Nabire, Jubi – Kabupaten Intan Jaya menjadi salah satu daerah konflik bersenjata di Papua Tengah. Pasukan Tentara Nasional Indonesia dan Polri hampir saban hari terlibat saling serang dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka atau OPM.
Konflik bersenjata tersebut menimbulkan banyak korban jiwa. Mereka tidak hanya dari kedua kubu yang bertikai, melainkan juga warga sipil.
Salah seorang korban dari warga sipil itu ialah Ronal Ronaldus Duwitau, 13 tahun. Dia tewas dalam kontak tembak antara Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polri dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Yokatapa, Distrik Sugapa pada Senin (8/4/2024).
Saat pertempuran itu, Ronal bersama Nepina Duwitau berlindung di rumah mereka untuk mengamankan diri. Namun, sebuah peluru mengenai kepala Ronal hingga dia tewas. Peluru lain juga mengenai telapak tangan kiri Nepina. Bocah berusia 6 tahun tersebut pun kehilangan jempolnya akibat tembakan.
Rentetan kekerasan terhadap warga sipil itu mengundang keprihatinan banyak kalangan, termasuk dari Perkumpulan Perempuan Moni-Migani Bersatu Maju Bersama. Mereka pun menggelar aksi solidaritas di Kantor Polres Intan Jaya pada Kamis (26/4/2024).
Aksi digalang oleh Paulina Belau dan Regina Belau. Mereka memprotes keberadaan tiga pos militer dan polisi di lokasi pemukiman warga di Sugapa.
“Kami minta pindahkan segera pos itu atau dikosongkan. Karena keberadaan TNI dan Polri, banyak masyarakat sipil menjadi korban [konflik bersenjata],” kata Paulina Belau.
Pos TNI di Sugapa berlokasi di Migata, Titigi. Adapun Pos Brimob ditempatkan di depan Pasar Rakyat Yogatapa, dan di Tigamajigi.
Aksi protes Paulina dan kawan-kawan terdokumentasi dalam rekaman video yang diperoleh Jubi di Nabire. Dalam aksi itu, mereka juga membeberkan berbagai kasus kekerasan yang dialami warga sipil akibat konflik bersenjata di Sugapa.
Menurut Paulina, warga hidup dalam kondisi serbasalah di Sugapa. Karena itu, mereka kerap menjadi korban saat baku tembak TNI dan Polri dengan TPNPB.
“[Konflik bersenjata itu] bukan saling serang antara TNI-Polri dan TPNPB OPM, melainkan ke kami [warga sipil] sebagai sasaran [tembak]. Makanya, kami melakukan aksi di Kantor Polres Intan Jaya,” kata Paulina saat dihubungi Jubi pada Jumat.
Dia mengungkapkan warga selalu trauma dengan keberadaan pasukan TNI dan Polri di Sugapa. Mereka terus dicekam ketakutan sehingga tidak lagi leluasa saat bersekolah maupun bekerja.
“Mama-mama takut ke kebun karena khawatir ditembak atau dianiaya, dan anak-anak juga takut ke sekolah. Apalagi, bapak-bapaknya [lebih khawatir lagi], [mereka] pasti dituduh sebagai mata-mata dari pihak sebelah [TPNPB],” kata Paulina.
Belum kondusif
Menanggapi tuntutan Paulina, dan kawan-kawan tersebut, Kepala Polres Intan Jaya Ajun Komisaris Besar Afrizal Asri menyatakan situasi keamanan belum kondusif. Karena itu, pemerintah menempatkan pasukan TNI dan Polri di Intan Jaya.
“Intan Jaya ini daerah yang sering terjadi gangguan dari kelompok yang berseberangan dengan kami [Pemerintah Indonesia]. Akhirnya, pemerintah pusat menghadirkan mereka [bantuan pasukan keamanan] di sini,” kata Afrizal.
Dia mengaku mereka kekurangan tenaga dan fasilitas untuk mengamankan seluruh wilayah Intan Jaya. Karena itu, dibutuhkan tambahan kekuatan dari pasukan Brimob serta TNI untuk melindungi masyarakat dari ancaman dan gangguan keamanan.
“Kami akan bicarakan lagi soal penempatan pos [TNI-Polri] ke Penjabat Bupati Intan Jaya. Yang jelas, penempatan pos itu untuk menjaga [keamanan] masyarakat dan mengantisipasi gangguan dari kelompok OPM,” kata Afrizal.
Kepala Satuan Tugas Humas Operasi Damai Cartenz 2024 Ajun Komisaris Besar Bayu Suseno menolak memberi keterangan, saat dihubungi Jubi pada Jumat. Menurutnya, masalah itu bukan ranah mereka.
“Benarnya [seharusnya] tanya ke Kapolres Intan Jaya. Itu bukan tugas Satgas ODC [Operasi Damai Cartenz],” kata Bayu melalui pesan singkat.
Ikut jadi korban
Yosep Bunai, Pastor dari Dekanat Moni-Puncak Jaya, Keuskupan Timika dapat merasakan nestapa warga akibat konflik bersenjata di Intan Jaya. Karena itu, dia ikut menghadiri aksi solidaritas di Kantor Polres Intan Jaya.
“Saya ikut rasakan dan menjadi korban dari situasi itu [konflik di Intan Jaya]. Kami dalam ketakutan ketika mengunjungi stasi ataupun ke YPPK [Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik] di wilayah paroki [Intan Jaya],” kata Pastor Bunai.
Menurutnya, hasil pertanian warga juga kerap dijarah oleh pasukan TNI-Polri maupun pihak kombatan. Tindakan itu makin memperparah penderitaan warga. Mereka telah menanam dan menunggu hasil panen dalam kondisi ketakutan, tetapi hasilnya malah lenyap karena penjarahan.
Bunai menegaskan sebagai pemimpin agama, mereka mesti bertanggung jawab atas nasib umat tersebut. Karena itu, dia mendesak kedua kubu yang bertikai menghentikan kekerasan terhadap warga sipil di Intan Jaya.
“Setop curi-curi tanaman. Setop menganggu kami. Kami ingin mendidik dan mengajar anak kami [di sekolah],” ujarnya.
Jubi telah menghubungi Penjabat Bupati Intan Jaya Apolos Bagau untuk menindaklanjuti tuntutan warga mengenai penghentian konflik bersenjata di wilayahnya. Namun, dia tidak merespon saat dihubungi melalui pesan singkat maupun telepon. (*)
Discussion about this post