Jayapura, Jubi – Masyarakat Kampung Muliama menolak pembangunan kantor Komando Resor Militer atau Korem TNI, di Distrik Muliama, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. Penolakan itu disampaikan dalam diskusi daring lewat saluran Youtube, pada Rabu (17/4/2024).
Ahli waris tanah, Emand Adola Elopere, saat diberikan kesempatan berbicara, mengatakan usaha masyarakat di Kampung Muliama untuk menolak pembangunan itu sudah berlangsung selama 13 tahun sejak 2011.
“Kami juga sudah meminta beberapa pihak untuk menyurati ke Dandim untuk melakukan penolakan,” kata Elopere.
Elopere juga mengatakan dalam keluarganya tanah yang akan dipakai untuk membangun kantor Korem, tanahnya itu sebagai tempat berusaha dan berkebun untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
“Pada saat negosiasi pun, sudah menggunakan tindakan kekerasan, jadi itu menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi masyarakat di Kampung Muliama,” ujarnya.
Ketua Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Jayawijaya Naila Siep, mengatakan pihaknya (mahasiswa) baru saja mulai melakukan aksi-aksi penolakan.
“Kami Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Jayawijaya akan tetap mendukung masyarakat dan kawal terus persoalan ini,” kata Siep.
Vara, salah satu pemuda Suku Hubula juga mengatakan tanah itu bagi sukunya adalah mama, dimana suku mereka hidup bergantung sepenuhnya kepada tanah.
“Kalau ada tanah, orang Hubula itu bisa hidup, bisa beternak, bangun rumah, ambil obat-obatan tradisional yang ada di hutan, dan ada warisan leluhur yang diturunkan ke generasi berikutnya,” kata vara.
Jadi menurutnya, orang Hubula melihat tanah itu sebagai harta yang sangat penting, dan orang Hubula sangat bergantung hidup kepada tanah leluhur mereka.
“Kami juga melihat ada unsur-unsur politik dibalik pengurusan atau proses pembangunan Korem di atas tanah leluhur kami,” kata Vara.
Vara juga menambahkan ada serangkaian peristiwa yang terjadi di daerah mereka. Mulai dari tahun 1977 sampai saat ini, banyak masyarakat yang mengalami kekerasan dari pihak TNI.
“Kehadiran TNI itu menciptakan trauma, pembungkaman, ketidaknyamanan bagi masyarakat di Kampung Muliama.” ujarnya.Penambahan struktur militer di Muliama, menurutnya bukan memberikan perlindungan bagi masyarakat, tapi justru membungkam masyarakat.“Misalnya masyarakat mau pergi ke kebun buat ambil ubi atau sayur, atau berkunjung ke keluarga di malam hari, kebebasan berinteraksi orang Muliama akan terbungkam,” ujarnya.
Vara juga mengatakan perlu dipertanyakan mengapa harus ada pembangunan Korem di Kampung Muliama? Ada apa di Kampung Muliama, padahal kalau di lihat dalam peta investasi di Tanah Papua, Kampung Muliama tidak termasuk dalam peta investasi.
“Kekhawatiran kami orang Muliama, mungkinkah ada kepentingan lain, di balik pembangunan Korem di kampung kami,” ujarnya.
Jadi, sambung Vara lagi, pada prinsipnya masyarakat menolak, karena di kampung mereka juga banyak sekali terjadi peristiwa perampasan tanah adat. “Misalnya baru-baru ini terjadi perampasan tanah seluas 108 hektar di Boma, persoalannya belum diselesaikan sampai detik ini, hal seperti inikan menimbulkan masalah baru lagi,” katanya.
Konflik-konflik ini menurutnya belum terselesaikan, karenanya ia berharap semua kelompok baik gereja, pemerintah harus melihat dari sisi baik dan buruk, bukan pemerintah memberikan legitimasi.
Abi Nahdan dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), mengatakan praktek kekerasan sehalus apapun, itu termasuk kolonialisme, itu tetap penjajahan.
“Kawan-kawan Papua mungkin melihat dan menilai Indonesia satu-satunya negara yang sedang melakukan kolonialisme terhadap orang Papua,” kata Abi.
Tapi, lanjutnya, pihaknya melihat sejarah kolonialisme di Papua itu sudah terjadi sejak abad ke -16, dimana kepala burung cendrawasih di ekspos ke luar negeri.
“Siapa saja bangsa Eropa itu? Belanda, Jerman, inggris, dan Spanyol walaupun rentan waktu mereka di Papua tidak begitu lama, dan yang rentan waktunya lama itu adalah Belanda,” ujarnya.
Abi juga mengatakan dari serangkaian peristiwa sejarah itu, dapat dilihat sistem perkembangan ekonomi politiknya, pendekatan yang dilakukan terhadap Papua selalu ada pengabaian terhadap hak-hak dasar rakyat Papua.
“Misalnya zaman dulu pembagian wilayah Papua selatan, Papua barat, Papua timur, itukan tidak melibatkan orang Papua, tapi berdasarkan keinginan Inggris, Jerman, dan Belanda, yang kala itu bangsa Eropa sedang mencari daerah-daerah koloni seperti Asia, Afrika, dan lain-lain,” kata Abi.
Jadi menurutnya, dimana ada koloni pasti ada mobilisasi militer. “Salah satu hal yang tidak bisa kita abaikan, kenapa sampai Papua menjadi koloni Indonesia itu tidak terlepas dari peran Eropa, Amerika Serikat dan juga mediasinya adalah PBB,” ujarnya.
Diskusi yang berlangsung selama satu jam secara live streaming di YouTube itu menghadirkan empat narasumber yaitu Emand Adola Elopere sebagai ahli waris, Vara salah satu pemuda suku Hubula, Naila Siep Ketua Himpunan Mahasiswa dan Abi M. Nahdan dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua atau FRI-WP.(*)
Discussion about this post