Jayapura, Jubi – Rata-rata enam perempuan terbunuh setiap tahun selama 10 tahun terakhir di Fiji dan ini disebabkan oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang masih berlangsung.
Hal itu diungkapkan Koordinator Women’s Crisis Center Fiji Shamima Ali kepada https://www.fijivillage.com yang dikutip jubi.id, Rabu (1/5/2024).
Hasil penelitian tentang kekerasan dalam rumah tangga di negara tersebut dan pembunuhan terhadap kaum perempuan sangat mengkhawatirkan.
Dia mengatakan ini hanyalah pembunuhan terhadap perempuan yang didokumentasikan baik oleh media atau polisi, selain dari kasus-kasus yang hanya dengar dan tidak dilaporkan.
Ali mengatakan tidak ada pemahaman mengenai jumlah sebenarnya, namun pembunuhan terhadap perempuan merupakan kekhawatiran yang semakin meningkat di Fiji. “Ini perlu segera diatasi,” katanya.
Ali mengatakan laki-laki yang menggunakan kekerasan adalah tetangga kita, anggota keluarga kita, pasangan kita, dan kita harus mulai memperlakukan hal ini sebagai masalah sistemik. “Bukan melihat ini sebagai masalah yang disebabkan oleh segelintir orang jahat,” ujarnya.
Menurut Ali, Fiji merupakan salah satu negara dengan tingkat kekerasan dalam rumah tangga tertinggi, di mana 64 persen perempuan mengalami kekerasan seksual, fisik, dan emosional. Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi perempuan.
Ia menyinggung masalah itu menyusul adanya kasus pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi baru-baru ini di sebuah kompleks apartemen sepanjang Robertson Road di Suva, Kamis (25/4/2024), di mana seorang pria berusia 27 tahun diduga menikam istrinya yang berusia 25 tahun hingga tewas.
Ali menyerukan perlunya mengkaji perilaku laki-laki dan tanggung jawab masyarakat.
Dia mengatakan FWCC terkejut dengan kejadian baru-baru ini dan bertanya berapa banyak lagi perempuan yang perlu meninggal dengan cara seperti itu agar kita semua sebagai warga Fiji dapat mengatakan cukup sudah. “Semua sepakat dan mengakui serta menyetujui bahwa patriarki yang tertanam dalam masyarakat adalah penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan,” katanya.
Ia mengatakan semua pihak harus berhenti memperlakukan kesetaraan gender dan diskriminasi gender sebagai isu yang ‘sensitif’ dan tidak lagi memperlakukan pemimpin, terutama pemimpin laki-laki, agar mereka tidak tersinggung.
Ali mengatakan ada Rencana Pencegahan Nasional, namun hal ini akan membutuhkan waktu untuk bisa diterapkan, terutama ketika banyak upaya dilakukan untuk membuat berbagai lingkungan masyarakat menyetujui konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menghormati hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan.
Ia lebih lanjut mengatakan penggunaan agama dan budaya sebagai alasan atas perilaku buruk laki-laki dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan harus dihentikan dan pencegahan dapat dimulai dari rumah sendiri dan di mana pun berada.(*)
Discussion about this post