Jayapura, Jubi – Ekspedisi pertama 1960 telah selesai dan rombongan ekspedisi membawa 300 kilogram batuan mineral dari Gunung Ertsberg untuk diperiksa di Belanda dan Amerika Serikat. Belanda memberikan izin konsesi kepada perusahaan Freeport dan OBM selama lima tahun.
Namun situasi politik di wilayah Nederlands Nieuw Guinea (Irian Barat waktu itu) sehingga ekspedisi kedua pada 1962 terhenti. Pertikaian antara Belanda dan Indonesia berimbas pula pada kelanjutan ekspedisi ke Nemangkawi.
Desember 1962 wilayah Irian Barat berada di bawah pengawasan badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang dikenal dengan sebutan UNTEA sebuah Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam bahasa Inggris, United Nations Temporary Executive Authority, adalah sebuah badan pelaksana sementara PBB yang berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB.
Waktu itu di bawah pimpinan Dr Jalal Abdoh, Administrator UNTEA di Papua sejak Desember 1962 sampai dengan 1 Mei 1963. Sedangkan pelaksanaan referendum atau penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) baru akan dilaksanakan pada 1969.
Selanjutnya pada 1965, terjadi peristiwa G 30 S PKI dan pengambil alihan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada 1965 setelah sidang istimewa di DPR RI, 1967 barulah perusahaan tambang Amerika Serikat ini bergerak untuk melanjutkan misi ekspedisi kedua 1967.
Akhirnya 5 April 1967, pertama kali Menteri Pertambangan Slamet Bratama dan Perwakilan Freeport menandatangani Kontrak Karya selama 30 tahun untuk pengembangan tambang Ertsberg. “Inilah Kontrak Karya Pertama yang pernah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dibawah UU Penanaman Modal Asing (PMA),” demikian tulis George A Mealey dalam bukunya berjudul Grasberg, 1999.
Berdasarkan Kontrak Karya Pertama, itulah Freeport mulai melanjutkan kembali ekspedisi dan eksplorasi tambang terbuka pertama di Gunung Eresberg di Nemangkawi tanah Papua.
Bagi masyarakat Amungme kala itu, usai ekspedisi pertama 1960, masyarakat kembali ke aktivitas sehari-hari. Cosmas Kemong akhirnya kembali bertugas dan bergabung dengan kepolisian Republik Indonesia di Polisi Sektor Mimika di Kokonao. Ia baru saja menikah pada Desember 1966. “Kami menikah akhir Desember 1966 dan berjalan dua bulan bapak Cosmos Kemong dipanggil damping Guru Moses Kilangin dan John Curie untuk naik helicopter ke Tsinga dan Kampung Waa,” kata mama Theresia Pinimet kepada Jubi di kediamannya, SP II, Jumat (22/9/2023) sore.
Rupanya warga suku Amungme di Lembah Tsinga dan Kampung Waa telah memberikan tanda palang atau tonggak kayu yang telah dipasang warga kala itu. Tonggak itu berbentuk silang atau tanda salib. Untuk membuka tanda palang itu, pihak perusahaan wakil pengawas Freeport John Curie mengontak Forbes Wilson melalui hubungan radio di Darwin, Australia. Forbes Wilson menyarankan agar John Currie menghubungi Moses KIlangin agar mau berbicara dengan warga di sana. Jonh Currie mengaku bahwa saat itu mereka mengajak guru Moses Kilangin untuk ikut serta mereka naik ke puncak dengan helicopter, guru Moses Kilangin semula menolak ajakan tersebut, tapi akhirnya ikut pula.
Moses KIlangin membenarkan bahwa tonggak tonggak larangan masih terpasang di sana dan bertemu dengan penghuni Kampung Waa dan Tsinga di wilayah Cartesnzweide. Guru Moses Kilangin saat itu sudah menjadi Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) di Akimuga, sedangkan Cosmas Kemong aktif sebagai anggota polisi di Kokonao, Distrik Mimika saat itu.
Menurut Theresia Pinimet istri polisi Kemong, bapak Cosmas Kemong juga ikut dalam pelepasan tonggak larangan bersama Guru Moses Kilangin kala itu. Hal ini dibenarkan pula oleh kepala kampung Banti dan tokoh Amungme Tuarek Narkime (alm) Niaki Narikme, Naimunki Narkime dan Namommiraki Jangma dalam data riwayat hidup Cosmas Kemong sewaktu masuknya Freeport Mac Moran ke wilayah Bumi Amungsa, 1967.
Selanjutnya kata mama Theresia Pinimet Kemong, bapak selanjutnya bergantian dengan Pontius Katagame mengawal dan mendampingin John Curie dalam ekspedisi kedua dan pengerjaan fasilitas tambang.
Bersama John Currie, polisi Cosmas Kemong mendampingi dan sekaligus berhadapan dengan masyarakatnya sendiri dan berkomunikasi tentang pentingnya mendukung membantu proyek tambang ini.
“Paling tidak kitorang bisa mendapat manfaat bisa turun ke pantai tanpa berjalan kaki selama sebulan,” begitulah yang diucapkan guna meyakinkan warga Amungme di Lembah Waa, Tsinga dan Arwanop.
Guru Moses Kilangin sudah menjadi Kepala Distrik Akimuga sehingga mereka meminta agar dua orang anggota polisi Amungme yang paham dan mengerti bahasa setempat agar bisa menjadi pendamping selama John Curie wakil pengawas dari Freeport bekerja di Lembah Tsinga base camp di Mulkini yang sekarang dikenal dengan nama Tembagapura. Begitupula dengan wilayah di Piyukate (Mile 74), Yelsegel Ongopsegel (Ersberg) serta Nasolanohoma (Dom Solo).
Ada satu pengalaman yang pernah dialami, anggota polisi Cosmas Kemong, suatu waktu John Currie menemukan kalau base camp di Tembagapua telah digerogoti dan ada barang yang hilang.
Terus terang hal ini jelas melawan aturan dan hukum karena termasuk kategori criminal. Namun polisi Cosmas Kemong melawan dan meminta agar jangan melakukan tindakan hukum bagi warganya karena jika melakukan tindakan dan proses hukum justru akan menyulitkan bagi kelanjutan proyek penambangan kala itu.
“Bahkan polisi Cosmas Kemong justru memilih proses negosiasi dan juga persuasive agar semua bisa berjalan lancar apalagi kalau tambang berhasil semua bisa menikmatinya. Apalagi gunung Erstberg merupakan tempat suci bagi mereka sehingga sangat gelisah dan resah jika tempat tinggal arwah nenek moyang mereka diganggu dengan aktivitas penambangan.”
Penunjukan anggota polisi Cosmas Kemong juga mendapat dukungan dari Komandan di Polsek Kokonao, komandan Renyaan di Kokonao. Hingga tak heran kalau polisi Kemong terus mendampingi John Currie bersama rekan rekannya di atas camp Tembagapura kala itu.
Selain itu anggota polisi Cosmas Kemong juga ikut pula mengawasi pembangunan lapangan terbang di Timika, yang sekarang dikenal dengan nama Bandara Moses Kilangin. Warga Amungme waktu itu masih tinggal di sekitar Bandara Timika dan bersama polisi Cosmas Kemong mereka bekerja untuk membangun landasan udara Timika. Karena setiap hari bekerja dengan sarapan pagi, siang hanya memakan daging dalam kaleng yang dikenal dengan sebutan Cornett.
Sehingga sejak itu masyarakat Amungme dan Kota Timika menyebut nama bandara itu lapangan terbang Cornett. Selanjutnya dikenal dengan sebutan nama Bandara Timika. Bandara Timika atau lapangan terbang Cornett ini dibangun PT Freeport pada 1970 untuk operasional perusahaan. Selanjutnya dinamakan Bandara Timika hingga pada 18 Juli 1978 bandara Timika diberikan nama Bandara Moses Kilangin, untuk mengenangnya sebagai perintis dan pembuka di Bumi Amungsa. (*)