RSUD Biak Numfor memilih tetap melayani pasien Kartu Papua Sehat, bahkan untuk pasien dari tujuh kabupaten lain. Jubi dan Project Multatuli membuat kolaborasi peliputan untuk menyelisik Program Kartu Papua sehat yang terancam hilang, dan mengapa RSUD Biak Numfor memilih tetap melayani pasien Kartu Papua Sehat. Tulisan ini merupakan bagian kelima dari lima laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Meski pembiayaan program Kartu Papua Sehat atau KPS tingkat Provinsi Papua sudah dihentikan Pemprov Papua di sejumlah rumah sakit rujukan di daerah, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Biak Numfor tetap memilih melayani pasien KPS. Rumah sakit yang berada di wilayah adat Saireri itu bahkan melayani 5 ribu peserta KPS. Layanan tidak hanya dalam pengobatan, tetapi juga mengurus pasien yang meninggal hingga membelikan peti jenazah dan biaya makan-minum keluarga pasien yang tidak mampu dari kampung.
Direktur RSUD Biak Numfor dr Ricardo Ricard Mayor M Kes mengatakan sejak ia memimpin rumah sakit itu selama 7 tahun, pasien yang datang berobat tidak hanya dari Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Kepulauan Yapen, dan Waropen, tetapi juga dari Nabire, Jayawijaya, Yahukimo, dan Mamberamo Raya. Itu terjadi karena jalur transportasi dari daerah-daerah tersebut selalu rutin setiap hari.
“Semua itu kami layani dalam skema KPS. Memang cukup banyak, bahkan rata-rata sebelum Covid-19 setiap tahun ada sekitar 33.000 pasien orang asli Papua yang dilayani oleh KPS, dan ada sekitar 4 sampai 5 persen non-Papua, karena memang sesuai dengan Pergub juga mendapat jaminan dari KPS,” katanya.
Namun yang menjadi soal, kata dr Mayor, rata-rata masyarakat yang datang berobat tanpa membawa surat rujukan dari puskesmas atau rumah sakit tempat asal mereka. Menurutnya hal itu memberatkan, namun RSUD Biak Numfor tetap memberikan pelayanan.
“Sebab sampai sekarang Peraturan Gubernur Papua Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Papua masih tetap berjalan, meskipun pada kenyataannya pembiayaan program KPS sudah dihentikan sejak 2021,” ujarnya.
Yang dilakukan, kata dr Mayor, hanya memastikan bahwa pasien benar-benar Orang Asli Papua dari wajah, nama, dan marga. Karena rumah sakit tidak mungkin menanyakan kartu jaminan kesehatan dan kemudian tidak melayani mereka, jika tidak memilikinya.
Untuk membantu menutupi pembiayaan pelayanan, RSUD Biak Numfor menerapkan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Selain memanfaatkan suplai anggaran dari APBD Kabupaten Biak, manajemen juga memanfaatkan dari pendapatan rumah sakit, baik dari pasien swasta maupun klaim JKN BPJS Kesehatan.
Sebagai rumah sakit rujukan regional, RSUD Biak Numfor memiliki delapan dokter spesialis. Sedangkan untuk memenuhi beberapa dokter spesialis yang belum ada, pihaknya bekerja sama dengan RSUD Jayapura.
“Ini upaya yang dilakukan RSUD Biak Numfor agar warga Biak tidak susah lagi bolak-balik untuk berobat ke Jayapura, sebab biaya transportasi rujukan sangat besar, bisa sampai Rp10 juta sekali jalan,” ujarnya.
Mempertanyakan penghentian KPS
Di tengah tuntutan peningkatan pembangunan di bidang kesehatan, dr Mayor justru menanyakan sikap Pemerintah Provinsi Papua yang memutuskan untuk menghentikan program Kartu Papua Sehat yang terbukti sangat membantu masyarakat dan rumah sakit. Sebab menurutnya masyarakat Papua yang membutuhkan jaminan kesehatan seperti KPS sampai saat ini masih ada.
“Yang diherankan Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Selatan bisa membuat program jaminan kesehatan dan menyiapkan anggaran, tapi kenapa Papua sebagai provinsi induk malah tidak melanjutkan program KPS, tetapi malah menghentikannya, terus anggaran Otsus itu mau digunakan untuk apa,” kata dr Mayor.
RSUD Biak Numfor mendapat alokasi anggaran Kartu Papua Sehat sebesar Rp6,5 miliar setiap tahun. Namun menurut dr. Mayor, anggaran itu tidak sebanding dengan jumlah pasien yang dilayani sehingga setiap tahun anggaran selalu devisit.
“Tetapi itu sudah jauh lebih baik ketimbang tidak ada alokasi dana sama sekali,” ujarnya.
Perbandingannya, jelas dr. Mayor, pasien rawat jalan dengan menggunakan JKN satu kali berobat dibayar sekitar Rp185 ribu. Itu sudah termasuk jasa dokter, memeriksa darah, dan obat. Pasien swasta yang melakukan rawat jalan dikenakan biaya lebih mahal.
“Sedangkan pasien KPS, meskipun anggarannya tidak banyak, sudah lebih baik daripada tidak ada,” katanya.
Defisit yang dimaksud dr. Mayor adalah tunggakan kepada distributor obat dan bahan habis pakai, yang jumlahnya di atas Rp10 miliar. “Namun kami tidak khawatir selama pihak distributor masih mau menyuplai kebutuhan yang diminta rumah sakit,” ujarnya.
Menurut Mayor pembiayaan melalui program jaminan kesehatan daerah seperti KPS masih sangat diperlukan rumah sakit. Sebab tanggungan yang diberikan berbeda dengan BPJS. Ia mencontohkan BPJS menjamin diagnosa kasus malaria dan pasien harus dirawat inap dengan biaya Rp2,3 juta, TB (Tuberculosis) Rp4,8 juta, dan jantung Rp7,5 juta. Yang menjadi persoalan, katanya, bayaran tetap sama meski pasien dirawat selama 2 hari, 7 hari, atau dua minggu. Sedangkan dengan program KPS hal-hal yang tidak bisa dibiayai bisa dibiayai dengan KPS. “Jadi jangan dihentikan dong,” katanya.
Ia mengakui memang selama program Kartu Papua Sehat berjalan ada kecurigaan di kalangan pemerintah pusat dengan mengatakan terjadi pendobelan pembayaran. Artinya, pemerintah pusat menganggap rumah sakit di Papua seperti pencuri karena ada biaya kesehatan yang sudah dibayarkan BPJS juga dibayarkan melalui program KPS. Padahal, katanya, itu pemikiran yang keliru karena mungkin tidak ada penjelasan yang baik kepada pemerintah pusat dan jajarannya.
“KPS itu seperti anugerah Tuhan yang jatuh di atas Bumi Papua sehingga yang tadinya orang Papua takut untuk berobat karena tidak punya uang, sekarang jadi berani. Artinya, di Papua masih banyak orang susah. Untungnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyetujui KPS harus tetap ada, sekarang tinggal kemaunan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Papua saja,” katanya.
Sampai saat ini, kata dr. Mayor, klaim BPJS dari RSUD Biak Numfor kemungkinan termasuk yang tertinggi di wilayah Papua, karena setiap bulan bisa mencapai Rp7,5 miliar. Namun tidak pernah mengalami kendala karena BPJS memiliki aturan baku. Jika rumah sakit memenuhi aturan itu maka prosesnya akan cepat, paling lambat 25 hari sudah dibayarkan.
“Ya, suka tidak suka kami harus lakukan itu, sebab tidak mungkin pasien yang datang untuk berobat terus kami tolak hanya karena minimnya anggaran,” katanya.
Saluran Siaga
RSUD Biak Numfor memiliki saluran siaga yang terhubungan langsung dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dan BPJS. Itu dibuat untuk mempermudah pihak rumah sakit saat berhadapan langsung dengan pasien yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) maupun Kartu Kelurga (KK), sebab Biak sudah Universal Health Coverage (UHC).
Karena itu dr Mayor mengharapkan kerja sama seluruh masyarakat yang datang berobat ke RSUD Biak Numfor ketika masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) sudah mempersiapkan dokumen yang diperlukan.
“Bergeraklah dengan cepat, sebab seluruh pelayanan kesehatan harus di pertanggungjawabkan, karena jika dalam waktu tiga hari tidak terbit Surat Eligibilitas Peserta (SEP) atas dokumen-dokumen lainnya, maka pasien tersebut diharuskan membayar secara swasta,” katanya.
Menurutnya dengan adanya PBS (Program Biak Sehat) selama KPS (Kartu Papua Sehat) terhenti, sekarang biaya iuran peserta baru BPJS PBI dari APBD diambil dari Kartu Biak Sehat. Namun bentuk PBS belum seperti KPS, melainkan menyuplai dana PBI bagi masyarakat yang belum memiliki jaminan kesehatan JKN-KIS.
Ia mengatakan ke depan Bupati Biak Numfor merencanakan skema Program Biak Sehat seperti Kartu Papua Sehat. Selain menyuplai pembiayaai peserta BPJS PBI melalui APBD, juga menyuplai jaminan seperti KPS.
“Ini memang sesuai dengan visi-misi bupati dan wakil bupati Biak Numfor, itu akan terjadi pada akhir 2023 atau pada 2024,” ujarnya.
Dr. Mayor mengatakan jika semua masyarakat sudah memiliki kartu JKN tentu akan memudahkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Asalkan pasiennya tidak banyak menuntut, karena berdasarkan aturan, BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI), baik bersumber dari APBN maupun APBD, berhak mendapat fasilitas kelas 3.
“Kalau tetap ngotot untuk pindah atau naik kelas, maka secara otomatis haknya hilang dan diharuskan membayar secara swasta,” katanya.
Kartu Biak Sehat dan pajak rokok
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten Biak Numfor Yubelina Marandof mengatakan saat ini kabupaten berjuluk “Kota Karang Panas” itu telah memiliki Program Biak Sehat atau PBS. Program ini muncul setelah banyaknya keluhan masyarakat dalam pelayanan kesehatan, seperti rujukan keluar Biak yang tidak bisa dibiayai melalui BPJS Kesehatan.
“Programnya sudah berjalan dengan alokasi anggaran Rp2 miliar bersumber dari dana Otonomi Khusus, tujuannya untuk meringankan masyarakat yang benar-benar tidak mampu,” kata Marandof.
Ia menjelaskan pembiayaan PBS hanya fokus pada membantu rujukan pasien ke rumah sakit di luar Biak dan luar Papua. Kemudian membiayai warga berpenghasilan rendah atau tidak mampu untuk terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (BPJS PBI). Bahkan dalam kondisi tertentu bisa membiayai warga yang tidak memiliki kartu PBI, tetapi hanya beberapa persen saja.
“Peraturannya sementara digodok agar benar-benar mengikat, makanya kami belum berpikir sampai kepada pembiayaan pembelian peti jenazah seperti program KPS dulu. Namun yang jelas, PBS ini bukan untuk masyarakat umum, tetapi untuk menolong warga yang benar-benar tidak mampu,” ujarnya.
Melihat keterbatasan itu, Marandof mendorong seluruh warga Biak untuk memiliki kartu JKN-KIS agar pemerintah tidak perlu lagi membayar jasa dokter, obat-obatan, dan lainnya. Sebab dengan memiliki JKN-KIS bisa diklaim ke BPJS Kesehatan. Selain itu, biaya rujukan seperti transportasi dan akomodasi juga akan lebih murah.
Menurutnya untuk Kabupaten Biak Numfor, 90 persen lebih masyarakat sudah tercover lewat BPJS PBI yang bersumber dari APBN. Sedangkan yang dibiayai APBD Kabupaten Biak Numfor sebanyak 5.000 sampai 7.000 jiwa.
“Sampai saat ini kami [Dinas Kesehatan] masih berusaha meminta tambahan anggaran ke pemerintah, sebab pada kenyataannya masih banyak masyarakat Biak yang belum memiliki kartu jaminan kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2020, di mana hampir 12 ribu peserta dinonaktifkan karena sudah ada yang meninggal, NIK-nya tidak online, NIK-nya ganda, dan lain-lain. Makanya beberapa tahun ini kami coba verifikasi ke kampung-kampung, meskipun Biak sudah dinyatakan UHC,” katanya.
Selain soal Permensos, menurut Marandof ada hal yang lebih memberatkan pemda, yaitu mengenai aturan yang mengatakan jika di dalam satu keluarga yang sebelumnya terdaftar sebagai keluarga tidak mampu ada salah satu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka otomatis membatalkan seluruh anggota keluarga.
“Tentu aturan ini sangat memberatkan, seharusnya salah satu anggota keluarga yang sudah berstatus PNS itu yang dinonaktifkan, bukan seluruhnya. Makanya kami minta BPJS tolong sampaikan hal ini ke Kementerian Sosial, sebab jelas memberatkan masyarakat dan akhirnya membebani pemerintah daerah,” katanya.
Yubelina Marandof mengatakan Dinas Kesehatan Biak Numfor berani menanggung 5.000 sampai 7.000 jiwa dari total penduduk Biak 152,132 orang dalam BPJS PBI, karena memanfaatkan adanya dana bagi hasil pajak rokok sebesar 37,5 persen yang penggunaannya diatur dalam peraturan presiden.
Pada 2022 Pemkab Biak Numfor mendapat lebih Rp2 miliar dari pajak rokok. Sedangkan 2023 lebih Rp1 miliar. Namun masih ada selisih yang harus dikejar, karena jika tidak mencapai 37,5 persen maka dana Bagi Hasil Pajak (BHP) tidak akan terealisasi 100 persen.
“Cara ini bisa dimanfaatkan kabupaten dan kota lainnya di Papua, sebab itu hak kita yang bisa dituntut untuk membiayai BPJS PBI yang bersumber dari APBD. Jadi manfaatkanlah itu. Makanya kami dari Program Biak Sehat dan PBI bisa mengalokasikan 15 persen untuk masyarakat non-Papua yang benar-benar membutuhkan. Yang terpenting kalau dia warga pendatang dari luar Biak, harus ber-KTP minimal 1 tahun,” katanya.
Terkait dengan BPJS Kesehatan untuk warga kurang mampu, Kepala Bagian Sumber Daya Manusia, Umum dan Komunikasi BPJS Kesehatan Cabang Biak Numfor Josepri Panggelo Lungan mengatakan capaian kepesertaan BPJS PBI di wilayah Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen, Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai mencapai 98 persen. Sedangkan Kabupaten Intan Jaya baru 77 persen.
Karena itu, katanya, dalam menggunakan tarif pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik, dokter praktek pribadi, dan dokter gigi) dan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (rumah sakit) yang telah bekerja sama, BPJS Kesehatan menggunakan dasar ketentuan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelengaraan Jaminan Kesehatan.
Sedangkan untuk mendorong peningkatan jumlah kepesertaan, menurutnya BPJS Biak selalu melakukan koordinasi, komunikasi, dan kerja sama dengan para pemangku kepentingan utama, stakeholder, tokoh agama, dan elemen masyarakat, Sebab JKN adalah program pemerintah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
“Makanya saat ini Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen, Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai sudah UHC,” kata Josephin. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!