Oleh: Siorus Degei
Perjuangan Mama Angganeta Manufandu itu bukan atas dasar perintah dari Soekarno, Jenderal Sudirman, dan lain-lain di pusat. Perjuangan Mama Manufandu murni lahir dari kesadarannya sendiri sebagai bangsa terjajah, untuk mengusir penjajah keluar dari Papua (Biak).
Jadi, sangat “benturan” dan salah kaprah sekali jika pemerintah pusat atau ada literatur historis NKRI yang mau mengklaim bahwa Gerakan Koreri yang dipimpin Mama Angganita Manufandu itu adalah bagian daripada perjuangan kemerdekaan Indonesia di Papua (academia.edu).
Mama Angganeta Manufandu memainkan peran perempuan dalam sejarah peradaban dan perdamaian di Papua, seperti halnya R.A Kartini di Indonesia. Kedua perempuan ini sama berharganya bagi Bangsa Papua dan Bangsa Indonesia (bahkan di wilayah Indonesia lainnya pasti ada sosok perempuan seperti ini). Jadi, yang hendak penulis ketengahkan di sini adalah bahwa R.A. Kartini itu “ilegal” diperingati di Papua sebagai “pejuang emansipasi perempuan Papua”, yang wajib diperingati ialah dan hanyalah Mama Angganeta Manufandu. Sebab sangat jelas bahwa Kartini tidak berjuang untuk Papua, apalagi bagi perempuan Papua (ini sangat kocak dan lucu), kecuali Mama Angganeta Manufandu.
Kartini hanya berjuang untuk perempuan di Pulau Jawa (ini catatan penting bagi perempuan di luar Pulau Jawa, khususnya Papua dan wilayah lainnya di NKRI, untuk tidak terkesima dan tersugesti dengan sosok perempuan yang kontras jauh secara kultural, emosional, dan spiritual).
Pada kesempatan ini juga penulis hendak “meluruskan” istilah “keliru” yang sempat dikampanyekan oleh beberapa tokoh di Papua. Bahwa Mama Yosepha Alomang adalah “Kartini Papua”.
Bagi penulis Mama Yosepha Alomang dan semua perempuan yang serupa dengannya di Papua ialah “Mama Angganeta Baru” atau “Mama Angganeta Lainnya”. Mengapa demikian?
Secara emosional, kultural, mental, dan spiritual “R.A. Kartini” dan “Perempuan Papua” sangatlah berbeda. Memang maksud tokoh-tokoh itu baik jika ditilik dari sisi perjuangan emansipasi perempuan.
Akan tetapi, bagi penulis sosok seperti Kartini itu juga ada di Papua. Sosok itu adalah Mama Angganeta Manufandu. Karena itu, sudah layak dan sepantasnya ketokohan Mama Angganeta Manufandu kita angkat, dengan mempublikasikan karya literasi tentangnya, dan menentukan satu momen bagi peringatan untuk beliau. Dengan demikian, spirit perjuangannya tetap terpatri dalam sanubari bangsa Papua, khususnya kaum hawa.
Mengenal Mama Yosepha Alomang: Sosok “Anggginita Manufandu Baru”
Mama Yosepha Alomang adalah salah satu perempuan asli Papua asal suku Amungme—pemilik Gunung Nemangkawi (yang kini menjadi konsesi tambang PT Freeport). Ia lahir tahun 1940-an di Kampung Tsinga atau Nusulanop (bahasa Amungkal). Ayahnya bernama Nereus Magal meninggal, lalu ibunya kawin lagi dengan bapak tirinya, Philipus Alomang.
Tentunya kiprah dan passion Mama Yosepha Alomang tidak asing lagi bagi bangsa Papua. Ia tidak seperti perempuan Papua lainnya, yang sudah mendapatkan siraman pengetahuan yang luas dan mendalam khas moderen.
Ia tidak sama dengan perempuan yang berparas menawan. Ia tidak seperti perempuan kebanyakan.
Namun, hingga detik ini Mama Yosepha Alomang menjadi simbol “pergumulan seorang perempuan Papua yang melawan penindasan”. Ia menjadi manifestasi “emansipasi perempuan Papua” atau dalam bahasa penulis, ia adalah “Mama Angganeta Baru” atau “Mama Angganeta Manufandu Baru”. Mengapa demikian?
Motivasi dan inspirasi perjuangan emansipasi Mama Yosepha Alomang muncul ketika melihat kebrutalan, kefatalan, dan keradikalan penjajah Indonesia melalui PT Freeport dan antek-anteknya menggusur suku bangsa Amungme, Kamoro, dan bangsa Papua, sama persis seperti Mama Angganeta Manufandu tempo lalu (Giyai dan Kambai. 2003. hlm. 39).
Mama Yosepha Alomang memang memiliki keterbatasan secara intelektual-jasmani, tetapi secara spiritual-rohani hingga saat ini belum ada perempuan dengan titel tinggi yang bisa menandinginya.
Menurut almarhum Pater Natalis Henepitia Gobai, Mama Yosepha Alomang adalah “simbol emansipasi perempuan Papua”. Hal ini menurut pastor yang getol, vokal, dan frontal memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kedamaian di tanah Papua itu ditandai oleh beberapa hal:
Pertama, Mama Alomang berani melawan berbagai tantangan, baik internal (budaya dan agama), maupun tantangan eksternal (PT Freeport, militer, dan NKRI);
Kedua, Mama Alomang betul-betul konsisten dengan perjuangan hingga mendapatkan dua penghargaan bergensi Yap Thiem Hien pada 1999, Desember dan Goldman Award Environment Prize pada 23 April 2001;
Ketiga, Mama Alomang punya sikap yang ingin berkorban demi masyarakat kecil;
Keempat, ia punya pengaruh di antara anggota kelompok (Giyai dan Kambai. 2003. hlm x).
Feminisme dan emansipasi: Menjadi “Mama Angganeta Manufandu dan Mama Yosepha Alomang yang baru”
Pada bagian terakhir tulisan ini, penulis hanya hendak menegaskan ide awal penulisan. Bahwa sudah layak dan sepantasnya para pejuang feminisme marxis di Papua “mengawinkan” paham-paham feminisnya, baik yang moderat, maupun yang radikal itu dengan, dalam dan melalui perjuangan emansipasi dari perempuan-perempuan hebat di Tanah Papua semisal Mama Angganeta Manufandu dan Mama Yosepha.
Bahwa terkesima dan tersugesti dengan paham-paham asing, seperti feminisme marxis itu baik dan sangat penting bagi perjuangan “Papua Baru”.
Namun, agar target daripada paham-paham tersebut tidak “kosong”, melainkan “kena konteks”, maka sudah saatnya teori-teori itu “dimasak, kunyah dan disajikan secara baik dan benar kepada masyarakat Papua, khususnya kaum hawa Papua.
Sebab masa depan suatu bangsa ada di tangan generasi mudanya, terutama kaum perempuannya. Sehingga memang upaya pencerdasan kaum hawa di Papua itu, mesti digencarkan dengan pelbagai cara yang kritis, edukatif, rasional, dan humanis, tapi juga berbasis teks dan konteks kepapuaan dan kemelanesiaan.
Perlu ada anggapan bahwa dalam sarana-sarana pencerdasan kehidupan bangsa Papua, terutama kaum hawa budaya mesti menjadi bahan referensi primer, agama mesti menjadi bahan sekunder dan negara mesti menjadi bahan tersier.
Dengan kata lain, teori feminisme dan paham-paham asing lainnya mesti hanya berperan sebagai “sarana” bukan sebagai ‘tujuan”. Pada bagian ini ada beberapa hal ikhwal yang hendak penulis tegaskan;
Pertama, perjuangan emansipasi dari Mama Angganeta Manufandu dan Mama Yosepha Alomong mesti menjadi referensi primer, kiblat, dan “tungku api” (pusat kehidupan perjuangan emansipasi perempuan Papua), bukan paham-paham feminisme-marxis yang radikal maupun moderat di Papua.
Hal ini perlu agar kedepannya akan lahir dan hadir banyak “Mama Angganeta Manufandu” dan Mama Yosepha Alomang Yang Baru”, bukan “Kartni-Kartini” yang tidak jelas, tegas, dan keras di Papua.
Kedua, Mama Angganeta Manufandu dan Mama Yosepha Alomang mesti diabadikan sebagai “simbol emansipasi perempuan Papua” bisa melalui pembuatan buku (karya literasi), pengadaan diskusi/seminar, pembuatan drama/film/video dokumenter, monumental (menentukan satu hari sebagai hari festival emansipasi perempuan Papua, bisa pada hari kelahiran atau kematian Mama Angginita Manufandu).
Hal ini bisa dihandle oleh oknum dan pihak yang berkecimpung dalam perjuangan “Papua Baru”, MRP Kelompok Kerja (Pokja) Anak dan Perempuan, DPR, dan semua instansi yang punya passion atas eksistensi perempuan Papua yang lebih berkualitas. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Discussion about this post