Sentani, Jubi – Dalam sepekan, ada belasan pohon sagu yang ditebang untuk kebutuhan konsumsi masyarakat lokal serta kebutuhan pasar secara umum di pinggiran Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Penebangan sagu dilakukan oleh masyarakat lokal sendiri, sebagai pemilik hak ulayat. Sementara hutan sagu terluas berada pada pinggiran Danau Sentani di wilayah bagian tengah.
Setelah ditebang, untuk mendapatkan sari pati sagu itu sendiri, masyarakat menggunakan cara modern dengan mesin parutan sagu, lalu ampas parutan tersebut yang diremas menggunakan air layaknya santan kelapa. Kemudian endapan air tersebutlah yang menghasilkan sagu.
Dalam satu pohon sagu berdiameter 50 hingga 70 sentimeter dan panjang 11 hingga 17 meter bisa menghasilkan 5 hingga 7 karung beras ukuran 50 kilogram.
Salah seorang pedagang sagu di Pasar Pharaa Sentani,Milka Suebu menjelaskan bahwa untuk kepentingan pasar, dalam seminggu bisa menjual sebanyak 20 karung.
“Ada yang dibeli 1 karung langsung, ada juga yang dijual dalam tumpukan kecil di meja jualan,” ujar Milka saat ditemui di tempat jualnya Pasar Pharaa Sentani, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Selasa (13/6/2023).
Untuk mendapatkan hasil sagu yang banyak, katanya, 6 atau 7 pohon sagu bisa ditebang sekaligus. Lalu di potong-potong dan dikuliti serta diparut dengan mesin.
Menurutnya, untuk kebutuhan pasar biasanya lebih banyak karena harus berjualan setiap hari. Sementara kebutuhan di rumah, di sesuaikan dengan kebutuhan konsumsi keluarga. Karena tidak hanya sagu saja yang menjadi bahan konsumsi keluarga.
“Harga sagu di pasar juga tidak menentu, datang ramai pasti laku dengan cepat, sebaliknya jika sepi, sagu bisa tinggal hingga berhari – hari,” jelasnya.
Senada dengan hal itu, Marthince Yom, pedagang sagu di Pasar Lama Sentani mengatakan, untuk kepentingan pasar, sagu biasanya dibeli dari sesama pedagang sagu di Pasar Pharaa Sentani, ada juga hasil dari parutan sendiri.
“Kalau parut sendiri, bisa 6 hingga 7 pohon sagu ditebang dalam sehari,” katanya.
Thince sapaan akrabnya ini juga menjelaskan bahwa dari belasan karung hasil parutan yang dilakukan, sebagian di jual ke pasar, ada juga yang diberikan kepada sanak keluarga.
Dia juga mengaku bahwa suatu saat nanti, hutan sagu akan hilang dan masyarakat kesusahan dalam mendapatkan sagu kembali.
“Jadi pedagang sagu sudah belasan tahun. Tradisi kami dalam menebang satu pohon, harus ada bibit pohon sagu yang ditanam kembali saat itu juga,” ucapnya.
Sementara itu, Adolof Yoku salah satu tokoh masyarakat di Sentani berharap agar hutan sagu yang ada di pinggiran Danau Sentani harus dijaga dan dilestarikan setiap saat.
Menurutnya, atas nama pembangunan, hutan sagu banyak dialihfungsikan oleh Pemerintah Daerah. Sementara bentuk perhatian terhadap pelestarian dari hutan sagu itu sendiri sangat minim.
“Sagu merupakan tanaman endemik yang penting sekali di jaga keberadaannya, proses pertumbuhannya memang memerlukan waktu yang lama. Sementara, penebangan dalam jumlah yang banyak setiap saat oleh masyarakat, tidak seimbang dalam melestarikannya,” kata Yoku.
Untuk diketahui, data Bappeda Kabupaten Jayapura pada 2019 menunjukan bahwa Kabupaten Jayapura, luas hutan sagu diperkirakan mencapai 3.302 hektar, terdapat pada enam distrik yakni di Distrik Sentani 1.964,5 hektar, Sentani Timur 473,0 hektar, Sentani Barat 74,6 hektare, Waibhu 138,9 hektare, Unurum Guay 277,3 hektare, dan Demta 374,6 hektare. (*)