Jakarta, Jubi – Pendaftaran calon kepala daerah dari jalur perseorangan dimulai pada 5 Mei hingga 19 Agustus 2024. Mereka dapat berkompetisi pada pemilihan kepala daerah atau pilkada tanpa menggunakan partai politik sebagai pengusung pencalonan.
Keterlibatan calon perseorangan pada pilkada diatur melalui Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Berdasarkan pasal 41 undang undang tersebut, calon perseorangan harus menunjukkan syarat dukungan dari jumlah penduduk yang memiliki hak pilih atau yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu sebelumnya.
Persentase dukungan itu minimal 10 persen untuk provinsi dengan dua juta penduduk pada DPT, dan minimal 8,5 persen untuk provinsi dengan lebih 2 juta hingga enam juta penduduk pada DPT. Kemudian, minimal 7,5 persen untuk provinsi dengan lebih enam juta hingga 12 juta penduduk pada DPT, dan minimal 6,5 persen untuk provinsi dengan lebih 12 juta penduduk pada DPT. Semua bentuk dukungan itu juga harus tersebar di lebih separuh jumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Syarat persentase dukungan pun berlaku bagi setiap calon perseorangan pada pilkada kabupaten dan kota. Persentase dukungan itu ialah minimal 10% untuk kabupaten/kota dengan 250 ribu penduduk pada DPT, dan 8,5 persen untuk kabupaten/kota dengan lebih 250 ribu hingga 500 ribu penduduk pada DPT. Kemudian, minimal 7,5 persen untuk kabupaten/kota dengan lebih 500 ribu hingga satu juta penduduk pada DPT, dan 6,5 persen untuk kabupaten/kota dengan lebih satu juta penduduk pada DPT. Bentuk dukungan itu juga harus tersebar di lebih separuh jumlah kecamatan di kabupaten/kota tersebut.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat akan memverifikasi secara administrasi dan faktual dukungan terhadap setiap calon perseorangan pada pilkada. Mereka akan memastikan batas minimal jumlah kartu tanda penduduk sebagai bukti dukungan pencalonan, dan sebaran pendukung calon.
Politik transaksional
Keberadaan calon perseorangan dapat menekan politik transaksional dalam pilkada. Mereka tidak perlu menyetor uang sebagai mahar pencalonan dalam bentuk apa pun kepada partai politik. Calon perseorangan juga bebas dari janji transaksional dengan partai.
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, banyak kepala daerah terlibat utang materi maupun budi kepada penyokong dana pencalonannya saat pilkada. Itu membuat mereka menjadi tidak adil dan transparan dalam memimpin maupun menerapkan kebijakan daerah.
Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, modal puluhan miliar rupiah yang dikeluarkan para calon kepala daerah mengakibatkan proses politik menjadi sebuah transaksi bisnis. Mahalnya biaya politik itu juga menyebabkan banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan biaya untuk mencalonkan diri menjadi bupati ataupun wali kota sebesar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Namun, ongkos politik tersebut tidak menjamin seorang calon memenangi pilkada.
“Jangan heran apabila terjadi permasalahan dalam proses pengadaan barang dan jasa maupun pembangunan infrastruktur. Ada utang politik yang harus dibayar [kepala daerah] kepada sponsor atau pendonor yang mendukung mereka selama pilkada,” kata Alexander.
Antitesis partai
Dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Arga Pribadi Imawan menyatakan kemunculan calon perseorangan pada pilkada menjadi sesuatu yang baik bagi iklim demokrasi. Itu karena kehadiran mereka menunjukkan keinginan masyarakat.
“Kehadiran calon perseorangan sebetulnya atas keinginan atau proses pematangan [aspirasi] dari masyarakat. Mereka memandang ada salah satu calon di luar partai politik yang layak dan memiliki kapasitas oke,” kata Arga.
Jadi, menurutnya, calon perseorangan merupakan antitesis dari sistem pencalonan kepala daerah yang melalui jalur partai politik. Mereka menjadi alternatif ketika muncul gejala ketidakpercayaan publik terhadap calon dari partai politik.
“Calon perseorangan yang memunyai kualitas kepemimpinan, berintegritas tinggi, dan basis massa kuat dapat mengubah peta, dan struktur politik Indonesia. Sosok seperti itu, antara lain, bisa berasal dari pemuka agama, dan tokoh karismatik yang memiliki pengaruh di masyarakat,” kata Arga.
Dia mengatakan para calon kepala daerah sudah harus menggalang dukungan sejak setahun atau dua tahun sebelum pilkada. Mereka harus sesegera mungkin bergerak dengan menggalang sukarelawan untuk mendapat simpati masyarakat.
Masyarakat, lanjutnya bakal melihat siapa sosok calon pemimpin yang hadir, mengunjungi, dan memperkenalkan diri kepada mereka. Arga tidak memungkiri calon perseorangan punya keterbatasan modal ekonomi dan tidak memiliki mesin politik seperti partai. Namun, menurutnya, modal sosial berupa ketokohan bisa menjadi salah satu daya tarik calon perseorangan dalam meraih dukungan pemilih.
“Calon perseorangan harus menggalang berbagai strategi dengan memanfaatkan media sosial. Kampanye melalui media sosial cukup murah dan efektif jika berkaca pada pengalaman di Pemilu 2024 dan di Filipina,” kata Arga.
Keterlibatan dan keberhasilan calon perseorangan pada pilkada memang masih relatif kecil ketimbang calon dari jalur partai politik. Pada 2020, misalnya terdapat 68 pasangan calon perseorangan bertarung di sejumlah pilkada di Indonesia, dan hanya enam pasangan atau 8,8 persen yang menang.
Kendati peluangnya kecil, kemenangan bagi calon perseorangan tetap terbuka di pilkada. Mereka tetap punya kans memenangi pertarungan elektoral di daerah. Sekarang, tinggal bagaimana calon perseorangan menggalang dukungan secara efektif melalui dunia maya maupun dunia nyata sehingga rakyat akhirnya memilih mereka sebagai pemimpin daerah. (*)
Discussion about this post