Jayapura, Jubi – Anggota polisi Cosmas Kemong dari zaman Belanda terlibat pula sebagai pengawal dalam ekspedisi pertama bersama guru Moses Kilangin dan juga Bestuur Kokonao, Arnorld Mampioper. Rupanya tak berhenti sampai pada ekspedisi 1960, tetapi berlanjut sampai masuknya Irian Barat pada 1 Mei 1963 dari UNTEA ke pemerintahan Republik Indonesia.
“Saya menjalankan tugas saya sebagai anggota polisi di samping merangkap tugas baru dari Mr John Currie sebagai mandor perusahaan untuk komando karyawan-karywan,” demikian tulis Cosmas Kemong dalam riwayat hidupnya yang didukung pula dari para saksi-saksi, antara lain Niaki Narkime, Naimunki Narkime, Namommoraki Jamang, Yunus Omabak, Nereka Naisorei Waa, Victor Beanal, dan Nerek Naisorei Timika.
Usai menikah pada Desember 1966, sejak 1967 mulailah sebagai anggota polisi menemani dan mengawal John Currie, wakil pengawas PT Freeport yang menyiapkan semua fasilitas tambang sampai peresmian ekspor tambang perdana pada 1 Maret 1973.
Sejak 1967 sampai dengan 1977, Paitua Cosmas Kemong terus menjalankan tugas kepolisian dan juga menjadi pengawas lapangan untuk proyek yang diberikan John Currie kepadanya juga sebagai mandor di proyek jalan dan juga lapangan terbang Cornett Timika.
Kampung Keakwa, Distrik Mimika Tengah, Kabupaten Mimika pertama kali merupakan basis pangkalan pertama perusahaan tambang masuk di situ dan berlabuh. Kampung yang berada di Distrik Mimika Tengah ini pernah menjadi basis pertahanan Jepang saat Perang Dunia II.
Di Pos Polisi Kampung Keakwa, polisi Cosmas Kemong dan Pontius Katagame bertugas hingga sampai mendampingi John Currie dalam negosiasi dan juga ikut mengawasi proyek perusahaan.
Paitua Cosmas Kemong ikut pula mengawasi pembukaan jalan di Kampung Ayuka yang dikenal dengan nama jalan Mile 11-Mile 68 atau Pad 11 menuju jalan ke Tembagapura hingga akhir proyek jalan tersebut.Konstruksi skala besar dimulai bulan Mei 1970, dilanjutkan dengan ekspor perdana konsentrat tembaga pada bulan Desember 1972. Pada Maret 1973, proyek pertambangan pertama di Indonesia ini diresmikan oleh Presiden Soeharto, sekaligus peresmian kota Tembagapura yang terletak pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Sejak saat itulah operasi penambangan PTFI di Papua dimulai.
Bersamaan dengan itu pula nama Provinsi Irian Barat diganti oleh Presiden Soeharto dengan nama Provinsi Irian Jaya. Hal ini termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1973 tentang Perobahan Nama Propinsi Irian Barat Menjadi Irian Jaya, yang ditetapkan pada 1 Maret 1973.
Baru beberapa bulan peresmian, terjadi protes dan pergolakan, sebab masyarakat semakin resah, setelah pekerjaan kasar dan buruh lepas selesai dan tuntas dikerjakan. Kini giliran kerja proyek tambang terbuka pertama di Ertsberg mulai dari driver, mandor lapangan, dan pengawas tentunya membutuhkan keahlian. Apalagi kekecewaan terhadap gunung suci tempat tinggal arwah nenek moyang suku Amungme telah digerogoti.
Semua tuntuan terkuak kembali dalam perjanjian Januari 1974 atau dikenal dalam January Agreement 1974. Hal ini membuat Pemda Tk Irian Jaya ikut terlibat dalam penyelesaian masalah protes dan demonstrasi.
“Mereka menuntut agar perundingan dari 5 Januari sampai dengan 11 Januari menghasilkan penyelesaian yang adil bagi orang Amungme,” demikian dikutip dari buku Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi, Pegunungan Cartensz, 2000.
Saat itu hadir pula dari perusahaan Freeport, RL West Vice President dan General Manager, TL Vandegrift, H Buut, J Harsono, dan Rorimpandey. Sedangkan dari Pemerintah Provinsi Irian Jaya waktu itu, AW Darwis Kepala Direktorat Sosial Politik, Letkol (Pol) Suratman, Asisten V Kodak XXI Irian Jaya, Arnold Mampioper Wakil Kepala Direktorat Ketertiban Umum, Drs S Wanma staf Direktorat Pemerintahan, Costan Hanggaibak mahasiswa APDN Irian Jaya, Thom Beanal anggota DPRD Kabupaten Fakfak.
Sedangkan tokoh adat Amungme, Tuarek Narkime, Naimum Narkime, Arek Beanal, Pitaragom Beanal, Paulus Magal, dan Kawal Magal ikut hadir dan menyampaikan keluhan dan tuntutan dalam bentuk kiasan.
Memang nama Cosmas Kemong dan juga guru Moses Kilangin tak terdaftar dalam perjanjian Januari 1974 sebagai peserta dialog. Tetapi Cosmas Kemong juga hadir dalam pertemuan itu sebagai warga Amungme dan juga seorang anggota polisi yang ikut pula menyaksikan dan mengawal dalam peristiwa tersebut.
“Tuarek Narkime mengatakan dalam pertemuan Januari 1974 antara lain, “Kepala saya bagian depan dibelah. Masih tidak puas kalian mengambil kepala bagian belakang saya juga.”
Maksud dari ungkapan perasaan Tuarek Narkime mengibaratkan, gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel sebagai bagian dari kepala depan sedangkan Tenogoma Enagasin atau Grasberg merupakan kepala bagian belakang.
Tuarek Narkime adalah seorang tokoh Amungme dan juga Kepala Kampung Banti yang sejak pertama ekspedisi Freeport 1960 pernah bertemu dengan Forbes Wilson dan juga pada 1967 bertemu dengan John Currie dan Cosmas Kemong.
Orang Amungme selalu bicara dengan memberikan kiasan di seputar alam dan sumber daya mereka. Salah satu ungkapan Tuarek Narkime yang terkenal adalah, “Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung batu dan salju yang indah dan kaya dengan sumber mineral itu yang menarik, Freeport, ABRI, pemerintah, dan orang luar datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita? Dan oleh sebab itu, kami orang Amungme harus terus menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kamu maksudkan, lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami, agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki, tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami.”
Kiasan lainnya, diungkapkan oleh seorang Kepala Kampung Akimuga menanggapi seruan petinggi militer agar masyarakat tidak mudah dihasut. Kepala kampung ini memakai kiasan, “Bapak, kami ini seperti ubi jalar yang tumbuh antara dua buah batu. Kami ditekan dan dimarahi di sini dan dipersalahkan di sana. Mendengar di sana, tetapi dihantam di sini, jadi susah kami ini!”
Ubi jalar yang termasuk makanan pokok masyarakat dipakai untuk menggambarkan situasi riil masyarakat Amungme menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan. Situasi sulit yang dihadapi ini digambarkan dengan kiasan “ubi jalar yang tumbuh antara dua buah batu”.
Ungkapan lainnya yang pernah pula dipakai Cosmas Kemong saat pertama kali berkata antara lain, saat ini semua tinggal di gunung dan berjalan kaki ke pantai (Kokonao), jika semua ekspedisi tambang ini berhasil.
“Kita hanya memakai pantat sambil duduk sudah sampai ke pantai dalam beberapa jam saja.” Maksudnya memakai pantat artinya duduk di kendaraan maupun naik pesawat sudah tiba dengan cepat sampai tujuan.”
Tiga tahun setelah Januari Agreement, pada 1977 terjadi gejolak sosial di seluruh pegunungan Papua dan imbasnya sampai ke Bumi Amungsa. Mama Theresia Kemong menuturkan waktu peristiwa itu keluarga Kemong tinggal di Kwamki Lama.
“Kita sudah bikin kebun dan tinggal panen saja, tiba-tiba kami diserang dan kami harus menyelamatkan diri mengungsi ke Lembah Hoea dekat Tembagapura. Hanya dengan badan dan semua harta benda termasuk surat-surat hilang karena rumah dibakar,” katanya.
Warga Amungme di Kwamki Lama terpencar ada kelompok yang menyelamatkan diri tinggal di Kampung Hoea dan sebagian lagi berjalan tiga bulan hingga sampai ke Ok Tedi di Papua Nugini.
“Kami berjalan kaki dan tinggal sementara di sana,” kata Demianus Katagame (alm) kala itu.
Pecahnya peristiwa 1977 menurut Mayjend Samsudin dalam bukunya berjudul Pergolakan di Perbatasan, berawal dari penyerbuan terhadap tenda Yon Armed-10/Kostrad di Kobagma. Para penyerang itu adalah kelompok yang oleh aparat keamanan disebut kelompok separatis bersenjata. Begitupula di Tembagapura dan sekitarnya sehingga aparat banyak diturunkan. Termasuk pula dua pesawat tempur jenis OV-10 yang berpangkalan di Lanud Manuhua Biak.
OV-10 Bronco adalah sebuah pesawat militer ringan berbaling-baling bermesin turboprop ganda sayap tinggi (high wing) buatan North American Rockwell sebagai pesawat serang ringan dan pesawat angkut ringan. Pesawat bermesin turboprop ini dikembangkan pada tahun 1960-an sebagai pesawat khusus untuk pertempuran COIN (COunter-INsurgency) atau anti-gerilya.
Usai peristiwa 1977, warga kembali termasuk Cosmas Kemong yang menderita sakit saat mengungsi di Kampung Hoea dekat Tembagapura. Prakstis hanya mama Theresia Kemong yang mengurusi anak-anaknya.
“Kami punya gaji polisi tidak pernah diambil dan mungkin ada orang lain yang bawa. Saya sendiri tidak tahu. Kami lari selamatkan diri dengan hanya baju di badan,” katanya.
Warga Amungme kembali menempati permukiman baru yang dikenal dengan nama Kwamki Baru. Pada 1979, polisi Cosmas Kemong meninggalkan Polsek Akimuga dan Kokonao menuju Kaimana dibawah Polres Fakfak waktu itu.
Wilayah Kwamki Baru termasuk dalam Kelurahan Kwamk,i Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, mulai dibuka pada Februari tahun 1978. Sebelumnya Amungme tinggal di sekitar “Bandara Cornet yang saat ini dikenal dengan nama Mozes Kilangin International Airport hingga Kwamki Lama/Kwamki Narama”.
“Setelah membangun kampung baru yang diberi nama Kwamki Baru, Amungme pindah ke kampung tersebut. Karena ada nama Kwamki Baru, maka kampung yang lama, Kwamki Narama, diubah menjadi Kwamki Lama (sebutannya masih berlaku sampai sekarang, dan kini menjadi Distrik Kwamki Narama). Kata Kwamki berasal dari bahasa Amungme artinya tempat bermain burung Cenderawasih.
Tokoh-tokoh masyarakat Amungme yang terlibat dalam permukiman Kwamki Baru antara lain Cosmas Kemong, David Magal, Paulus Magal, Dominikus Beanal, Nikolaus Magal, Herman Beanal, Gradus Beanal, Thobias Magal, David Kibak, Linus Tsunme, David Kasamol, Thobias Tsunme, Apilinus Kananggopme, Jermias Kananggopme, Daniel Kananggopme, Yohanis Alomang, Matias Kelanangame, Aloisius Anggaibak, Yakobus Alomang, Yopi Tsingigilat, Karel Bugaleng, Nikodemus Kwalik, Bernard Alomang, Wilem Eanem, Andreas Eanem, Marcelus Anggaibak, Anton Tsugumol, Nikolaus Niwilingame, Markus Kwalik, Markus Pinimet, Adolof Dolame, Alber Beanal.
Tak ketinggalam mama-mama Amungme yang juga tokoh perempuan Amungme seperti Mama Yosepha Alomang, Petra Kwalik, Paola Nagaprugol, Yose Kasamol, Herodina Beanemeng, Ria Juntang, Ida Juntang, Pia Eanem, Elisabet Beanal, Beatrix Pinimet, Theresia Pinimet, dan kawan-kawan.
Program Bantuan Presiden (Banpres) melalui Badan Pengkajian Peningkatan Teknologi (BPPT) dengan kontraktornya adalah PT. Melati dari Fakfak. Setelah rumah-rumah selesai dibangun dan ditempati, masyarakat Amungme mulai membangun jalan Timika-Mapurujaya.
Sebagai anggota polisi yang ikut terlibat, Cosmas Kemong mengusulkan agar ada Polsek Mimika Baru di dekat permukiman Kwamki Baru. Setelah berpindah-pindah tugas dari Polsek Kaimana beberapa tahun hingga kembali lagi ke Timika dan bertugas di Polres Mimika.
Selama tugas di Pos Polisi Distrik Mimika Timur pada 1984-1987, Cosmas Kemong ikut pula merintis dan membuka Polsek Mimika Baru, yang letaknya dekat permukiman Kwamki Baru sekarang. Selanjutnya, Cosmas Kemong kembali mengikuti pendidikan Bintara di SPN Base G Kota Jayapura hingga pensiun dan meninggal pada 18 Oktober 2010 di Timika.
Keinginan mendiang Cosmas Kemong yang masih menjadi pekerjaan rumah sampai sekarang adalah meningkat usaha ekonomi keluarga dan juga dari hasil usaha nanti bisa membiayai studi bagi anak-anak yang pada dasarnya tidak bergantung pada pihak lain dan mandiri. (*)