Jayapura, Jubi – Pengadilan Negeri Jayapura pada Selasa (25/7/2023) kembali menggelar sidang kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat jenis Cessna Grand Carawan dan helikopter Airbush H-125 yang didakwakan kepada Johannes Retton dan Silvi Herawaty. Dalam sidang itu, saksi ahli Chotibul Uman menjelaskan berbagai kerugian yang dialami Pemerintah Kabupaten Mimika gara-gara helikopter miliknya didatangkan ke Indonesia dengan dokumen impor sementara.
Perkara itu terkait dengan pengadaan pesawat jenis Cessna Grand Carawan dan helikopter Airbush H-125 yang melibatkan Johannes Rettob selaku pejabat Pemerintah Kabupaten Mimika dan Silvi Herawaty selaku Direktur PT Asian One Air. Berkas perkara Johannes Rettob terdaftar dengan nomor perkara 9/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jap.
Sedangkan berkas perkara Silvi Herawaty yang juga merupakan kakak ipar Johannes Rettob terdaftar di Pengadilan Negeri Jayapura dengan nomor perkara 8/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jap. Kedua perkara diperiksa dan akan diadili majelis hakim yang diketuai Thobias Benggian SH, dengan hakim anggota Linn Carol Hamadi SH dan Andi Matalatta SH.
Dalam sidang Selasa, Chotibul Uman dihadirkan secara daring oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai ahli bea cukai. Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan itu menjelaskan berbagai kerugian yang dialami Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika gara-gara helikopter Airbush H-125 miliknya didatangkan ke Indonesia dengan dokumen impor sementara. Nilai kerugian itu bahkan bisa melampaui harga pembelian helikopter dari Airbush Malaysia yang senilai Rp42,3 miliar.
Menurut Chotibul, gara-gara helikopter itu didatangkan ke Indonesia dengan dokumen impor sementara, helikopter itu harus direekspor setiap tiga tahun. Chotibul juga menjelaskan bahwa setiap reekspor akan menimbulkan bea kepabeanan yang harus dibayar Pemkab Mimika.
Chotibul menyatakan kewajiban pabean yang harus dibayar Pemkab Mimika dalam reekspor terdiri dari biaya masuk nol persen, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN (11 persen) sebesar Rp5.027.500.050.000, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau PPnBM (50 persen) sebesar Rp22.852.500.000, Pajak Penghasilan atau PPh (7,5 persen) sebesar Rp3.427.875.000. Chotibul menghitung total nilai kewajiban kepabeanan yang harus dibayar Pemkab Mimika dalam proses reekspor itu mencapai Rp31.307.925.000.
Menurut Chotibul, Pemerintah Kabupaten Mimika harus menyelesaikan kewajiban pabean atas barang impor sementara selama 30 hari sejak barang ditimbun di tempat penimbunan sementara. Apabila dalam 30 hari itu penerima barang tidak memenuhi kewajiban pabean, maka Bea Cukai akan menyatakan barang impor tersebut sebagai barang yang tidak dikuasai. “Kemudian [Bea Cukai] akan menyimpan barang tersebut di tempat penimbunan pabean/tempat lain yang berfungsi sebagai tempat penimbunan pabean,” kata Chotibul dalam persidangan.
Jika itu terjadi, maka konseni/penerima barang diberi waktu 60 hari untuk menyelesaikan kewajiban pabean. Apabila kewajiban itu tidak diselesaikan dalam 60 hari, helikopter Airbush H-125 akan dilelang sebagaimana ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Kepabeanan.
Jika helikopter itu tidak direekspor, Pemkab Mimika juga akan dirugikan, karena bisa kehilangan asetnya. Chotibul menjelaskan jika helikopter itu tidak direekspor, Bea Cukai akan menjatuhkan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 persen biaya masuk kepada PT Asian One Air selaku pihak importer.
“Dikenakan sanksi sebesar 100 persen dari biaya masuk yang seharusnya dibayar,” kata Chotibul dalam persidangan. Chotibul menghitung nilai denda yang bisa dijatuhkan kepada PT Asian One Air mencapai Rp45.705.000.000. (*)