Jayapura, Jubi – Kehadiran pasukan keamanan gabungan dari prajurit Tentara Nasional Indonesia atau TNI dan Polri di sejumlah daerah konflik bersenjata dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dituding memberikan trauma bagi orang asli Papua – OAP yang berstatus pengungsi internal atau Internally Displaced Persons (IDPs).
Pengungsi OAP pun meminta negara segera menghentikan operasi militer dan memulihkan daerahnya kembali normal.
Hal tersebut diungkapkan para pengungsi dan pendamping pengungsi dalam diskusi yang digelar sebuah komunitas: Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua, dalam memperingati Hari Pengungsi Sedunia pada Selasa, 20 Juni 2023, di Aula STT Walter Post Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Raga Kogoya, perempuan pengungsi asal Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan yang masih hidup di pengungsian di Kabupaten Jayawijaya bersama empat anaknya. Raga mengungsi bersama ribuan warga Nduga ke hutan hingga akhirnya tiba di Kota Wamena sejak Desember 2018 hingga saat ini.
Raga mengaku selalu merindukan pulang ke kampung halamannya, pun keluarga pengungsinya yang lain. Namun, impiannya bersama para pengungsi Nduga belum bisa terwujud.
“Kalau mau ingin pulang, ya ingin. Karena itu kan kampung halaman,” kata Raga yang belum pernah kembali sejak mengungsi pada Desember 2018.
“Tapi, pulang juga mereka dan saya mau tinggal dimana karena rumah sudah dibakar, sudah lama, karena sudah lima tahun terakhir ini. Apalagi pos-pos TNI itu masih aktif,” kata Raga.
Raga mengaku masih menyimpan ingatan yang menimbulkan trauma. Beberapa peristiwa seperti pembunuhan yang dilakukan prajurit TNI terhadap perempuan yang sedang hamil dan anak di bawah umur masih segar diingatannya.
Ingatan-ingatan seperti itu, kata Raga, yang menahan langkah mereka untuk kembali ke kampung halamannya meski pemerintah telah menyatakan aman dan mengajak pulang.
“Kecuali, pengungsi Nduga itu pulang kalau negara tarik TNI-Polri itu pulang. Harus bawa keluar TNI-Polri yang hari ini ada disini khususnya di daerah Nduga itu harus bawa keluar, tarik dulu baru orang Nduga akan pulang. Karena kenapa, berdasarkan pengalaman, mereka (prajurit TNI) tidak pernah memandang itu, ini anak, ini perempuan, itu tidak. Itu dianggap bagian dari TPNPB OPM sehingga masyarakat takut pulang apabila mereka masih ada disana. Kalau negara sudah tarik TNI-Polri dan daerah sudah aman, maka kami (mau) pulang karena itu tanah yang Tuhan sudah berikan kepada suku Nduga,” kata Raga.
Kisah yang dialami Raga juga dialami Lamberti Faan dari wilayah kepala burung. Perempuan dengan empat anak ini mengaku sangat kesulitan memenuhi kebutuhan hari-hari untuk anak-anaknya.
Sejak mengungsi pasca-peristiwa penyerangan Posramil Kisor di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya pada September 2021, yang diikuti operasi militer di lima distrik di Maybrat, Lamberti yang akrab disapa Lami harus hidup bersama belasan orang di dalam satu rumah kerabatnya di Kabupaten Sorong.
“Situasi ini buat kami sangat kesulitan, untuk makan, minum, atau mau tidur, kami harus baku mengerti saja karena kondisinya memang sulit,” kata Lami.
Andaikan rumahnya di Kampung Faan Kahrio, Distrik Aifat Timur Tengah, masih bisa ditempati oleh keluarganya, Lami mengaku akan memboyong anak-anaknya kembali. Namun, harapannya agaknya belum dapat terwujud hingga waktu yang belum pasti.
“Untuk saat ini, saya terpaksa harus bertahan di tempat pengungsian di Sorong, karena saya punya rumah, saya punya kampung, gereja dan sekolah itu dijadikan pos militer, oleh TNI. Jadi tidak mungkin saya pulang kalau masih ada tentara, masih ada polisi, masih tinggal di saya punya rumah, tinggal di sekolah dan masih tinggal di gereja,” kata Lami.
Setidaknya terhitung sejak Desember 2018 hingga saat ini, terdapat lebih dari 5000 warga asli Papua yang mengungsi ke hutan dan daerah-daerah lain di tanah Papua. Tidak sedikit pula warga yang memilih wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini untuk menghindari konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Pengungsi internal Papua setidaknya berasal dari daerah-daerah konflik bersenjata seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Pegunungan Bintang, hingga Maybrat. (*)