Oleh: Sem Ulimpa
Konstitusi mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dengan batasan tertentu. Bahwa diakui sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dengan undang-undang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi pengabaian atas hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah dan hutan adat, hak dan otoritas kelembagaan adat dalam pengelolaan serta pemanfaatan tanah dan hutan adat.
Ketiadaan perlindungan hukum dan lemahnya penegakan hukum dalam pemenuhan dan penghormatan hak masyarakat ini disebut sebagai kehampaan hak (Berenschot, dkk. 2023), yang dalam jangka panjang dapat menghilangkan hak hidup masyarakat adat. Kehampaan hak terjadi karena hambatan struktural, misalnya, politik hukum bersyarat yang terkadang subjektif ditentukan oleh kepentingan kekuasaan, kepentingan ekonomi politik, pelemahan hukum, dan prosedural membuat hak warga tidak efektif.
Sebaliknya sebagian kecil kelompok orang dan/atau badan usaha difasilitasi negara memperoleh hak dan izin usaha pengelolaan dan bisnis ekstraktif pemanfaatan hasil hutan yang notabene berada di wilayah adat.
Di Kabupaten Sorong dan Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya, yang secara de facto didiami oleh masyarakat adat dan hidup di wilayah adat, yang belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan hak dari kelembagaan negara. Meskipun pemerintah telah menerbitkan Peraturan Daerah atau Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, namun dapat dihitung dengan jari Surat Keputusan (SK) yang menetapkan hak-hak masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan adat, hak untuk menyelenggarakan pengadilan adat dan hukum adat, dan sebagainya.
Sebaliknya pemerintah menerbitkan izin baru untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan nonkayu di wilayah adat, termasuk Hutan Desa.
Pemberian dan pengalihan hak masyarakat adat, dan situasi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat menimbulkan reaksi dan aksi-aksi perlawanan, baik perlawanan yang dilakukan secara sederhana, diam-diam dan tersembunyi, maupun perlawanan yang dilakukan secara terbuka.
Masyarakat adat dari marga Irun, Hae, Momo, Bofra, di Distrik Miyah Selatan, Miyah dan Fef, Kabupaten Tambrauw, telah bereaksi atas rencana dan pemberian status Hutan Desa (HD) di wilayah adat mereka yang diinisiasi oleh organisasi Flora Fauna Internasional dan CDK Kehutanan Tambrauw. Dalam kasus ini, pemerintah memberikan status hutan desa dan belum menetapkan status hutan adat yang dapat melindungi hak masyarakat adat. Terlepas dari status tersebut, pengelolaan dan pemanfaatan HD ini dikaitkan dengan kepentingan organisasi lingkungan, yang diduga untuk bisnis komersial pemanfaatan jasa lingkungan.
Hutan Desa (HD) merupakan kawasan hutan yang dikelola desa dan/atau kampung dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan kampung. Akses legal dan persetujuan pengelolaan HD diberikan oleh menteri kepada lembaga desa, yang berarti hak kelola diberikan oleh negara dan dalam jangka waktu 35 tahun. Berbeda dengan Hutan Adat yang berada di wilayah adat, yang dikuasai, dimiliki dan dikelola oleh masyarakat adat.
Dalam konsep hukum adat Suku Moi di wilayah Sorong, desa dan/atau kampung tidak mempunyai hak atas hutan dan tanah. Marga adalah pemegang hak atas sebuah wilayah tertentu. Desa dan/atau kampung itu hadir hanya untuk mengadministrasikan, mengorganisasikan, mengelompokkan masyarakat kampung masuk dalam sistem negara pemerintahan agar dana desa dan program pembangunan dari daerah dan pusat itu sampai ke tangan masyarakat kampung.
Kembali dalam kasus reaksi marga terhadap pemberian Hutan Desa di Tambrauw. Masyarakat adat mengirimkan surat pernyataan pembatalan dan penolakan pengusulan Hutan Desa yang dianggap akan menghilangkan hak hukum masyarakat adat atas wilayah adat. Alasan lain, masyarakat adat belum membicarakan tata batas antara kampung dan batas antara marga yang berpotensi terjadi konflik ruang.
Pemberian HD yang dipaksakan berarti melanggar hak masyarakat adat. Semestinya pemberian hak kelola atas hutan desa harus meminta izin dan mendapatkan restu dari masyarakat adat. Masyarakat adat yang memeriksa, memverifikasi dan memutuskan pemberian hak kelola hutan desa, bukan sebaliknya negara atau pemerintah yang memberikan izin kelola dengan jangka waktu 35 tahun. (*)
*Penulis adalah dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Papua