Konflik bersenjata di Tanah Papua kian tereskalasi, khususnya di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Pegunungan Bintang, juga Maybrat. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB kian agresif menyerang TNI/Polri, antara lain karena makin banyaknya pasokan senjata dan peluru. Jubi dan Project Multatuli berkolaborasi menelusuri lekak-lekuk peredaran senjata api dan amunisi di Tanah Papua, juga kian panasnya konflik bersenjata di sana. Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari tiga laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Perdagangan senjata api dan amunisi di Papua serupa fenomena gunung es. Sejumlah kasus telah terjadi sepanjang tahun 2011 hingga kini, bahkan diduga kuat melebihi kasus yang dapat diungkap oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, dasar persoalan tidak pernah diselami oleh aparat penegak hukum atau pemerintah Indonesia. Konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan TPNPB-OPM terus meningkat terutama pascakasus Nduga pada Desember 2018, yang menyebabkan kebutuhan senjata api dan amunisi dari kelompok TPNPB-OPM ikut meningkat.
TPNPB-OPM sebagai sayap militer dengan pasukan yang militan, membutuhkan senjata untuk berperang dengan siapa saja yang dianggap bagian atau mendukung NKRI, terutama pihak TNI/Polri. Hal inilah yang kerap menimbulkan korban baik dari kedua belah pihak maupun masyarakat sipil.
Dikutip dari laporan tahunan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), sepanjang tahun 2019 setidaknya ada 6.000 sampai dengan 6.300 aparat keamanan khususnya saat merespons aksi antirasisme di Papua. Pada medio 2020-2021 ada lebih dari 21.000 aparat keamanan gabungan TNI dan Polri yang didatangkan di Papua, terkait persiapan dan penyelenggaraan PON XX.
Pada 2022 hingga semester pertama, diperkirakan lebih dari 3.000 aparat nonorganik tiba di Papua. Aparat keamanan ini difokuskan pada wilayah terpencil di mana interaksi antara masyarakat sipil setempat dengan aparat TNI/Polri (orang luar) adalah hal yang asing dan mengkhawatirkan.
“Perbedaan budaya dan minimnya pemahaman mengenai konteks Papua, memperburuk relasi antara aparat keamanan dengan masyarakat setempat. Meski ada perubahan kebijakan keamanan dari Operasi Nemangkawi menjadi Operasi Damai Cartenz di penghujung tahun 2021, namun tidak mengubah cara negara mendekati rakyatnya,” sesuai kutipan dari laporan AIDP.
Di waktu yang bersamaan, TPNPB-OPM mengalami peningkatan jumlah kelompok secara signifikan, dengan sistem komando yang menyebar di beberapa tempat. TPNPB-OPM dalam berbagai pemberitaan sering disebut pula dengan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), istilah ini pun berubah-ubah tergantung media massa dan narasumber berita.
Pascapenembakan terhadap Kabinda Papua pada 25 April 2021, Menkopolhukam menetapkan KKB (TPNPB) sebagai kelompok teroris tepat pada 29 April 2021. Label ini dinilai kurang tepat mengingat TPNPB merupakan sayap militer dari OPM dengan tujuan pembebasan Papua Barat.
Sejumlah wilayah yang menjadi tempat perdagangan senjata api dan amunisi di Papua yakni Nabire, Timika, Wamena, Jayapura, Biak, Serui, Merauke, Nduga, Pegunungan Bintang, Sorong, dan Manokwari.
Nabire menjadi tempat transaksi utama, hal ini dikarenakan permintaan senjata api dan amunisi yang tinggi di sekitar wilayah pegunungan, bertemu dengan banyaknya jaringan dan jalur yang tersedia, ditambah lagi fasilitasi pengaman di bandara dan pelabuhan yang tidak memadai.
“Argumentasinya yang pertama adalah pada beberapa kasus pelaku mengakui telah berulang kali melakukan transaksi, dengan melibatkan penyedia senjata api dan amunisi lebih dari satu orang. Kedua, jaringan transaksi yang ada sangat beragam mulai dari anggota TNI/Polri hingga masyarakat sipil di banyak tempat,” masih sesuai laporan AIDP.
Ketiga, jalur transaksi juga sangat beragam yakni darat, laut, dan udara dan ada di banyak tempat. Keempat, peristiwa kontak tembak, penyerangan atau penyergapan terhadap aparat TNI/Polri makin sering terjadi di banyak tempat, dengan durasi waktu yang cukup lama (berulang kali), artinya senjata api dan amunisi yang beredar masih sangat banyak.
Kelima, dikarenakan setiap kali proses hukum yang dilakukan hanya memproses pelaku di lapangan, sementara yang penyedia utama senjata api dan pemberi dana tidak diproses. Penyedia dan sumber dana ini bisa saja terus melakukan aksinya dengan mengubah strategi misalnya membangun jaringan dan jalur baru.
“Perlu dilakukan evaluasi internal dari pihak TNI mulai dari produksi hingga pengawasan senjata api dan amunisi, pemerintah dari instansi terkait perlu melakukan pengawasan terhadap wilayah-wilayah potensial di Tanah Papua. Begitupun aparat penegak hukum tidak hanya memproses hukum pelaku di lapangan, tetapi mengungkapkan jaringan perdagangan senjata api dan amunisi ilegal termasuk pemilik atau penyedia utama,” kata Direktur Eksekutif AIDP, Latifah Anum Siregar saat peluncuran laporan AlDP di awal Juli 2022.
Menurut Anum Siregar, dalam 10 tahun terakhir ada 14 tentara dan 6 polisi yang dipidana karena memperdagangkan senjata api dan amunisi secara ilegal di Papua. Laporan Aliansi Demokrasi untuk Papua itu hasil investigasi terhadap berbagai kasus perdagangan senjata api dan amunisi ilegal pada periode 2011 hingga 2021.
Laporan itu menyebut ada 51 orang yang dipidana karena memperdagangkan senjata api dan amunisi di Papua terdiri dari 14 tentara, enam polisi, empat anggota TPNPB, tiga aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan sisanya 24 warga sipil.
“Data berdasarkan putusan pengadilan itu ada 16 kasus, itu yang kami kutip untuk jadikan data pelaku yang diputus pengadilan. Tapi ada sebagian yang tidak teridentifikasi di pengadilan,” kata Anum Siregar.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM Papua, Gustaf Rudolf Kawer yang juga sebagai Direktur Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, yang biasa mendampingi para terdakwa perdagangan senjata mempertanyakan Standar Operasional Prosedur (SOP) terhadap pengawasan senjata dan amunisi juga dinilai tidak profesional. Menurutnya ada sejumlah kasus penjualan amunisi dengan mudahnya didapat, sedangkan secara aturan seorang anggota baik itu TNI maupun Polri dalam penggunaan amunisi sangat jelas jatah maupun penggunaannya.
“Contoh saja, seperti di kasus gudang Kodam yang mudah keluar, begitu juga di kasus Diego Rumaropen tidak terpantau keluar masuknya peluru. Seharusnya sesuai SOP terkontrol di internal aparat, namun nyatanya tidak,” kata Gustaf Kawer saat ditemui di Kota Jayapura, 11 Mei 2023.
Dari berbagai informasi yang didapati, pertukaran-pertukaran pasukan yang terjadi di Papua baik organik maupun nonorganik selama ini, seturut dengan suplai senjata dan amunisi yang tidak terkontrol. Hal ini yang membuat rentan terhadap bisnis jual beli.
“Mungkin ada modus yang tidak terlihat dari aparat juga soal kontra intelijen, supaya tahu soal gerakan Papua. Namun pertanyaannya, gerakan tidak berhenti dan bisnis jalan terus, berarti itu diragukan dan dominan adalah kepentingan bisnis,” katanya.
Pengerahan pasukan keamanan membuat maraknya perdagangan senjata
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Talenta Keadilan Papua (LBH-TKP) yang berdomisili di Nabire, Papua Tengah, Richardany Nawipa, mengungkapkan dari sejumlah kasus perdagangan senjata dan amunisi yang didampinginya, kebanyakan muncul dari niat sendiri tanpa ada paksaan. Selain karena faktor respons secara spontan yang dilakukan para perantara ketika mendapatkan tawaran, “tolong carikan pembeli senjata dan amunisi”, ia merasa ada sebagian terdakwa hanyalah sebagai umpan atau dijebak agar terlibat dalam bisnis ilegal tersebut.
“Ada yang dijadikan Daftar Pencarian Orang (DPO) dari kasus yang sebelumnya ditangani penyidik, ada pula yang kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) di lapangan,” katanya.
Menurutnya, beberapa daerah konflik yang akses lautnya ada di Nabire yakni Intan Jaya, Puncak, dan Puncak Jaya. Meski kini laporan kasus perdagangan senjata mulai berkurang khususnya di wilayah Papua Tengah, namun masih saja ada pihak yang sengaja mengembuskan itu.
“Memang di Nabire perdagangan senjata dan amunisi ada, tetapi penggunanya di Intan Jaya yang melibatkan perantara. Apalagi pasukan nonorganik berkembang banyak sekali, dan itu salah satu pemicu maraknya perdagangan,” ujarnya.
Dari pandangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, pengerahan pasukan dan adanya operasi militer di Papua selama ini, dianggap ilegal karena dalam praktiknya tidak sesuai mekanisme sebagaimana yang diatur pada bagian pengerahan pasukan dalam Pasal 17, 18, 19 dan 20 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam ketentuan itu menyebutkan, bahwa operasi militer atau pengerahan pasukan yang akan dilakukan wajib ada suatu keputusan presiden.
Keputusan presiden itu harus berdasarkan rekomendasi DPR RI. Kemudian, apabila dalam kondisi mendesak, maka presiden harus menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) dalam 2×24 jam dan berkoordinasi dengan DPR untuk menerima rekomendasi.
“Baik dalam kondisi mendesak atau pun tidak, jika dalam rekomendasi DPR menolak berarti harus dicabut operasi itu, lalu jika DPR menerima ya harus ada,” kata Koordinator Koalisi Hukum dan HAM Tanah Papua, Emanuel Gobay, yang juga Direktur LBH Papua.
Sementara itu, jika dilihat faktanya sejak 2004 sampai saat ini tidak ada Kepres dan rekomendasi DPR RI yang dikeluarkan, untuk salah satu operasi militer atau pengerahan pasukan di Papua. Khususnya dalam operasi penyelamatan pilot Susi Air yang kemudian diubah menjadi Operasi Siaga Tempur, juga tidak ada rekomendasi dari DPR RI.
Padahal menurutnya, hal itu wajib diumumkan secara transparan karena berkaitan dengan HAM. Tujuan adanya Kepres dalam menetapkan sebuah operasi militer, untuk melindungi HAM warga negara di daerah konflik.
“Bukti adanya pengungsi sudah membuktikan adanya pelanggaran hak-hak masyarakat dalam wilayah konflik. Ini kalau kemudian saya ambil kesimpulan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, dimana ada masyarakat yang kemudian melarikan diri atau mengungsi,” katanya.
Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua, Frits Ramandey mengemukakan pandangannya mengenai konflik bersenjata yang semakin masif terjadi, diawali ketika pemerintah menyebut TPNPB-OPM menjadi organisasi teroris. Menurutnya, Komnas HAM satu-satunya yang menolak atas pemberian label dari pemerintah tersebut.
Pasalnya, jauh sebelum statement itu disampaikan, OPM sudah ada jauh sebelumnya sedangkan sekarang ini gerakannya lebih luas. Kelompok yang saat ini semakin menunjukkan eksistensinya adalah kelompok muda yang mengambil alih kelompok tua, dan mereka terdidik serta memiliki jaringan yang masif.
Ramandey mengatakan kenapa hingga kini gerakan TPNPB semakin masif, hal itu dikarenakan perjuangan TPNPB-OPM menjadi modern, dalam menunjukkan eksistensi bahwa ada masalah yang belum terselesaikan. Sehingga jalan yang dipilih ialah perjuangan politik, sekaligus perjuangan sipil bersenjata.
“Cara penyelesaiannya bagaimana? Harus ada kesediaan para pihak untuk berdialog. Perundingan maupun dialog soal terminologi. Dengan banyaknya korban, maka PBB akan menggunakan mekanisme intervensi dan tidak mungkin hanya isu HAM, maka mekanisme referendum itu tidak terelakkan bisa saja terjadi,” katanya.
Ia beranggapan pendekatan yang perlu dibangun tentu berangkat dari beberapa mekanisme penyelesaian konflik di berbagai daerah. Ia mengambil contoh, dulu di Papua ada metode yang dinamakan tim 100. Dalam penyelesaian konflik sekarang ini, sudah dipetakan ada dalam konteks faksi bersenjata ada beberapa faksi, paling tidak bagaimana mendorong faksi-faksi ini memutuskan bicara bersama-sama.
Dalam konteks penyanderaan pilot Susi Air saat ini misalnya, Egianus Kogoya satu-satunya yang menjadi kunci dan dia juga harus bersedia menunjuk siapa yang dipercaya. Orang yang dipercayakan oleh Egianus Kogota ini tidak boleh dirongrong oleh negara, harus diberi akses kebebasan berkomunikasi dalam rangka menyelesaikan konflik.
Sebenarnya pemerintah pusat dapat mengambil pelajaran dari perjanjian Helsinki dan Malino, bahkan bisa belajar dari kegagalan tim 100 yang telah melahirkan Otonomi Khusus. Ia menjelaskan, ada dua keberhasilan di luar Papua, ada pula kegagalan di Papua. Sehingga presiden perlu membentuk tim untuk melakukan studi terhadap keberhasilan yang sudah ada, dan juga kegagalan yang ada.
“Kita punya tim 100, dan itu sukses bisa mengumpulkan 100 orang mewakili 28 kabupaten di Papua waktu itu, tetapi hasilnya lahirnya Undang-Undang Otonomi Khusus kemudian menjadi gagal. Kenapa gagal? Karena di era Otonomi Khusus itulah menyuburkan kekerasan bersenjata dan konflik semakin luas,” katanya.
Padahal sebelum adanya Otsus, Papua hanya ada satu opsi yaitu Organisasi Papua Merdeka, dimana sayap militernya waktu itu tidak terlalu eksis. “Tetapi di era Otsus justru kelompok sipil bersenjata lebih eksis, itu artinya ada yang gagal di konsep penerapan praktik UU Otsus untuk menyelesaikan konflik, karena kita membikin pembangunan sebagus apa pun, tetapi jika konfliknya tidak selesai maka pemerintah akan terus dirongrong. Jadi sebenarnya kita sudah punya metode yang bisa digunakan untuk dijadikan sebagai pelajaran,” katanya.
Dasar persoalan tak diselami
Pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini terhadap Tanah Papua masih sering dikatakan keliru. Dikarenakan berbagai macam tanggapan mengenai esensi maupun dasar persoalan konflik yang terjadi di Papua tidak pernah digali atau disentuh pemerintah.
Pada September 2020, pemerintah pusat telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, bersamaan juga terbit Kepres Nomor 20 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia. Justru hal tersebut hingga kini belum mampu menyelesaikan persoalan yang ada di Papua, dimana setiap tahun kekerasan demi kekerasan masih sering terjadi, baik yang menimpa masyarakat sipil maupun aparat TNI dan Polri.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua yang juga pemerhati HAM di Papua, Theo Hesegem, menyebut kekerasan bersenjata di Papua membutuhkan dialog dan pendekatan. Tetapi keinginan pemerintah pusat malah melalui pendekatan persuasif, kesejahteraan, dan pembangunan.
“Sedangkan orang Papua tidak pernah menuntut itu. Wakil presiden sampaikan bahwa pendekatan di Papua adalah kesejahteraan, hal itu justru dianggap tidak jelas,” katanya.
Ia mencontohkan kelompok TPNPB-OPM pimpinan Egianus Kogoya dianggap tidak cocok jika dilakukan pendekatan kesejahteraan, menyoal apakah mereka itu menuntut soal makan dan minum atau menuntut soal nasib sendiri. Sehingga harus dibedakan persoalan.
Kalau Egianus Kogoya menuntut bebas dari NKRI, berarti mekanisme dan metode pendekatannya harus berbeda terhadap TPNPB-OPM, karena mereka adalah kelompok yang diduga garis keras.
“Kalau mau lakukan dengan pendekatan kesejahteraan pasti susah, kecuali mereka mau menerima niatan dari pemerintah pusat,” katanya.
Sejak 2018 pascapembunuhan karyawan PT Istaka Karya, sampai hari ini eskalasi kekerasan di Papua terus meningkat. Dan puncaknya Egianus Kogoya melakukan penyanderaan terhadap Pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru. Penyanderaan ini menurut kelompok Egianus merupakan tawar menawar politik, bukan soal ekonomi dan kesejahteraan.
“Saya nilai pemerintah sudah tidak mampu lagi untuk melakukan pendekatan dengan Egianus Kogoya, untuk pembebasan pilot. Apalagi pasukan yang dikirim dibatasi dengan medan yang sulit,” ujarnya.
Untuk itu, ia menilai sudah saatnya pemerintah Indonesia mengevaluasi total mengenai penanganan keamanan di Papua, baik itu mengenai pengiriman pasukan, aparat yang menjual amunisi dan senjata, juga mengenai beberapa anggota TNI yang melarikan diri dan kini memilih bergabung dengan TPNPB. “Operasi penegakan hukum saat ini tidak berhasil, justru semacam operasi militer dan kemudian masyarakat sipil banyak yang menjadi korban,” katanya.
Selama ini TPNPB terus bergerilya dan mereka belum dirangkul sebagai warga negara Indonesia. Maka TPNPB masih akan menciptakan konflik, kecuali jika ada pengakuan dari TPNPB bahwa mereka adalah bagian dari warga NKRI, baru mungkin Papua akan aman.
Apalagi, kata dia, dengan adanya pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB), maka akan muncul pula Kodam baru, Polda baru, serta perangkatnya hingga ke distrik-distrik dan itu akan menjadi lahan TPNPB, untuk melakukan operasi atau perlawanan sehingga membuat mereka akan semakin kuat dan lebih riskan.
“Untuk itu perlu evaluasi total dan dialog oleh pihak ketiga yang bisa memfasilitasi ini. Kalau pasukan dikirim terus, ke depan Papua tidak akan aman, apalagi pendekatan yang dilakukan selama ini masih keliru. Lebih bagus dialog seperti Aceh, masa di Papua tidak bisa dilakukan,” katanya.
Tak jauh berbeda yang disampaikan Yance Tenoye, salah seorang advokat yang beberapa kali mendampingi kasus makar atau pasal Undang-Undang Darurat di Papua, bahwa persoalan kekerasan di Papua hingga kini merupakan bawaan sejak zaman orde baru.
Hal itu menurutnya sesuai dari pernyataan-pernyataan klien yang didampingi selama ini, dimana jika ditarik dari sejarah bahwa semangat nasionalisme Papua mulai terbangun sejak zaman Belanda dan setelah banyaknya operasi-operasi militer yang dilakukan sejak dulu.
Ketika memasuki zaman reformasi, mulai bermunculan pergerakan-pergerakan tentang nasionalisme Papua, dengan hadirnya berbagai organisasi mulai dari Dewan Presedium Papua, Dewan Adat Papua, OPM, ULMWP, KNPB sebagai media hingga TPNPB.
“Sejak Otsus muncul di Tanah Papua, lalu pemerintah pusat punya kebijakan bahwa desa diberikan dana, akhirnya tidak bisa disangkal bahwa itu memberi peluang untuk masyarakat mengumpulkan pundi-pundi uang,” katanya.
Hingga kini, bagi orang Papua masih ada luka yang menganga sejak zaman dulu, dan semuanya bukan soal kesejahteraan atau makan-minum. Persoalan Papua bukan mengenai pendekatan makan-minum, maupun hal lainnya.
“Berdasarkan pengalaman saya, dari berbagai cerita klien menyebutkan jika militer tambah banyak justru mereka lebih senang. Soal transaksi itu tergantung kesempatan. Justru semakin senang untuk baku hajar,” katanya. (*)
Tim Kolaborasi Peliputan Project Multatuli dan Jubi