Jayapura, Jubi – Pesta Budaya Makan Papeda atau ‘Helay Mbay Hote Mbay’ kembali digelar di Kampung Abar, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Pesta keempat yang diselenggarakan Masyarakat Adat Kampung Abar, Distrik Ebungfau itu berlangsung tiga hari, Kamis-Sabtu (28-30/9/2023). Setiap hari, acara yang dimulai pukul 09.00 WP itu ramai pengunjung, termasuk beberapa turis mancanegara.
Kampung Abar satu-satunya kampung di Kabupaten Jayapura penghasil ‘sempe’ atau gerabah. Ukuran sempe yang dibuat para perajinnya juga berbeda-beda, dari kecil hingga besar. Terkait dengan hasil kerajinan sempe ini, Kampung Abar juga memiliki tradisi memakan papeda menggunakan sempe.
Kepala Suku Kampung Abar Naftali Felle di lokasi acara pada Jumat (29/9/2023) mengatakan
Pesta Budaya Makan Papeda menggunakan sempe itu bertujuan memperkenalkan budaya Kampung Abar kepada generasi penerus agar mereka terus menjaga dan melestarikan budaya.
Pesta Budaya Makan Papeda juga menarik bagi SMK Negeri 1 Pariwisata Jayapura. Hans Menanti, guru Usaha Layanan Wisata (ULW) membawa serombongan siswa Kelas XII yang diajarnya untuk mengamati atau mempelajari pesta budaya di Kampung Abar itu berlangsung.
“Saya dan rekan saya hari ini mendampingi anak-anak didik kami Kelas XII untuk praktik langsung ke lapangan. Hal yang dilakukan anak-anak didik hari ini adalah ikut menikmati festival dan menilai apakah event yang diadakan sudah sesuai dengan standar suatu event,” kata Menanti kepada Jubi di lokasi, Jumat (29/9/2023).
Menanti adalah pensiunan PNS di Dinas Pariwisata Kota Jayapura pada 2018. Ia dikontrak sebagai guru tamu oleh SMK Negeri 1 Pariwisata Kota Jayapura. Menurutnya Pesta Budaya Makan Papeda di Kampung Abar belum memenuhi standar pelaksanaan suatu event.
“Hal ini bisa dilihat dari kerja sama pemerintah daerah dan masyarakat Kampung Abar, seperti penyediaan transportasi perahu untuk penumpang, pemerintah daerah memang memfasilitasi, tapi masih ada beberapa penumpang yang karena menunggu begitu lama di dermaga harus naik perahu lain dan membayar dengan harga agak tinggi untuk menyeberang ke Kampung Abar,” ujarnya.
Hal lain yang belum standar, kata Menanti, waktu dimulai dan ditutupnya kegiatan, apa saja mata acara pokok dan mata acara tambahan.
“Untuk hari ini [hari ke dua] ada beberapa turis asing yang berkunjung dan mereka tidak begitu lama berada di lokasi. Mereka hanya datang untuk makan papeda gratis dan langsung pulang. Kalau misalnya ada mata acara tambahan, seperti Festival Danau Sentani maka pengunjung akan lama di lokasi kegiatan,” katanya.
Menurut Menanti untuk menilai suatu event apakah sudah memenuhi standar perlu ada tim khusus menilai selama event berlangsung sehingga ketahuan apakah event itu sudah berhasil atau belum.
Ia mencontohkan pada Pesta Budaya Makan Papeda di mana papeda disajikan di dalam gerabah. Di sini yang dijadikanbnilai ukur adalah apakah model papedanya berbeda dan unik atau rasanya berbeda dari tempat lain yang juga memproduksi sagu.
Ia membandingkan dengan Festival Danau Sentani, pada hari pertama pembukaan dipertontonkan buaya putih dari dalam Danau Sentani. Buaya itu naik ke darat dan mengisap rokok. “Itu pasti menarik banyak orang berdatangan,” katanya.
Standar event, kata Menanti, sudah ditentukan secara nasional dan internasional. Sebab bertolak dari tujuan diadakannya suatu event, yaitu memamerkan potensi alam dan budaya yang dimiliki suatu wilayah. Harus ada nilai jual yang menarik dari event yang diadakan.
Contohnya Festival Lembah Baliem di Wamena yang sudah memenuhi persyaratan secara nasional dan internasional. Waktu pelaksanaan kegiatan itu sudah jelas, berlangsung setiap berapa tahun sekali, dan memiliki daya tarik secara luas sampai ke mancanegara.
Ada juga acara lainnya selain festival yang juga menarik para penikmat budaya, seperti pesta rakyat yang diadakan Suku Asmat.
“Kalau pesta rakyat biasanya tidak menentu, setiap tahun diadakan berapa kali, karena peraturannya disepakati oleh penduduk setempat dan tidak ada campur tangan dari pemerintah,” ujarnya.
Untuk festival, kata Menanti, harus ada persiapan jauh hari dan pemerintah pusat turut terlibat, baik di daerah maupun di pusat atau Kementerian Pariwisata. Sebab ada beberapa hal yang harus diatur, seperti mempromosikan kegiatan festival satu tahun sebelum event itu dilakukan dan tidak boleh mendadak.
Kalau berubah-ubah, tambahnya, berarti masuk ke dalam status pesta budaya, seperti pesta budaya Asmat. Pesta budaya bisa dibuat kapan saja, tetapi event berbeda, karena setahun sebelumnya penjadwalan kegiatannya harus dikirim ke luar negeri atau dijual paket.
“Karena kalau suatu festival dibuat dadakan, nanti siapa mau datang dan juga kurangnya turis asing yang berkunjung. Juga tidak membantu meningkatkan perekonomian masyarakat kampung yang mengadakan event tersebut,” kata Menanti. (*)