Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua sejak Jumat (16/9/2022) memulai investigasi kasus penganiayaan yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi. Hal itu dinyatakan Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Kamis (15/9/2022) malam.
Penganiayaan terhadap dua orang warga sipil terjadi di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi, pada 30 Agustus 2022. Penganiayaan yang diduga dilakukan prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang itu menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat. Selain Kimko dan Kanggun, seorang warga lain benama Norbertus turut menjadi korban aksi kekerasan itu.
Frits Ramandey menyatakan tim Komnas HAM Perwakilan Papua mulai melakukan investigasi kasus penganiayaan itu pada Jumat, dengan meminta keterangan dari 18 prajurit TNI yang kini berada di Kabupaten Merauke. Setelah pemeriksaan di Merauke itu selesai, tim Komnas HAM Perwakilan Papua akan melanjutkan invetisinya ke Kampung Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi.
“Tim itu saya pimpin, kami akan di Merauke dulu, minta keterangan dari 18 anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus penganiayaan tersebut. Sambil mencari hubungan untuk ke Bade, Kabupaten Mappi,” kata Ramandey pada Kamis malam.
Ramandey menegaskan bahwa Komnas HAM dalam mandat Undangan-Undang Nomor 39 Tahun 1999 berwenang melakukan pemantauan dan penyelidikan. Pemantauan dan penyelidikan itu penting guna mengungkap kasus penganiayaan terhadap warga sipil di Mappi.
“Kami meminta keterangan dari anggota TNI yang terlibat dalam dugaan penyiksaan itu. Karena [ada] warga sipil meninggal dunia akibat mengalami penganiayaan yang diduga dilakukan dari prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang,” ujarnya.
Ramandey menyatakan Komnas HAM Papua juga telah menerima pengaduan dari Ikatan Mahasiswa Pemuda Papua Selatan terkait perisitiwa itu. Komnas HAM melihat ada semakin banyak kasus kekerasan yang dilakukan TNI terhadap masyarakat sipil.
Menurut Ramandey, penganiayaan warga sipil oleh TNI di Mappi tidak bisa dibenarkan. “Kita menduga tindakan itu juga melampaui kewenangan. Penahanan sewenang-wenang, interogasi, dan penyiksaan itu di luar kewenangan TNI [yang] sesungguhnya. Diduga penganiayaan itu dilakukan lebih dari satu anggota TNI,” katanya.
Ramandey menyatakan uang ganti rugi yang diberikan kepada keluarga tidak akan menggugurkan proses hukum atas perbuatan pidana tersebut. Sebab perbuatan pidana itu telah mengakibatkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia.
“Kenapa TNI bisa menangkap lalu menahan [warga sipil?] Itu melampaui kewenangan TNI. Komnas HAM sebagai lembaga negara mempunyai tanggung jawab melakukan investigasi kasus itu. Panglima TNI [dan] KASAD sudah memberikan penegasan kasus [kekerasan] yang melibatkan prajurit TNI harus dibuka hingga tuntas,” ujarnya.
Sebelumnya, Panglima Komando Daerah Militer atau Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa menegaskan ganti rugi uang yang dibayarkan TNI kepada keluarga korban penganiayaan yang diduga dilakukan prajurit TNI di Kabupaten Mappi tidak akan menghentikan proses hukum dalam perkara itu. Hal itu dinyatakan Saleh di Kota Jayapura, Senin (12/9/2022).
Menurut Saleh, proses hukum bagi prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang yang diduga melakukan penganiayaan terhadap warga Kabupaten Mappi tetap berjalan. “Sesuai arahan Panglima [TNI] dan Kasad, penyelesaian secara adat tidak mengurangi proses hukum,” kata Saleh.
Saleh menyatakan 18 prajurit prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang yang bertugas di Pos Bade akan dibawa ke Detasemen Polisi Militer Merauke untuk diperiksa di sana. “Jadi aspek yuridis atau hukum tetap jalan. Meskipun masyarakat sudah menerima pembayaran adat, tapi hukum tetap berproses,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!