Jayapura, Jubi – Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Hukum dan Hak Asasi Manusia Tanah Papua mendesak Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan membuka ruang dialog tentang pembebasan tanah untuk pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan. Upaya itu penting untuk mencegah pembebasan lahan itu berujung konflik antar warga.
Koalisi itu terdiri atas Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, dan Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia atau Elsham Papua. Advokat Helmi SH selaku anggota koalisi menyatakan pada 2022 pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri merencanakan pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan di wilayah tanah Walesi.
Helmi menyatakan awalnya tanah yang dihibahkan masyarakat adat untuk pembangunan Kantor Gubernur Papua seluas 75 hektare. Akan tetapi, dalam luasan lahan yang dibutuhkan pemerintah berubah menjadi 108 hektare.
“Ide awal untuk menghibahkan tanah berasal dari beberapa intelektual wilayah Walesi yang tergabung dalam Tim Peduli Pembangunan Wilayah Adat Walesi. [Mereka] yang melakukan koordinasi bersama Wakil Menteri Dalam Negeri,” kata Helmi dalam keterangan tertulis yang diterima Jubi pada Kamis (13/7/2023).
Helmi menyatakan pemerintah terkesan tidak transparan dalam melakukan transaksi tanah yang sedianya akan dihibahkan. Proses itu juga tidak melibatkan semua kepala suku dan tokoh intelektual sebagaimana syarat yang tercantum pada Pasal 7 ayat 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Helmi menyatakan itu terbukti 16 kali pertemuan yang membahas pembebasan lahan yang gagal mendapatkan titik temu.
Advokat Henius Asso SH selaku penanggungjawab koalisi menyatakan lahan yang rencana akan menjadi lokasi pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan itu didiami sejumlah suku, marga, dan keret. Asso menyatakan lahan itu memiliki sejarah dan merupakan tanah perang. Sebagian lahan, kata Asso merupakan tanah garapan masyarakat yang telah memberikan manfaat secara turun temurun dan bernilai sangat religius dan ekonomis sebagai lahan pemberi kehidupan.
“Seharusnya [hal itu] menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk bertindak cermat dan penuh kehati-hatian guna menghindari potensi konflik horizontal,” ujarnya.
Anggota koalisi lainnya, advokat Weltermans Tahulending SH mendesak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, serta Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan mengedepankan prinsip transparansi dalam pembangunan Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan. Koalisi juga mendesak agar dalam pembangunan harus memperhatikan aspek hukum yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah hibah dalam rangka pembangunan kantor itu di Walesi.
“Selain itu juga bagian yang terpenting dari proses tersebut yaitu upaya penyelesaian dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kemanusiaan,” katanya. (*)