Jayapura, Jubi – Forum Komunikasi Orangtua Penerima Beasiswa Dalam Negeri dan Luar Negeri memalangan akses keluar-masuk Kantor Gubernur Papua di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Rabu (10/1/2024). Pemalangan itu dilakukan lantaran Pemerintah Provinsi Papua tak kunjung membayar tunggakan beasiswa Siswa Unggul Papua, sehingga para penerima beasiswa terancam putus kuliah dan dideportasi.
Ketua Forum Komunikasi Orangtua Penerima Beasiswa Dalam Negeri dan Luar Negeri, Jhon Reba menyatakan pemalangan Kantor Gubernur Papua itu merupakan kesepakatan para orangtua penerima beasiswa.
“Aksi itu supaya kepala daerah serius melihat masalah ini, karena hari ini [kami] bicara persoalan waktu. [Jika] hari ini pemerintah tidak ambil langkah, besok [ada] 24 anak-anak Papua akan dideportasi [dari Amerika Serikat],” kata Jhon Reba.
Pada Rabu pagi, para orangtua penerima beasiswa Siswa Unggul Papua memasang spanduk besar bertuliskan “Pendidikan Orang Asli Papua Gagal”, “Presiden Jokowi, Anak-anak Kami akan Dideportasi Jika Bapak Tidak Bertindak”, dan “Selamatkan Pendidikan Anak Papua”. Di pelataran kantor, para orangtua membentangkan tikar dan terpal yang dipakai untuk menginap di kantor itu, dan menaruh sejumlah pamflet.
Pemalangan itu yang dilakukan sejak pukul 06.00 WP. Sejumlah orangtua berjaga di depan gerbang Kantor Gubernur Papua. Ada juga orangtua yang bernegosiasi dengan sejumlah pejabat.
Kepala Biro Umum dan Protokol Provinsi Papua, Elpius Hugi yang menemui para orangtua meminta mereka membuka palang. Hugi berjanji akan memfasilitasi para orangtua bertemu dengan Penjabat Gubernur Papua maupun Penjabat Sekretaris Daerah Papua. Namun, para orangtua menyatakan mereka hanya akan membuka palang jika tunggakan beasiswa dibayarkan.
Setidaknya terdapat 1.347 mahasiswa yang berkuliah di dalam negeri dan 276 mahasiswa yang berkuliah di luar negeri dengan beasiswa Siswa Unggul Papua. Ribuan mahasiswa penerima beasiswa Unggul Papua dari Provinsi Papua dari Kota Jayapura (636 mahasiswa), Kabupaten Jayapura (472 mahasiswa), Kabupaten Biak Numfor (238 mahasiswa), Kabupaten Kepulauan Yapen (105 mahasiswa), Kabupaten Supiori (59 mahasiswa). Ada juga mahasiswa dari Kabupaten Keerom (38 mahasiswa), Kabupaten Sarmi (37 mahasiswa), Kabupaten Mamberamo Raya (23 mahasiswa) dan Kabupaten Waropen (15 mahasiswa).
Ribuan mahasiswa penerima beasiswa Siswa Unggul Papua terancam putus kuliah karena dideportasi, dikeluarkan dari kampus, atau batal wisuda karena tunggakan biaya kuliah mereka tidak dibayarkan Pemerintah Provinsi Papua.
Reba menyatakan pada 19 Desember 2023, penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Papua telah mengirimkan surat kepada bupati/walikota di Provinsi Papua per 19 Desember 2023 untuk meminta membayarkan tunggakan beasiswa Siswa Unggul Papua. Dalam surat itu menyebutkan membutuhkan anggaran Rp116,78 miliar untuk membayar tunggakan beasiswa sebanyak 1.623 mahasiswa.
Biaya ratusan miliaran itu antara lain terdiri dari Rp11,4 miliar untuk membayar biaya pendidikan para mahasiswa yang berkuliah di dalam negeri, dan Rp 50,36 miliar untuk membayar pendidikan para mahasiswa yang berkuliah di luar negeri. Sisa lainnya adalah nilai anggaran untuk membayar biaya hidup bagi para mahasiswa yang berkuliah di dalam negeri (Rp17,5 miliar) dan luar negeri (Rp37,5 miliar).
Reba mengatakan para orangtua akan tetap bertahan di Kantor Gubernur Papua hingga tunggakan beasiswa ini diselesaikan. Reba meminta Pemerintah Provinsi Papua membuat pertemuan bersama dengan orangtua beserta bupati/wali kota di Provinsi Papua guna membicarakan pembiayaan beasiswa Siswa Unggul Papua.
“Hari ini [Pemerintah Provinsi Papua] mau lepas tanggung jawab ke pemerintah kabupaten/kota itu tidak bisa. Kami tetap ada disini sampai ada pertemuan dengan pemerintah untuk bicara selesaikan masalah ini,” ujarnya.
Salah satu orangtua mahasiswa beasiswa Siswa Unggul Papua, Oktavina Bonai mengatakan anaknya Priska Tanati tidak bisa melanjutkan kuliah. Saat ini Priska Tanati sedang melanjutkan studi Semester 5 di Missouri University di Amerika Serikat.
“Kampus sudah tidak bisa toleransi. Semester lama harus bayar dulu baru bisa lanjutkan semester baru. Terkait dengan pembiayaan tahun 2023 dari Juli hingga Desember yang belum dibayarkan. Sehingga mau melanjutkan semester di Januari 2024 ini belum bisa. Jangankan untuk kontrak mata kuliah untuk melihat nilai hanya [bisa dilihat] di papan pengumuman. Tapi tidak bisa menerima kartu studi mereka karena belum terbayar mereka punya biaya pendidikan,” ujarnya.
Bonai mengatakan hari ini batas terakhir pihak kampus menunggu kejelasan pembayaran dari Pemerintah Provinsi Papua untuk bisa melanjutkan studinya. Bonai mengaku tidak bisa membayar biaya pendidikan anaknya.
“Untuk melanjutkan pembiayan sendiri jujur saya tidak mampu. Saya tidak bisa. Program ini dibuat untuk meringankan beban kami orangtua. Jadi kalau pemerintah belum menyatakan sikap, maka [anak saya] akan dipulangkan. Yang rugi anak saya, kami orangtua, dan pemerintah provinsi,” katanya.
Bonai mengatakan para orangtua harus kembali melakukan aksi karena menilai Pemerintah Provinsi Papua tidak serius menyelesaikan masalah beasiswa Siswa Unggul Papua. Ia mengatakan aksi ini dilakukan agar anak-anak mereka bisa melanjutkan studi dengan tenang hingga selesai tanpa memikirkan biaya.
“Kami orangtua ini tidak pantas duduk di sini tapi anak-anak kami ini sudah dalam situasi urgent atau darurat. Ada 24 mahasiswa yang akan dideportasi dari Amerika Serikat. ini menyangkut masa depan anak-anak kami. Pemerintah Provinsi Papua yang menawarkan program itu, dan anak-anak percaya bahwa program itu jembatan untuk mereka menggapai cita-cita mereka,” ujarnya.
Bonai mengatakan tunggakan pembayaran beasiswa tidak hanya menghambat perkuliahan anaknya tetapi juga berdampak terhadap jatah makan. Bonai mengatakan ia harus mengirimkan uang Rp800 ribu sampai Rp1 juta setiap dua pekan, untuk membantu biaya hidup anaknya di Amerika Serikat.
“Biaya hidup tersendat-sendat, anak saya makan itu seharusnya Juli sampai Desember 2023 harus terima 1.500 lembar kartu makan. Tapi pada Agustus 2023 hanya terima 700 lembar. Tidak cukup untuk makan sampai Desember 2023. Jadi uangnya kami orangtua yang kirim dia untuk belanja [persediaan] lima hari. Dia harus masak sendiri untuk menghemat kartu makan,” ujarnya.
Menurut Bonai persoalan tunggakan beasiswa Siswa Unggul Papua ini sangat mengorbankan masa depan anak-anak mereka. Ia berharap Pemerintah Provinsi Papua melanjutkan tanggung jawab mereka untuk membiayai anak mereka.
“Yang kita kesalkan ini program Pemerintah Provinsi Papua yang buat. Kenapa harus lepas tanggung jawab saat anak-anak belum selesai. Pertemuan demi pertemuan sudah dilakukan, baik koordinasi dari pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Papua, dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Papua. Itu kelihatan seperti mereka melempar tanggung jawab. Kami orangtua kesal kenapa persoalan itu berlarut-larut,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!