Jayapura, Jubi – Barbalina Ebalkoy, 73 tahun, perajin gerabah di Kampung Abar, Distrik Ebungfau, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua yang masih mempertahankan tradisi kuno warisan nenek moyang Kampung Abar dalam pembuatan gerabah.
Tangannya masih cekatan mengolah tanah liat menjadi berbagai alat dapur atau peralatan memasak ketika memperagakan kepada pengunjung pada Pesta Budaya Makan Papeda atau ‘Helay Mbay Hote Mbay’ di Kampung Abar yang berlangsung tiga hari, Kamis-Sabtu (28-30/9/2023).
Ebalkoy kepada Jubi pada Jumat (29/9/2023) menjelaskan ia masih mempertahankan proses pembuatan gerabah menggunakan tangan seperti yang diajarkan turun-temurun di kampungnya. Ia menolak beralih menggunakan mesin. Ebalkoy juga tidak menambah gerabah ciptaanya dengan pernis atau cat sebagai polesan terakhir agar terlihat berkilat dan lebih menarik. Baginya penggunaan bahan kimia itu kepada gerabah tidak sesuai dengan nilai budaya yang diajarkan leluhur.
“Mama kasih tahu ke teman-teman perajin yang lain, kalau kita gunakan pernis buat cat gerabah, itu tidak baik karena ada racun dan itu tidak sesuai dengan nilai budaya yang diajarkan leluhur,” ujarnya.
Ebalkoy menceritakan pertama kali membuat gerabah pada 1972 ketika berusia 22 tahun. Ketika itu ia sudah bersuami dan sedang mengandung anak pertama. Kampung Abar sejak lama terkenal sebagai penghasil gerabah dan banyak penduduk turun-temurun menjadi perajin gerabah untuk dijual.
Ebalkoy mengikuti jejak perajin lain untuk meningkatkan ekonomi keluarganya. Hasil kerajinan gerabahnya ia jual ke Kampung Yoka dan kampung-kampung di sekitar Danau Sentani.
“Yang biasa Mama bawa untuk dijual itu peralatan dapur seperti piring makan, piring saji makanan, cangkir minum, tempat minum, tungku masak, dan belanga masak,” katanya.
Tanah liat sebagai bahan gerabah tersedia cukup banyak di Kampung Abar. “Tidak susah diambil karena ada tersebar di sepanjang Kampung Abar, bagian bawah tanah hitam di Kampung Abar semuanya tanah liat,” ujarnya.
Dengan membuat gerabah secara tradisional menggunakan tangan dalam satu hari Ebalkoy bisa menghasilkan tujuh sampai delapan gerabah. Proses pengeringannya butuh dua hari dengan didiamkan, setelah itu baru dibakar atau dipanaskan dengan api.
“Kalau misalnya hujan, gerabah dikasih tinggal saja sampai hujan berhenti, baru mulai dibakar dan tidak rusak kalau misalnya gerabah dikasih tinggal lama-lama baru dipanggang,”
ujarnya
Model dan bentuk gerabah yang ia buat bermacam-macam, sesuai dengan kebutuhan sehari-hari. Ada tungku kecil, belanga, cangkir minum, tempat untuk isi air minum, tempat untuk isi beras, serta mangkok ukuran kecil sampai besar. Kemudian tempat sajian ikan, tempat bakar sagu biasa, tempat bakar sagu gula merah, pot duduk ukuran kecil, dan pot gantung khusus buat tanaman anggrek.
Ia menjual kerajinannya dengan harga bervariasi yang disesuaikan dengan jenis dan ukuran. Untuk pot ukuran kecil Rp50 ribu, sedangkan mangkok untuk menyajikan makanan atau papeda ukuran kecil Rp100 ribu, ukuran sedang Rp150 ribu, dan ukuran besar Rp200 ribu. Harga piring saji ikan Rp100 ribu sampai Rp200 ribu, belanga dan tungku untuk masak masing-masing Rp150 ribu, dan untuk tempat penyimpanan beras Rp1,5 juta.
“Mama sudah lebih 50 tahun menjadi perajin gerabah, Mama berharap generasi berikutnya bisa jaga dan lestarikan budaya pembuatan gerabah ini, jangan berhenti di mama saja,” katanya. (*)