Oleh: Thomas Ch Syufi
Minggu, 29 Mei 2022, umat Katolik sejagat, termasuk Indonesia dan Papua merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-56. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengangkat tema perayaan ini dengan merujuk pesan Paus Fransiskus (85), “Mendengarkan dengan Telinga Hati”.
Tentu pesan ini bermakna dalam jika direnungkan dan dihayati secara baik. Bahwa mendengarkan tidak menggunakan indera pendengaran semata, tetapi yang menjadi tempat mendengarkan yang sebenarnya, yaitu “hati”. Di situlah pendengaran keseluruhan manusia.
Saya menangkap dari pesan ‘mendengarkan dengan telinga hati’ bukanlah sebuah sesuatu yang mudah. Namun butuh totalitas jiwa dan raga untuk mendengarkan.
Mendengarkan sangat menentukan dalam tata bahasa, yang kemudian melahirkan sebuah dialog sejati. Tidak sebatas mendengar melalui telinga dan kepala lalu habis atau hilang begitu saja.
Akan tetapi, tuntutan mendengarkan dengan hati adalah sebuah sikap batin paling dalam. Sesuatu yang dapat didengar atau diterima melalui telinga masuk ke kepala, harus direfleksikan lebih mendalam, sebab, pada dasarnya, mendengarkan adalah sebuah dimensi cinta.
Pesan Paus asal Argentina itu mengatakan bahwa siapapun harus datang, melihat dan memahami kenyataan, lalu menceritakannya kembali atau membuat keputusan yang tepat sasaran. Harus mengalami peristiwa-peristiwa dan bertemu dengan orang-orang dan memahami realitas hidup mereka.
Mendengar harus mencondongkan telinga atau dada ke pihak yang mendengarkan cerita, agar kita terikat dalam perjanjian cinta, yang mengikat manusia dengan Sang Pencipta Yang Tidak Diciptakan.
Dan kesemuanya itu bersumber dari sebuah komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif datang dari komunikator yang baik, baik dalam rumah tangga dan masyarakat, maupun dalam hidup antarumat beragama dan bernegara. Misalnya, seorang istri berbicara kepada suami atau sebaliknya, suami berbicara dengan istri, atau anak-anak menyampaikan keluh-kesahnya kepada orangtua, harus saling mendengarkan. Juga para pemimpin umat atau masyarakat harus mendengarkan suara dari umat atau masyarakatnya.
Di sini interaksi antara para komunikator sangat penting. Karena sebuah tujuan dapat tercapai bila kedua pihak saling mendengarkan. Tidak hanya sebatas mendengar, tetapi menyerap hingga ke hati, lalu melangkah (mengambil keputusan).
Apa pun yang diperdengarkan kepada lawan bicara, entah baik atau buruk, perlu disampaikan secara terbuka, agar makna dari pesan itu dapat menjadi rujukan dalam mengambil keputusan. Cara itu dapat mengikis berbagai informasi sesat.
Keputusan yang baik hanya lahir dari pembicara dan pendengar yang baik. ”Meski dalam situasi perang, sopan santun harus diutamakan,” kata Santo Agustinus dari Hippo (354 – 430), filsuf dan pujangga Gereja.
Santo Agustinus juga mendorong orang untuk mendengarkan orang lain dengan hati atau ‘hati mendengarkan’(corde audire). Nilai sopan santun dan rendah hati menjadi landasan kuat, untuk berpacu dan membangun sebuah komunikasi menjadi lebih baik.
Dari sanalah cahaya keadilan, kebenaran, dan kejujuran terpancar. Dengan demikian, kepercayaan akan terbangun (trust building) antara kedua pihak (pemberi pesan dan pendengar), untuk melaksanakan kepentingan bersama tanpa saling curiga, saling menuduh, apalagi saling klaim atau memonopoli kebenaran sepihak.
Memang, permasalahan yang terjadi antarsesama manusia saat ini juga dipengaruhi derasnya arus modernisasi; melonjaknya arus informasi dan teknologi, baik informasi yang bersumber dari media massa, maupun media sosial, yang belum tentu sesuai fakta.
Padahal fakta adalah sesuatu yang suci, hingga perlu dibeberkan juga sesuai dengan kenyataannya. Ekses dari tiap orang yang tidak mau membuka telinga hati, mendengar cerita dan melihat realitas dari orang lain, memunculkan distorsi, ketimpangan antara fakta dan informasi yang disebarluaskan, hingga kadang cenderung melahirkan disrupsi dalam masyarakat.
Pada hakikatnya, sebuah komunikasi menjadi baik dan manusiawi apabila ada kesediaan mendengarkan, tulus dan jujur. Sesuatu yang didengar secara tidak lengkap dan tidak direfleksikan dalam hati akan melahirkan informasi yang menyesatkan, mengandung kebenaran semu, dan menjauhkan kemampuan para pihak untuk menikmati perdamaian itu sendiri.
Informasi yang diperoleh lalu disebarkan tanpa verifikasi sangat mudah menimbulkan perpecahan atau konflik, yang menggerus semangat untuk menenun persatuan dan kesatuan. Informasi yang parsial atau sepotong-potong, akan menjerumuskan kita menjadi provokator yang mengancam perdamaian, mencederai kerukunan umat beragama, sekaligus memperuncing konflik.
Hanya dengan sikap sopan santun, rendah hati, empati, dan cinta kasih seseorang akan menjadi komunikator yang efektif. Komunikator yang baik juga adalah konselor yang bijak.
Kemampuan mendengarkan adalah hal utama bagi seorang konselor. Apapun permasalahan yang disampaikan, ia wajib dengar dan menampung, lalu ia menjawab dan menjelaskannya sesuai dengan situasi atau permasalahan yang sedang dibicarakan. Ia tidak berhak melanjutkan segala permasalahan yang dibicarakan (atau didengar) itu kepada orang lain, tetapi ia cukup menjadi pemecah masalah (problem solving).
Realitas Papua
Namun, sangat disayangkan tampaknya orang-orang tidak saling mendengarkan. Mereka lebih banyak percaya pada arus informasi yang kebenarannya masih dipertentangkan. Bahkan, lebih banyak yang suka berasumsi, beropini, maupun apriori.
Ada yang mengetahui fakta dan kebenaran, tetapi sulit berkata jujur. Apalagi kebenaran tersebut akan menyenggol kepentingannya. Itulah siklus konflik yang terjadi Tanah Papua.
Konflik di Papua terjadi secara laten dan berkepanjangan, karena soal butanya telinga hati untuk mendengarkan. Ruang dialog, diskusi dengan cara tatap muka, melihat langsung kondisi korban di Papua tidak pernah terjadi.
Padahal, kebenaran itu hanya bisa terungkap dalam situasi kebebasan; karena di situ ada retorika, dialektika, konflik, dan konsensus. Bagaimana mau mewujudkan perdamaian jika keadilan, kebenaran, dan kebebasan yang menjadi pangkal dari kebahagiaan masih dimanipulasi?
Rakyat Papua hendak mengekspresikan aspirasi, tetapi negara menjawabnya dengan represi. Maka resistensi masih berkelanjutan.
Memang, kekerasan selalu mematikan. Kekerasan selalu menghancurkan solidaritas. Kekerasan selalu melawan demokrasi. Setiap orang tidak dianggap sebagai manusia bagi sesamanya (homo homini socius est), tetapi menjadi serigala bagi yang lain (homo homini lupus est).
Kekerasan tidak pernah mendatangkan solusi, tetapi isolasi. Semua ini terjadi dalam iklim demokrasi yang telah mengakhiri kekuasaan diktator Soeharto dan rezim totalitarianisme Orde Barunya selama 32 tahun (hingga berekses ke Papua).
Rakyat Papua memang butuh disapa, didatangi, dipeluk, dipapah, dan didengarkan dengan telinga hati. Rakyat Papua tidak butuh jalan, aspal, dan jembatan beton.
Akan tetapi mereka butuh jalan demokrasi, untuk membangun jembatan perdamaian yang akan diseberangi semua orang dari berbagai latar belakang suku, ras, agama, antargolongan, maupun status sosial, termasuk juga dilewati pemerintah Indonesia.
Mungkin inilah satu-satunya cara untuk tidak memperpanjang litani kematian di Tanah Papua, sekaligus membawa orang Papua lewat dari penindasan menuju kebebasan; dari kematian menuju kehidupan.
Sebagai negara Pancasila, Indonesia sudah tentu harus menjadi pencinta kemanusiaan, sekaligus sebagai pembela dan perawat kehidupan.
Tidak sampai di situ, cara mendengarkan dengan telinga hati, bisa menyudahi habitus lama–mengklaim kebenaran sepihak untuk merebut opini publik tanpa berani membuktikan antara data dan fakta, hingga melahirkan perdebatan panjang yang mencemari ruang publik.
Hal itu juga membantu Indonesia agar tidak dianggap sebagai negara pembawa ‘obor demokrasi’ yang tidak sempurna di tengah kegelapan dan kacau balaunya pelaksanaan otsus di Tanah Papua. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua.
Discussion about this post