—di rumah-rumah dan kendaraan tidak terpasang merah putih. Orang asli Papua sadar bahwa merah putih adalah bendera kolonial yang membawa malapetaka, penderitaan, air mata dan darah di Tanah Papua;
Tiga belas, sejarah akar konflik berkepanjangan di Papua ialah rasisme, fasisme, ketidakadilan, militerisme, kapitalisme, pelanggaran berat HAM, genosida, ekosida, marginalisasi, dan kegagalan pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Empat belas, penguasa kolonial modern Indonesia tahu, sadar dan mengerti bahwa mereka salah. Mereka tahu bahwa rakyat bangsa West Papua pasti merdeka. Akan tetapi, penguasa kolonial itu hanya berpura-pura tidak tahu.
Pada suatu saat, kami ada perjalanan ke pedalaman Papua untuk membuka Sidang Raya Gereja (saya tidak sebut Gereja). Dalam pesawat itu ada Gubernur Papua Lukas Enembe, Pangdam XVII/Cenderawasih, Kapolda Papua, dan Pdt. Lipiyus Biniluk. Saya duduk dengan salah satu jenderal dalam pesawat itu.
Kami berdua berkomunikasi. Saya sampaikan kepada Jenderal ini, “Pak Jenderal, orang asli Papua hampir mayoritas, 85% sampai 95%, berjuang menuntut Papua merdeka lepas dari Indonesia.” Jawaban dari Jenderal tersebut adalah, “Abang Socratez, saya tahu itu, tapi Abang lihat di pundak saya ini, saya ada karena tugas dan pangkat ini.”
Pak Jenderal ini kasih tunjuk tangannya di pundak dan menunjukkan dua bintang yang bersinar di bahunya;
Lima belas, penguasa Indonesia gagal total penyelesaian empat akar persoalan Papua yang dipetakan LIPI (kini: BRIN). Penguasa Indonesia mengesampingkan persoalan pokok sejarah konflik Papua dan sibuk mengurus hal-hal yang tidak mendesak, seperti, daerah otonomi baru (DOB). Pemekaran DOB sebenarnya bukan solusi masalah, tapi membuat masalah baru yang lebih sulit;
Enam belas, akhir dari tulisan ini, saya sampaikan, bahwa Pemerintah Indonesia sampai kapan pun tidak akan membangun Papua, karena mereka berusaha membangun di atas fondasi dan dasar yang sangat berbahaya, yaitu, tulang-belulang, air mata dan darah serta penderitaan orang asli Papua. Ini musuh penguasa kolonial modern Indonesia paling berbahaya.
“Ingat, hukum tabur dan tuai itu akan berlangsung. Karma itu akan terjadi. Apakah kalian tidak puas? Kita lihat apa yang terjadi?” kata Muhammad Rivai Darus, juru bicara Gubernur Papua, 11 April 2022. Selesai. (*)
Penulis Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP), anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC), Anggota Baptist World Alliance (BWA)
Editor: Timoteus Marten
Discussion about this post