Manajemen rumah sakit memuji program Kartu Papua Sehat dibanding program BPJS Kesehatan. Alasannya, ada sejumlah layanan yang bisa ditangani KPS untuk langsung membantu Orang Asli Papua. Jubi dan Project Multatuli membuat kolaborasi peliputan untuk menyelisik Program Kartu Papua sehat yang terancam hilang, berikut berbagai keunggulan jaminan kesehatan Kartu Papua Sehat dibanding BPJS Kesehatan. Tulisan ini merupakan bagian keempat dari lima laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD Dok II Jayapura dr Anton Mote mengatakan sejak awal 2023 pelayanan pasien Kartu Papua Sehat atau KPS di rumah sakit itu sudah tidak ada lagi. RSUD Dok II Jayapura terakhir melayani pasien KPS pada 2022, karena Pemerintah Provinsi Papua masih menyediakan anggaran.
Sebagai salah satu rumah sakit rujukan nasional di Papua, ujar Mote, RSUD Dok II Jayapura mendapat anggaran KPS setiap tahun Rp30 miliar hingga Rp60 miliar. Dana itu juga digunakan untuk membeli obat, bahan habis pakai, makan dan minum pasien, baju untuk pasien, peti jenazah, formalin, dan biaya laboratorium serta biaya rujukan ke rumah sakit di luar Papua, seperti ke Makassar dan Jakarta.
“Sejak adanya Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021, anggaran KPS sudah tidak ada lagi, sebab anggaran Otsus sudah langsung ditranfer dari pusat ke masing-masing kabupaten dan kota, sehingga pelayanan pasien KPS di RSUD Jayapura sudah tidak ada lagi,” katanya.
Agar pelayanan kesehatan kepada Orang Asli Papua (OAP) yang kurang mampu tetap berjalan, kata Mote, upaya yang dilakukan rumah sakit adalah mendorong kerja sama antar pemerintah kabupaten/kota dengan rumah sakit. Ini dilakukan RSUD Jayapura dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura, Pemerintah Kota Jayapura, Pemerintah Kabupaten Biak, dan Pemerintah Kabupaten Mappi. Dengan kerja sama itu masyarakat Papua tetap bisa mendapatkan pelayanan Kesehatan. Sistem pembiayaanya rumah sakit akan mengklaim ke masing-masing pemerintah daerah.
“Jadi meskipun program KPS sudah tidak ada, RSUD tetap melayani masyarakat Papua dari sejumlah daerah yang datang berobat. Seperti halnya pasien dengan kasus berat dari Mappi yang dirujuk ke Jayapura, dan per bulan kami rutin melakukan tagihan ke sana (Pemkab Mappi). Paling banyak lima sampai sepuluh pasien yang dirujuk,” ujarnya.
Sedangkan pasien, khususnya OAP, yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan karena tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) maupun Kartu Keluarga (KK), RSUD Jayapura tetap melayani sekaligus memberikan edukasi dan meminta pihak keluarga atau pasien untuk segera mengurus NIK dan KK agar bisa terdaftar sebagai peserta BPJS dan memiliki kartu JKN-KIS.
“Bersyukur antusias masyarakat Papua cukup tinggi untuk mendapat jaminan itu,” ujarnya.
Yang menjadi persoalan, kata dr Anton Mote, bagi masyarakat dari provinsi atau kabupaten yang belum bekerja sama dengan RSUD Jayapura. Rumah sakit itu tidak memiliki anggaran yang cukup melayani mereka.
“Sekarang kan anggaran Otsus semua diberikan langsung ke pemerintah kabupaten dan kota, jadi pemerintah jangan diam, sebab jaminan kesehatan ini merupakan hak setiap orang. Silahkan anggarkan dana jaminan kesehatan agar masyarakat bisa terlayani dengan baik,” katanya.
Mote mengaku rumah sakit sangat merasakan dampak dihentikannya program KPS. Dampaknya tidak hanya hilangnya pembiayaan obat-obatan dan bahan habis pakai, tetapi juga menurunnya secara drastis jumlah masyarakat yang datang berobat dari luar Jayapura.
“Saat ini hampir 80 persen masyarakat Port Numbay yang datang berobat ke RSUD Jayapura, sementara 20 persen lagi merupakan masyarakat dari kabupaten dan kota lainnya,” ujarnya.
Karena itu ia menaruh harapan yang besar kepada pemerintah kabupaten dan kota untuk lebih peduli terhadap setiap masyarakatnya, khususnya OAP. Sebab, menurutnya, jika berbicara soal Otsus, maka ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan dan kesehatan masyarakat.
“Pemerintah jangan tutup mata soal ini, segera lakukan kerja sama dan mengalokasikan anggaran agar masyarakat tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima, baik di daerah maupun di rumah sakit rujukan,” katanya.
Menurutnya RSUD Jayapura sangat siap memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Papua. Hasil klaim pelayanan itulah yang nantinya dipakai RSUD untuk membeli obat, bahan habis pakai, dan jasa pelayanan medis.
“Intinya program jaminan kesehatan bagi orang asli Papua tidak boleh terhenti, tetapi silahkan dilanjutkan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Ini wajib dilakukan, karena itu merupakan hak orang Papua yang harus dipenuhi,” katanya.
Pelayanan kesehatan jauh lebih mudah
Tanggapan bagusnya program KPS juga disampaikan manajemen RSUD Abepura. Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD Abepura dr. Veronika Pikey mengatakan sewaktu program KPS masih berjalan pelayanan kesehatan bagi orang asli Papua jauh lebih mudah. Selain itu, ada jatah 1 persen dari program tersebut untuk pasien non-Papua yang benar-benar tidak mampu dan tidak memiliki jaminan kesehatan.
“Semua ini berjalan baik waktu masih ada KPS. Siapapun itu, mau dari mana pun asal, yang penting kulit hitam dan rambut keriting, tetap rumah sakit klaimkan dia dengan KPS. Tapi begitu program itu terhenti dan beralih ke BPJS, kebanyakan menuai kendala. Apalagi berhadapan dengan OAP yang tidak mampu, artinya untuk makan sehari-hari saja terbatas,” kata Pikey.
Pikey mengaku saat ini RSUD Abepura sangat kekurangan biaya kesehatan sehingga terkadang membuat pelayanan tindakan medis bagi pasien kategori tidak berat dan belum memiliki jaminan kesehatan, dokter hanya melakukan tindakan awal, kemudian memberikan resep obat untuk dibeli di apotek luar rumah sakit. Jika mendapat pasien dengan kasus berat dan harus rawat inap, maka pihak rumah sakit meminta keluarga pasien untuk langsung mengurus kepesertaan BPJS PBI agar bisa mendapat jaminan pembiayaan.
“Jadi, kami memang sangat kewalahan dalam menangani pasien OAP setelah tidak adanya program KPS, apalagi masyarakat dari wilayah Papua Pegunungan dan Pegunungan Tengah. Kalau masyarakat Kota Jayapura saat ini ada jaminan yang disebut Port Numbay Sehat, tapi daerah lainnya tidak ada, sementara ketika datang berobat ke rumah sakit meminta pelayanan gratis, sebab pemikiran mereka program KPS itu masih ada,” katanya.
Pikey menceritakan tak jarang terjadi pada pasien OAP dengan kasus berat yang datang berobat. Ketika pihak rumah sakit menagih pembayaran medis, akhirnya pihak keluarga memutuskan membawa pulang pasien atau tidak melanjutkan pengobatan, sebab tidak memiliki uang.
“Mereka selalu sampaikan biar kami pulang dan berdoa di rumah. Nanti kalau memang tidak bisa tertolong, biar kami antar yang sakit ke kampung. Bukannya kami rumah sakit menolak atau tidak mau menolong, tapi kami bingung dengan segala keterbatasan anggaran. Jadi antara mau menolong atau tidak menolong,” ujarnya.
Menurut Pikey, bahkan keterbatasan itu pernah dialami keluarga dekatnya yang ketika datang berobat, tetapi memilih pulang karena disuruh membayar. Akhirnya tidak tertolong dan meninggal. Karena mereka ke rumah sakit hanya mau isi cairan (infus) saja takut disuruh bayar, sebab sama sekali tidak memiliki uang dan tidak terdaftar sebagai peserta BPJS.
“Jadi memang ada ketakutan dari OAP untuk berobat ke rumah sakit sejak tidak adanya KPS. Ketakutan mereka jangan sampai setelah mendapat penanganan medis, maka akan dituntut untuk membayar biaya rumah sakit. Apalagi mereka tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga (KK). Kalau dulu masih ada KPS tidak ada masalah, yang penting ko orang Papua tidak perlu takut. Kalau sekarang tidak bisa,” katanya.
Melihat apa yang terjadi di rumah sakit, dr Pikey berpendapat masih banyak OAP yang belum terdaftar dan memiliki BPJS PBI, karena mereka belum melakukan perekaman e-KTP maupun Kartu Keluarga. Dalam sebulan setidaknya ada 20 orang yang datang berobat ke RSUD Abepura tanpa memiliki dokumen tersebut.
“Masih mending mereka datang dengan NIK atau KK, karena bisa dicari melalui sistem apakah sudah terdaftar sebagai peserta BPJS atau tidak. Kebanyakan kasus itu terjadi pada mahasiswa yang menjalani studi di Kota Jayapura. Ini yang kadang membuat kami rumah sakit kewalahan. Apalagi keluarga pasien ketika dihubungi sangat susah karena tinggal di daerah pendalam,” katanya.
Pikey mengakui, sejak KPS tidak berlaku lagi, NIK menjadi syarat utama yang harus dipenuhi setiap masyarakat Papua untuk bisa mendapat jaminan kesehatan yang di bayarkan pemerintah. Rumah sakit, katanya, tidak bisa berbuat apa-apa karena memiliki anggaran yang terbatas.
“Sangat berdampak sekali, akhirnya kami mengambil haknya orang lewat klaim BPJS untuk menutupi kekurangan. Jadi, kalau bisa ke depan pemerintah kabupaten dan kota membuat jaminan kesehatan seperti KPS dan bekerja sama dengan kami. Apalagi rumah sakit Abepura letaknya ada di tengah-tengah sehingga banyak pasien dari Keerom dan kabupaten lainnya datang berobat ke sini,” ujarnya.
Ia mengatakan agar masyarakat Papua mengetahui kalau program KPS sudah tidak ada, maka pihak rumah sakit melakukan edukasi dan memasang spanduk pengumuman yang bertuliskan, ‘Rumah sakit tidak lagi menangani pasien KPS, tetapi hanya melayani BPJS dan pasien umum’,” ujarnya.
Kendala klaim BPJS Kesehatan
Terkait BPJS Kesehatan, permasalahan yang dihadapi RSUD Abepura tidak hanya soal pelayanan kesehatan, tetapi juga soal penagihan klaim ke BPJS Kesehatan, yang terkadang pembayarannya sering kali molor.
“Kami itu biasa sampai pembayaran klaim dari BPJS itu molor bisa sampai satu tahun. Tapi untuk lebih jelasnya memang harus tanyakan langsung ke pihak BPJS. Tetapi kalau setahu saya, apa yang dijadikan uang itu berdasarkan klaim yang diserahkan rumah sakit. Tapi semua itu tergantung apakah disetujui atau tidak, bahkan ada yang hangus atau tidak dibayarkan,” kata dr. Pikey.
Menurutnya, lebih banyaknya penagihan yang menjadi kendala karena adanya kelebihan pasien yang dirawat lebih dari waktu yang sudah ditetapkan BPJS. Contoh kasus, pasien dengan penyakit malaria yang memang karena kondisinya belum sembuh total sehingga harus tetap dirawat.
“Kalau pasien belum benar-benar sembuh dan masih ada keluhan masa kami harus keluarkan dari rumah sakit, kan tidak mungkin. Tapi memang tetap yang dibayar BPJS sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, sisanya menjadi tanggung jawab rumah sakit. Ini yang kadang menjadi soal,” katanya.
Jika klaim hangus, tambahnya, pihak rumah sakit tidak bisa melakukan apa-apa. Kerugian ditanggung rumah sakit. Ia mengatakan ada beberapa kasus seperti itu yang bahkan setelah didemo akhirnya dibayarkan pihak BPJS Kesehatan.
Untuk mengantisipasi hal-hal seperti itu, kata dr. Pikey, manajemen rumah sakit selalu menyampaikan kepada setiap dokter untuk memastikan penyakit penyerta seperti liver, usus, dan ginjal ketika berhadapan dengan pasien dengan kasus malaria sehingga bisa ada dasar ketika rumah sakit melakukan penagihan kepada BPJS.
“Nanti urusan mau dibayar atau tidak itu urusan nanti, yang jelas RSUD Abepura tidak punya sumber lain untuk membiayai penanganan medis, seluruhnya berharap dari BPJS. Mungkin kalau rumah-rumah sakit yang ada di kabupaten/kota tidak begitu khawatir sebab dana kesehatan yang bersumber dari Otsus jelas ada, berbeda dengan kami yang ada di provinsi induk,” ujarnya.
KPS menjadi ‘juru selamat’ bagi rumah sakit
Hal yang menarik disampaikan Direktur RSUD Kabupaten Pania dr. Agus. Menurutnya program KPS itu “juru selamat” bagi rumah sakit di Papua. Alasannya, karena secara birokrasi BPJS Kesehatan dengan administrasi yang cukup ‘ribet’ memberatkan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung pedalaman, sebab harus memiliki NIK dan Kartu Keluarga.
“Makanya dengan adanya KPS tentu sangat membantu untuk mem-backup yang tidak ditanggung BPJS. Artinya, KPS menjadi pendamping BPJS dalam menjawab kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Makanya sejak terhenti pada 2019, ada beberapa kegiatan yang sudah tidak bisa kami buat lagi, seperti membeli peti jenazah, tapi untuk yang lain-lain tentu lewat BPJS,” kata Agus.
Sejak tidak ada program KPS, kata dr. Agus, setiap masyarakat yang belum memiliki BPJS PBI, NIK, dan KK langsung dibuatkan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Pembiayaan Jamkesda didapatkan dari 37,5 persen cukai rokok yang pada 2022 dan 2023 didapat angaran sebesar Rp2,7 miliar.
Meski begitu, menurutnya anggaran Jamkesda yang dimiliki Pemkab Paniai sangat terbatas karena setiap bulan harus membayar Rp38 ribu per orang, sehingga RSUD Paniai hanya mampu menangani 10.000 sampai 12.000 jiwa setiap tahun.
“Makanya kami rumah sakit masih sangat butuh program semacam KPS, sebab itu merupakan penyelamat kami, karena masyarakat di wilayah Provinsi Pegunungan Tengah seperti Paniai, Deiyai, Dogiyai, dan Intan Jaya yang belum memiliki BPJS Kesehatan, NIK maupun KK dilayani secara gratis. Apalagi RSUD Paniai sudah menjadi rumah sakit rujukan di wilayah Meepago,” katanya.
Dr. Agus menjelaskan dilihat dari persentase pasien yang datang berobat ke RSUD Paniai, pasien dari Kabupaten Paniai hanya 40 persen. Sedangkan 60 persen dari kabupaten tetangga, yaitu Deiyai 30 persen, Dogiyai 20 persen, dan Intan Jaya 10 persen.
Dengan melayani beberapa kabupaten itu, katanya, terkadang rumah sakit sangat kekurangan obat-obatan, bahan habis pakai, paket persalinan, makan-minum pasien, kebersihan, rujukan, dan jasa medis.
“Intinya dalam sehari rumah sakit bisa melayani 300 sampai 400 orang beserta rawat jalan dengan kasus infeksi saluran pernapasan akut, diare, hipertensi, diabetes, kolestrol, tuberkulosis, dan malaria,” ujarnya.
Soal masih terjadi pelayanan gratis di rumah sakit, kata Agus, sudah pernah dibicarakan dengan Bupati dan DPRD Pania agar ada kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai, dan Kabupaten Intan Jaya dengan pihak RSUD Paniai, namun sampai saat ini belum terealisasi.
“Upaya ini sebenarnya sudah dilakukan sejak 2018, mudah-mudahan ke depan ada kerja sama karena anggaran Otsus saat ini sudah ditransfer langsung ke kabupaten/kota masing-masing, sebab ketersediaan obat-obat kalau hanya untuk warga Pania saja cukup, tapi kalau dipakai untuk pasien dari daerah lain akan sangat kurang,” katanya.
Dengan dokter spesialis yang cukup banyak akan membutuhkan biaya operasional yang cukup besar untuk mendukung seluruh kegiatan medis dan nonmedis. “Makanya kami sangat membutuhkan program seperti KPS,” ujarnya. (*)