Oleh: Budi Hernawan PhD*
Di Bagian I telah dijelaskan adanya tiga kategori konflik: Konflik Bersenjata Internasional (KBI), Konflik Bersenjata Non-Internasional (KBNI), dan gangguan keamanan. Akan tetapi, hanya KBI dan KBNI yang diatur oleh HHI. Artinya, HHI hanya berlaku dalam dua status hukum tersebut.
Data-data yang disajikan oleh lembaga HAM di Papua maupun di tingkat internasional, belum pernah melaporkan adanya keterlibatan angkatan bersenjata dari luar negara Indonesia dalam konflik bersenjata di Papua, sehingga otomatis status KBI gugur. Tinggalah status KBNI yang perlu kita uji bersama.
Berbeda dengan KBI dimana semua Konvensi Jenewa I-IV 1949 berlaku, KBNI hanya diatur oleh satu pasal yang kebetulan kembar di empat konvensi tersebut, yakni Pasal 3, sehingga para ahli HHI menjulukinya sebagai “Konvensi Jenewa mini” dan Pasal 1 Protokol Tambahan 2. Karena itu baiklah secara utuh kita bersama mencermati kedua teksnya sehingga mendapatkan pemahaman yang lengkap
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949
“Dalam hal konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, setiap Pihak yang terlibat dalam konflik itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Orang-orang yang tidak ikut serta secara aktif dalam permusuhan, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang menjadi ‘hors de combat’ karena sakit, luka, penahanan, atau sebab lainnya, dalam segala situasi harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan yang merugikan apa pun yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria lain yang serupa.
Untuk tujuan ini maka tindakan-tindakan sebagai berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas, setiap saat dan di mana pun juga:
a. tindakan kekerasan atas jiwa dan orang, terutama setiap macam pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan;
b. penyanderaan;
c. perlakuan biadab atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
d. penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.
2. Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Suatu badan kemanusiaan yang imparsial, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Para Pihak yang terlibat dalam konflik, selanjutnya harus berusaha untuk memberlakukan, melalui kesepakatan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lain dari Konvensi ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi status hukum Para Pihak yang terlibat dalam konflik” (lihat ICRC Indonesia 2021: 73-74).
Pasal 1 Protokol Tambahan II
Protokol ini (…) berlaku pada semua konflik bersenjata yang tidak [bersifat internasional] dan yang berlangsung di wilayah dari suatu Pihak Peserta Agung antara angkatan bersenjatanya dan angkatan bersenjata pemberontak atau kelompok-kelompok bersenjata lainnya yang terorganisir yang, berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali atas suatu bagian dari wilayahnya, sehingga memungkinkan mereka melaksanakan operasi-operasi militer secara terus-menerus dan terpadu dan untuk melaksanakan Protokol ini.
Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi gangguan dan ketegangan dalam negeri, seperti kerusuhan-kerusuhan, aksi kekerasan terisolasi dan sporadis serta aksi serupa lainnya, yang tidak merupakan konflik bersenjata” (lihat ICRC Indonesia 2021: 74-75).
Dua pasal itu mengatur tentang kewajiban, larangan, dan ketetapan bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata non-internasional, sehingga perlu kita telisik satu per satu.
Pertama, para pihak wajib “memperlakukan secara manusiawi” kelompok orang yang dilindungi, yakni: orang-orang yang tidak ikut serta aktif dalam pertempuran dan angkatan perang yang telah meletakkan senjata mereka karena luka, sakit, ditawan (hors de combat) dengan penegasan ‘tanpa diskriminasi’ berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan.
Kedua, para pihak yang dimaksudkan adalah angkatan bersenjata negara, angkatan bersenjata pemberontak atau kelompok bersenjata terorganisir lainnya. Ciri-ciri terorganisir mencakup tiga hal: adanya komando, kendali wilayah dan operasi militer terus-menerus.
Ketiga, larangan untuk melakukan empat jenis tindakan terhadap warga sipil dan hors de combat di atas, meliputi: [1] pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam, dan penyiksaan, [2] penyanderaan, [3] perlakuan biadab atas kehormatan pribadi, dan [4] penjatuhan dan pelaksaan hukuman mati tanpa mengikuti prosedur pengadilan yang sah.
Keempat, para pihak wajib mengumpulkan dan merawat yang luka dan sakit. Untuk inilah organisasi kemanusiaan yang tidak memihak (imparsial) dapat menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang terlibat konflik seperti ICRC dan organisasi serupa. Kata ‘menawarkan’ ini patut digarisbawahi karena status ini berbeda dengan KBI dimana organisasi kemanusiaan seperti ICRC memiliki hak untuk langsung menangani korban konflik bersenjata tanpa harus meminta persetujuan para pihak yang berkonflik seperti dalam kasus Ukraina atau Gaza.
Kelima, para pihak wajib menerapkan Konvensi Jenewa. Ketetapan ini sangat penting dicatat. Berbeda dengan paradigma HAM dimana negara adalah aktor tunggal yang mengemban kewajiban pemenuhan HAM, HHI mewajibkan semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata menerapkan Konvensi Jenewa 1949 tanpa pengecualian apapun.
Keenam, kepatuhan para pihak terhadap Konvensi Jenewa 1949 tidak akan menjadikan mereka kehilangan status sebagai pihak dalam konflik tersebut.
Terakhir, Protokol Tambahan II tidak berlaku pada kondisi gangguan keamanan seperti tawuran, kerusuhan sosial dan sejenisnya.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah setiap konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dan pasukan non-pemerintah, seperti yang kita alami di Papua, otomatis berstatus KBNI? (bersambung). (*)
* Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta dan Direktur SKP Keuskupan Jayapura periode 2004-2009.
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!