Sentani, Jubi – Tragedi 2 September 2021 di Kampung Kisor, Maybrat, Papua Barat dua tahun lalu telah menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat yang tersebar di 50 kampung di Aifat Timur Raya dan Selatan. Ratusan jiwa manusia keluar dari kampung halamannya masing-masing, untuk mencari tempat aman di kampung-kampung sekitar.
Dalam periode 2 tahun sejak kejadian penyerangan tersebut, ada 20 anak yang telah meninggal dunia akibat sakit, kurang gizi, dan kelaparan serta hidup dalam tekanan. Tercatat, untuk fasilitas pendidikan ada 10 SD milik Yayasan Katolik, inpres dan negeri serta 1 SMP Negeri di Aifat Timur sudah kosong. Fasilitas tersebut dijadikan posko militer termasuk gedung gereja dan rumah warga.
Salah satu korban yang juga sebagai pengungsi, Lami Faan, mengatakan para pengungsi tinggal dan hidup dengan tekanan, kekerasan, serta mengalami penderitaan yang begitu dahsyat.
“Tidak pernah terpikirkan akan terjadi seperti ini di Maybrat, Kisor, Aifat Timur Raya dan Selatan di Papua Barat. Justru kami membayangkan saudara kita di Papua Pegunungan dan Papua Tengah yang saat ini banyak menjadi pengungsi akibat operasi militer,” ujarnya, dalam kegiatan diskusi memperingati Hari Pengungsi Sedunia yang diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua, di Aula STT Walterpost Sentani, Kabupaten Jayapura, Selasa (20/6/2023).
Ia menjelaskan bahwa semua cerita yang dialaminya bersama seluruh masyarakat kampung sangat panjang, untuk bisa diceritakan secara detail. Bahkan waktu dalam kegiatan diskusi ini, tidak bisa menampung seluruh kisah pilu yang dialami oleh masyarakat dari 50 kampung ini.
“Sudah dua tahun lalu kami tinggalkan rumah tempat lahir kami, tanah dan ladang, kebun dan hutan kami. Rumah di kampung sudah dijadikan posko militer. Tidak mungkin kami balik lagi ke kampung, itu sama saja dengan menyerahkan diri untuk disiksa dan dibunuh oleh militer Indonesia,” katanya.
Dalam kondisi tertekan, Lami yang sempat meneteskan air matanya mengatakan bahwa negara sama sekali tidak memberikan pilihan yang tepat, untuk menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pengungsi dari Maybrat, secara khusus dua distrik ini Aifat Timur Raya dan Selatan.
Semua anak yang mengungsi ditampung dalam satu ruangan besar untuk mengikuti proses belajar, sementara orang tua mereka bisa tinggal di dalam satu rumah yang menampung mungkin 10 hingga 15 kepala keluarga, dengan tingkat ekonomi yang sulit, kesehatan yang buruk serta rasa ketakutan yang luar biasa terus menghantui pengungsi setiap saat.
“Kita ini hidup seperti di Jalur Gaza begitu, hidup di tengah daerah yang penuh dengan konflik bersenjata. Saya mau ke kampung atau ke kebun untuk cari sayur atau bahan makanan lainnya, harus melapor dengan menunjukkan KTP dan memberikan informasi tujuan hendak ke mana,” katanya.
Para kepala kampung, lanjutnya, dipaksakan oleh bupati dan pejabat tinggi daerah untuk membawa kembali semua warga ke kampung masing-masing. Kepala kampung diduga diancam tidak akan mendapatkan dana desa serta Dana Otsus, apabila tidak kembali bersama asyarakatnya ke kampung.
“Hal ini seperti ditutup-tutupi oleh pemerintah daerah Maybrat. Dengan menyampaikan informasi bahwa kondisi daerah ini sudah aman dan kondusif,” ujarnya.
Sebagai pengungsi, dirinya berharap kepada semua pihak agar dapat membantu masyarakat di Maybrat secara khusus di Distrik Aifat Timur Raya dan Selatan.
“Sebagian masyarakat di Aifat Selatan ada yang kembali ke kampung halamannya, ini siapa yang jamin keselamatan mereka. Kami juga dipaksakan untuk kembali ke kampung masing-masing dan tinggal bersama militer Indonesia. Sementara konflik ini belum reda,” katanya.
Di Maybrat sesuai data Dewan Gereja Papua tercatat setelah penyerangan Pos Koramil Distrik Kisor pada 2 September lalu, sebanyak 2.768 jemaat gereja mengungsi di Kabupaten Maybrat.
Ketua Dewan Gereja Papua, Benny Giay mengatakan, pihaknya mendapatkan laporan 34 orang menjadi korban kekerasan dan penangkapan aparat dengan rincian, 31 orang ditangkap dan diperiksa, 2 orang ditahan dan diperiksa, dan 1 orang diintimidasi.
“Dari total 31 orang yang telah ditangkap dan ditahan untuk diperiksa, 8 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan masih ditahan. Dari 8 orang yang ditetapkan sebagai tersangka 5 orang merupakan pelajar, 4 di antaranya berusia anak,” ujarnya.
Diskusi peringatan Hari Pengungsi Sedunia ini juga dihadiri oleh korban pengungsi lainnya dari Kabupaten Nduga, Intan Jaya, dan Yahukimo. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!