Jayapura, Jubi – Warga Konya di Kelurahan Kota Baru, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada 7 Januari 2024 lalu telah mengadukan pengukuran tanah yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional atau BPN Kota Jayapura ke Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua. Pengukuran tanah yang diadukan itu dilakukan BPN Kota Jayapura pada 19 Desember 2023 lalu.
Koordinator Warga Konya, Fredick Wader mengatakan petugas BPN Kota Jayapura mendatangi sejumlah rumah warga Konya pada 19 Desember 2023. Menurut Wader, para petugas BPN Kota Jayapura membagikan surat yang memuat pengukuran pengembalian batas bidang tanah atas nama Anita Gettruida Elfrida Wuisan. Surat yang dibagikan itu menyatakan Anita memiliki empat sertifikat Hak Guna Bangunan.
“Ada pihak mengklaim bahwa tempat [kami tinggal] milik dia. Dia dan pengacaranya datang dengan aparat kepolisian, datang untuk pengukuran kembali, sehingga membuat warga takut. Jangan sampai pengukuran [membuat warga] terancam [dan dijadikan dasar] untuk mengusir warga dari sana,” kata Wader di Kota Jayapura, Papua, pada Selasa (16/1/2024).
Wader mengatakan tanah yang diukur para petugas BPN Kota Jayapura itu telah ditempati warga Konya sejak 1980-an. Ia mengatakan ada 85 kepala keluarga yang bermukim di lokasi itu. Menurutnya, para warga Konya di sana telah membayar kepada pemilik hak ulayat dari keondoafian Yoka, dengan harga berkisar Rp5 juta hingga Rp10 juta.
“Sebelum ada pembangunan di sini, masyarakat sudah ada di sini, garap dan buka ini lokasi. [Saat itu, lokasi] ini masih hutan. Tanah ini ada warga yang sudah beli, dan bersertifikat. Harganya bervariasi dari Rp5 juta hingga Rp10 juta,” ujarnya.
Wader mengatakan pihaknya mengadu ke LBH Papua untuk mendapatkan bantuan hukum dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Wader mengatakan warga Konya tidak akan pindah dari lokasi tempat tinggal mereka saat ini.
“Itu menjadi persoalan sehingga kami [melapor] ke LBH Papua, untuk bagaimana mencari solusi. Masyarakat tidak akan keluar dari sana, karena tempat ini adalah tempat tinggal mereka,” katanya.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay mengatakan pihak yang memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan tidak serta merta memiliki tanah. Gobay mengatakan kepemilikan tanah harus didasari sertifikat Hak Milik.
Ia menilai aktivitas pengukuran tanah yang dilakukan BPN Kota Jayapura pada 19 Desember 2023 itu tidak memiliki dasar. “Memiliki sertifikat bangunan tidak serta merta memiliki tanah, karena itu dua objek yang berbeda. Dia hanya memiliki sertifikat hak bangunan, sedangkan bangunan tidak ada di sini,” ujarnya.
Gobay mempertanyakan pengukuran itu, karena di lokasi yang diukur hanya terdapat bangunan milik warga setempat. “Menjadi pertanyaan, bangunan mana yang dia miliki? Karena kami lihat di lokasi itu tidak ada bangunan sama sekali, dan sertifikat Hak Guna Bangunan keluar berdasarkan apa?” Gobay bertanya.
Gobay juga menyayangkan pengukuran tanah yang dilakukan dengan melibatkan polisi, karena hal itu membuat warga Konya takut dan tidak nyaman. Gobay mengingatkan tugas kepolisian sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
“Apa dasar hukum apa pihak yang mengklaim melibatkan Brimob dalam aktivitas pengukuran tanah itu? Dasar hukumnya apa? Itu membuat warga tidak merasa nyaman,” ujarnya.
Gobay mengatakan pihaknya akan melakukan audiensi ke pihak terkait seperti BPN Kota Jayapura untuk meminta penjelasan terkait penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan di lokasi permukiman warga Konya. LBH Papua juga akan beraudiensi dengan pemilik hak ulayat.
“Masyarakat ini kan tidak mungkin tinggal di atas tanah yang tidak jelas. Mereka ini juga bisa membedakan mana yang curi dan mana yang sah. Mereka bayar, lalu mereka tinggal. Harus ada ruang untuk bicara dengan menghadirkan warga. Jangan sampai ada penggusuran paksa,” katanya. (*)
Discussion about this post