Manokwari, Jubi – Ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia atau GSBI Papua Barat Yohanes Akwam mengatakan Peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2024 merupakan momentum untuk mendorong perubahan, terutama meminta Pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPRD Provinsi Papua Barat agar membuat regulasi atau peraturan daerah khusus (perdasus) yang berpihak kepada buruh Orang Asli Papua (OAP).
Menyampaikan hal itu di Manokwari pada Rabu (1/5/2024), Akwam menyampaikan organisasinya tidak melakukan aksi demo memperingati Hari Buruh 1 Mei 2024. Hanya saja pihak GSBI terus mendorong supaya Gubernur dan DPRD Papua Barat membuat perdasus terkait buruh OAP.
“Hari Buruh kali ini memang kami tidak lakukan, karena kami lagi fokus menata organisasi dan mendorong buruh untuk masuk pada organisasi GSBI,” katanya.
Ia menaruh harapan agar DPR dan Gubernur Papua Barat segera mempercepat peraturan daerah khusus (Perdasus) terkait rekrutmen tenaga kerja Orang Asli Papua (OAP).
“Selain Perdasus, tenaga kerja OAP juga harus ada aturan terkait rekrutmen tenaga kerja satu pintu sehingga mengakomodir penduduk di Papua Barat,” ujarnya.
Dia mengingatkan kisaran tahun 2019 hingga 2021 pihaknya mendorong agar pemerintah dan DPRD membuat Perdasus soal Buruh OAP. “Ini buka soal rasis, karena sejumlah perusahan, misalnya BP Tangguh di Teluk Bintuni kerap mempekerjakan tenaga kerja dari luar, sedangkan banyak tenaga kerja kita di daerah penghasil juga di Papua Barat tak mendapat ruang yang baik,” katanya.
Selain itu, BUMN dan BUMD di wilayah Papua Barat juga kerap mempekerjakan buruh dari luar. Karena itu, menurutnya dibutuhkan sebuah aturan hukum sehingga melindungi penyumbang pendapatan dan pertumbuhan ekonomi terbesar yang berasal dari buruh.
“Ini harus diatur dengan baik supaya pendapatan buruh di Papua Barat tidak mengalir keluar,” katanya
Menurut Akwam jika buruh yang direkrut di wilayah Papua Barat, sudah pasti mereka tinggal di Papua Barat dan berbelanja di daerah ini dan bukan diambil pekerja dari luar kemudian membawa penghasilan ke luar.
Anies, sapaan akrab Yohanes Akwam, mengingatkan pelaku industri di Papua Barat agar tidak mencoba-coba membayar buruh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Papua Barat.
“Karena itu tindak pidana, pada prinsipnya kami tetap menolak Omnibus Law serta proses perbudakan,” ujarnya.
Pihaknya juga mendesak perusahaan agar tidak hanya memikirkan keuntungan atau laba, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan buruh, kebebasan berserikat, dan juga memperhatikan waktu cuti haid dan hamil bagi buruh perempuan. “Jangan sampai melakukan PHK,” katanya.
Ia juga meminta pelaku industri di Provinsi Papua Barat untuk memperhatikan pekerja di wilayah Papua Barat. Anies menceritakan beberapa tahun lalu GSBI menemukan perusahan kelapa sawit di Manokwari mempekerjakan anak di bawah umur.
“Mereka dilibatkan oleh orang tuanya untuk mengumpulkan biji sawit, hal ini kami minta ke pihak perusahaan agar tidak mempekerjakan anak di bawah umur,” katanya.
Dia meminta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melakukan pengawasan secara ketat terhadap pelaku industri. “Apalagi anak di bawah umur dipekerjakan di setiap jenis usaha di Papua Barat,” katanya.
Anies juga mendesak Dinas Tenaga Kerja di setiap kabupaten agar membentuk dewan pengupahan sehingga setiap tahun bisa mengukur indeks kemahalan.
“Jangan kita melihat buruh sebagai sebuah pekerja kasar atau murahan, tapi hari ini kita lihat bahwa kalau tida ada buruh maka tak ada pembangunan di daerah ini,” ujarnya. (*)
Discussion about this post