Sentani, Jubi – Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia di Papua, Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua melaksanakan kegiatan diskusi di Aula STT Walterpost Sentani, Kabupaten Jayapura, pada Selasa (20/6/2023). Kegiatan ini menghadirkan sejumlah pembicara yang terdiri dari korban pengungsi, serta tenaga sukarelawan yang turun langsung di lapangan dalam pendataan pengungsi di sejumlah wilayah di Papua.
Koordinator Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua, Ester Haluk dalam sambutannya menyampaikan bahwa tujuan dilaksanakannya diskusi, agar semua mendapat informasi tentang pengungsian yang saat ini sedang terjadi di sejumlah wilayah di Papua Pegunungan, Papua Tengah, maupun Papua Barat.
“Dari diskusi ringan di antara teman-teman di dalam koalisi maupun faksi-faksi yang lain, akhirnya kita bisa datangkan para narasumber kita yang membagi seluruh cerita mereka tentang kondisi masyarakat yang mengungsi di Maybrat, Yahukimo, Intan Jaya, dan Nduga,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak kampus STT Walterpost Sentani yang telah menyediakan fasilitas ruangan untuk digunakan, dan semua teman-teman gerakan, koalisi, serta para mahasiswa yang turut ambil bagian dalam diskusi.
Dirinya berharap, hasil dari diskusi serta informasi dari korban dan tenaga sukarelawan pengungsi, bisa membuka hati dan rasa kepedulian terhadap nasib ribuan masyarakat yang saat ini tinggal di pengungsian.
“Persoalan tentang pengungsi saat ini belum ditangani secara serius, sementara masih banyak masyarakat yang keluar dari kampung halaman rumah mereka, untuk mencari tempat yang lebih aman dan nyaman. Sementara informasi soal pengungsi ini didiamkan, serta tidak mendapat perhatian serius oleh semua pihak saat ini, terutama pemerintah daerah setempat,” jelasnya.
Salah satu tenaga sukarelawan yang melakukan pendataan serta mendampingi pengungsi di Kabupaten Yahukimo, Letty Sool yang mengawali kisahnya tentang pengungsi di wilayah Kabupaten Yahukimo menjelaskan, sebagian besar masyarakat yang tinggal di perkampungan memilih lari dari kampungnya dan tinggal di dalam hutan.
“Seperti masyarakat yang tinggal di Kampung Suru-Suru, semua sudah meninggalkan kampung dan tinggal di hutan. Sebagian lagi lari menuju Asmat dan kampung-kampung yang dirasa aman,” katanya.
Dari cerita para pengungsi, kata dia, tempat tinggal mereka di kampung sudah dibakar, tersisa sekolah dan gereja itu pun dijadikan sebagai posko militer.
Lanjutnya, ketika warga yang mengungsi ingin kembali ke kampung halaman untuk mencari bahan makanan di kebun atau dusun mereka, militer Indonesia menganggap para pengungsi ini sama dengan pengacau keamanan atau gerakan separatis. Sementara pemerintah daerah setempat sama sekali tidak ada upaya, untuk menangani masyarakatnya yang dalam kesusahan di tempat pengungsian. Justru, masyarakat yang disalahkan karena telah keluar dari kampungnya masing-masing.
“Masyarakat yang datang ke kampung, di mana pos militer berada, pasti mendapat ancaman dan tindakan kekerasan. Sementara kami sebagai tenaga sukarelawan tidak dapat berbuat banyak, karena mendapat hal [perlakuan] yang sama seperti masyarakat yang mengungsi,” ucapnya. (*)