Konflik bersenjata di Tanah Papua kian tereskalasi, khususnya di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Pegunungan Bintang, juga Maybrat. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB kian agresif menyerang TNI/Polri, antara lain karena makin banyaknya pasokan senjata dan peluru. Jubi dan Project Multatuli berkolaborasi menelusuri lekak-lekuk peredaran senjata api dan amunisi di Tanah Papua, juga kian panasnya konflik bersenjata di sana. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Perdagangan senjata di Papua tidak hanya sebatas peran para perantara, namun transaksi lainnya di luar Tanah Papua. Misalnya penyelundupan senjata api ke wilayah Papua melalui luar negeri, seperti dari Papua Nugini dan Filipina, meski kasus yang muncul tidak cukup signifikan.
Anton Gobay yang berprofesi sebagai seorang pilot pernah ditangkap kepolisian Filipina pada 7 Januari 2023, karena membeli sejumlah senjata api di negara tersebut. Ia dibekuk bersama dua rekannya yang merupakan warga negara Filipina, yang kini masih mendekam di penjara di Filipina.
Dalam pemberitaan Jubi, 15 Januari 2023, Anton Gobay mengatakan atas sumpah dan janji demi pembebasan rakyat dan bangsa Papua Barat, demi pembebasan tanah air West Papua, serta mematuhi aturan West Papua Army (Tentara Papua Barat) dan di bawah perintah Panglima West Papua Army (Tentara Papua Barat), Jenderal Damianus R.R. Magai Yogi, ia rela dipenjara.
“Benar bahwa status saya seorang pilot. Saya mengorbankan segalanya untuk Papua Barat,” katanya, dalam sebuah potongan video yang diterima Jubi, Minggu (15/1/2023) malam.
Selain seorang pilot, Anton Gobay mengungkapkan posisinya dalam struktur West Papua Army di bawah komando Jenderal Damianus R.R. Magai Yogi yang bermarkas di Totiyo, Papua Barat.
“Saya yang berposisi sebagai staf Angkatan Udara dari Panglima Tertinggi Tentara Papua Barat, Jenderal Damianus RR Magai Yogi. Saya bekerja ini sesuai amanah organisasi. Kemudian secara organisasi siapa yang merekomendasi untuk kerja barang bahaya ini,” katanya.
Gobay mengatakan atas tindakannya itu, ia didakwa melanggar Pasal 10591 tentang kepemilikan senjata api tanpa memiliki surat resmi.
“Saat ini saya berada di Kepolisian Kiamba, Filipina, dan saya telah mendaftarkan diri dan akan mengikut proses hukum di Filipina,” ujarnya.
Data dari Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, ada berbagai kasus yang berkaitan dengan transaksi jual beli senjata dan amunisi, yang melibatkan masyarakat sipil sebagai perantara. Dari pendampingan yang dilakukan PAHAM Papua sejak 2015, sebagian besar amunisi dengan senjata justru dari TNI dan Polisi. Seperti pada kasus yang menjerat Royes Wenda yang merupakan pendamping dana Respek, serta Alberto Jikwa dan Freddy Kogoya yang didakwa Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api dan amunisi.
Ketiganya telah menerima putusan berbeda, Royes Wenda divonis 2 tahun penjara, sedangkan Albertho Jikwa dan Freddy Kogoya divonis masing-masing 1 tahun 8 bulan penjara. Adapun indikasi keterlibatan anggota TNI dan Polri, yakni para terdakwa itu ditangkap pada 28 Januari 2015, saat melakukan transaksi jual beli amunisi dengan Supriadi seorang anggota TNI dari Kodam XVII/Cenderawasih.
Transaksi amunisi para terdakwa dari Supriyadi dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama pada 25 Januari 2015 dengan amunisi kaliber 5.56 mm 4 TJ sejumlah 500 butir, dengan total uang Rp 11.250.000 yang saat itu baru dibayarkan sebesar Rp 8.000.000 dan lokasi transaksi di Taman Imbi, Kota Jayapura. Pada 28 Januari 2015, dilakukan penyerahan amunisi yang kedua sebanyak 300 butir di PTC Entrop dan sisa dari amunisi ini belum dibayar oleh para terdakwa, karena para terdakwa dan penjual telah ditangkap tim gabungan TNI/Polri.
Supriyadi telah diproses hukum di peradilan militer dan telah menjalani hukumannya. Namun tidak ada informasi pasti berapa lama dan apa hukuman yang diterimanya. Diduga, atasannya pun ikut terlibat namun tidak diproses hukum.
“Di belakang Supriyadi tidak terungkap siapa, yang bersangkutan hanya butuh uang sehingga jual amunisi. Namun saya pikir, tidak mungkin jika [barang] keluar dari gudang senjata dan amunisi, sampai yang lainnya tidak tahu,” kata Direktur Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer saat ditemui di Jayapura 11 Mei 2023.
Menurut Kawer, dalam kasus yang dialami Royes itu, ada penghubung dengan anggota TNI tersebut atau sebagai perantara. Akan tetapi dalam prosesnya, polisi terkesan tahu namun tidak pernah ingin membukanya atau memproses siapa perantara itu, yang diduga merupakan warga sipil di salah satu kabupaten di Papua Pegunungan.
Pada 2018, PAHAM Papua menangani juga kasus yang menimpa Titus Kwalik, Polce Tsugumol, dan Julianus Deime dengan dakwaan yang sama tentang kepemilikan senjata api dan amunisi Jo.55 ayat (1) ke-1 a KUHP yang telah divonis masing-masing dua tahun penjara. Indikasi keterlibatan oknum TNI dan Polri yakni terdakwa Titus Kwalik, Polce Tsugumol, dan Julianus Deikme ditangkap pada 9 Juni 2018 di Timika berkaitan dengan kepemilikan 160 butir amunisi dengan harga Rp 16.000.000. Menurut pengakuan Titus Kwalik amunisi tersebut didapat dari salah seorang pensiunan TNI yang bernama Yehuda, namun ketika polisi memeriksa kasus, seolah tidak pernah proaktif mencari pensiunan TNI itu.
Begitu pun yang dialami Isai Wilil yang divonis 4 tahun penjara dan Alex Wayage yang divonis 1 tahun 6 bulan, oleh Pengadilan Negeri Wamena. Isai Wilil dan Aleks Wayage ditangkap 26 Agustus 2018 pukul 19.30 WP di Kampung Hohik, Distrik Elelim, Kabupaten Yalimo, berkaitan dengan dengan kepemilikan amunisi sebanyak 139 butir. Menurut pengakuan Isal Wilil dia membeli amunisi ini karena ditawari oleh anggota polisi bernama MAX.
Selanjutnya Isai menyerahkan dana sebesar Rp 5.000.000 untuk pembelian amunisi, dan amunisi itu diserahkan oleh anggota polisi bertempat di Wamena. Isai Wilil memberikan sisa pembayaran seharga Rp 3.800.000, akan tetapi polisi itu tidak diproses hukum.
Ada pula kasus yang menjerat Ruben Wakla, yang didakwa tentang kepemilikan senjata api dan amunisi. Ia divonis 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Timika. Ruben Wakla ditangkap pada 10 September 2018 pukul 10.06 WP di Bandara Udara Moses Kilangin Timika, karena membawa 155 butir amunisi.
Hasil pemeriksaan saksi dalam kasus yang merupakan pengembangan dari kasus ini, yakni kasus Yakonias Womsiwor dan Eriks Mandobar, saksi dari kepolisian atas nama Ahmad Dahlan dan saksi atas nama Arnolis Korowa menerangkan amunisi tersebut milik salah satu anggota TNI dari Kodim Mimika, namun TNI pemasok amunisi tidak diproses hukum.
Selain itu, ada Yakonias Womsiwor divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan Eriks Mandobar divonis 1 tahun 3 bulan penjara, dengan dakwaan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam.
Yakonias Womsiwor dan Eriks Mandobar pada 15 September 2018 di Timika ditangkap berkaitan dengan kepemilikan senjata tajam, tetapi kasus ini awalnya merupakan pengembangan dari kasus Ruben Wakla.
Dalam penangkapan terhadap Ruben Wakla, yang bersangkutan mengatakan dia menaruh amunisi dan senjata api di Sekretariat KNPB Mimika.
Atas dasar pengakuan yang bersangkutan, aparat TNI/Polri melakukan operasi gabungan dan menemukan senjata api dan amunisi berupa 1 buah senjata rakitan, 94 butir peluruh kaliber 5,56, dan 1 butir peluru kaliber 7,56, 6 botol bir bintang warna hijau rakitan, 2 botol topi miring warna putih rakitan. Kasus tersebut tidak dilanjutkan karena pemilik amunisi adalah anggota TNI Kodim Mimika, sesuai pengakuan saksi polisi dalam pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri Mimika.
Kasus terakhir ada nama Yanto Awerkion divonis 3 tahun penjara, Meki Nabelau divonis 2 tahun penjara, dan Botak Kogoya divonis 1 tahun penjara. Yanto Awerkion ditangkap pada 23 September 2022. Ia mendapat amunisi sebanyak 95 butir dari salah satu anggota Polres Timika atas nama Viktor Tokoro, dan dijual seharga Rp 19 juta kepada Meki Nabilau dan Botak Kogoya.
“Tidak semua yang kita dampingi ini begitu jelas sumber dananya, atau pun punya korelasi dengan dana desa seperti yang banyak dituduhkan selama ini,” kata Gustaf Kawer.
Dari berbagai kasus itu, kata Kawer, dalam proses penyelidikan, penyidikan, hingga putusan yang menjadi pertanyaan ialah aktor yang jadi pemasok, perantara, dan donaturnya. Mereka ini yang tidak pernah diungkap dan dicari oleh penyidik kepolisian.
“Di persidangan juga kita minta untuk hakimnya kalau bisa proaktif untuk gali dengan memerintah jaksa untuk ungkap, namun tidak dilakukan, hanya formalitas saja lalu kemudian vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa tidak berat,” katanya.
Meskipun memang dalam membantu klien kepentingan kuasa hukum minimal hukuman yang diterima seringan mungkin, tetapi d itingkat aparat penegak hukum tidak terbaca keseriusan bagaimana aktornya bisa diungkap. Jika dilihat dari peredaran uang untuk membeli senjata dan amunisi, memang hingga sekarang banyak yang tidak dijelaskan secara rinci, sehingga kenapa mereka mampu membeli senjata dan amunisi dengan harga yang beragam.
Sedangkan dikutip dari laporan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) yang telah meluncurkan laporan investigasi perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua pada awal Juli 2022 di Kota Jayapura, menyebutkan pihak yang terlibat dan bentuk keterlibatan, mengungkapkan motif dan sumber dana dari transaksi senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua serta prosedur hukum.
Laporan dengan 74 halaman itu merupakan hasil investigasi rentang waktu 2011-2021 dilakukan di Jayapura, Wamena, dan Nabire. Ia mengatakan laporan investigasi ini memakai sumber data dari putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan militer dan pemberitaan di media massa. Selain itu juga dengan melakukan wawancara terhadap Komnas HAM, Polda Papua, pelaku, terpidana, terdakwa, dan pengacara yang menangani kasus perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua.
Direktur Eksekutif Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AIDP, Latifah Anum Siregar mengatakan jaringan perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua sangat kuat. Banyak perkara perdagangan senjata api/amunisi ilegal yang telah diputus pengadilan, akan tetapi para pemasok besar dan penyandang dana dalam perdagangan ilegal itu tidak tersentuh proses hukum.
“Jaringanya berlapis-lapis. Bahkan, dalam satu kasus perdagangan senjata, perantaranya lebih dari tiga orang. Jadi, antara yang membayarkan, yang memberikan uang, dan yang membutuhkan senjata yang dibeli itu jaringannya masih jauh dan panjang,” ujarnya.
Perdagangan senjata api dan amunisi ilegal bukan saja terjadi dari luar negara Indonesia, akan tetapi juga merupakan hasil transaksi dalam negeri yang melibatkan sejumlah oknum TNI dan Polri terutama sebagai penyedia senjata api laras panjang. Hal ini dikarenakan permintaan senjata api laras panjang lebih tinggi daripada senjata api laras pendek.
Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa peredaran senjata api laras pendek ilegal cukup banyak beredar di kota-kota di Papua yang digunakan oknum tertentu dengan alasan untuk jaga diri. Namun penanganannya tidak seserius ketika transaksi senjata api yang diindikasikan ada hubungannya dengan kelompok bersenjata yakni TPNPB OPM.
Banyaknya senjata api laras pendek yang beredar di Papua, dapat dilihat pada data yang dimiliki Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Papua. Diketahui, saat ini ada sekitar 500-an senjata ilegal jenis Air Soft Gun beredar di Papua. Ketua Perbakin Papua, John Banua Rouw mengatakan Perbakin punya izin dan senjata itu digunakan untuk olahraga.
Di Pegunungan Tengah senjata ilegal lebih banyak dibanding Jayapura. Diketahui kurang lebih 60 senpi termasuk Air Soft Gun tanpa izin yang beredar tetapi belum memiliki data terkait jumlah senpi. Di Papua sendiri yang memiliki izin dari Pengda Perbakin dan Polda Papua tidak sampai 100, tetapi senjata jenis Air Soft Gun yang beredar hampir 500-an.
Pada laporan tahunan AlDP tahun 2019 menunjukkan sepanjang 2019 setidaknya ada 6.000 sampai dengan 6.300 aparat keamanan. Khususnya saat merespon aksi anti rasisme di Papua atau di tahun 2020-2021 terkait persiapan dan penyelenggaraan PON XX, ada lebih dari 21 ribu aparat keamanan gabungan TNI dan Polri. Pada 2022 hingga semester pertama Juni, diperkirakan lebih dari 3.000 aparat non organik telah didatangkan ke Papua.
Makin beragam, makin mahal
Awalnya senjata api hanya dimiliki oleh TNI dan Polri yang bertugas di Papua. Adapun TPNPB selalu menggunakan alat tradisional sebagai senjata tajam misalnya parang, panah, dan kampak saat melakukan penyerangan ke markas (pos) aparat keamanan.
Kemudian senjata yang paling populer adalah moser, steyr dan dooble loop. Namun seiring dengan meningkatnya konflik bersenjata, berbagai senjata api telah masuk ke Papua. Masuknya berbagai jenis senjata api seperti M16, M4, SS1 V1, GLM dan lainnya dimulai pada 2015.
Jenis senjata api yang beredar di Papua khususnya berasal dari luar negeri yang diketahui digunakan oleh TPNPB antara lain AK-47 dan AK-74, senapan mesin PKM Rusia, Steyr AUG, M-16 America, M4, Pistol Glock, Colt US Army dan senjata laras pendek lainnya. Sedangkan senjata produksi Indonesia yaitu SS1 dan SS2 V2-PT. PINDAD.
AlDP pun mengeluarkan laporannya mengenai motif perdagangan senjata api dan amunisi ilegal yang mudah ‘ditangkap’ yakni untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi (uang). Keuntungannya sekitar 50 hingga 100 persen dengan nilai uang puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Untuk amunisi rata-rata dijual dengan harga Rp 100.000-Rp 150.000/butir atau Rp 5 juta-7,5 juta rupiah/magasin yang berisi 50 butir. Namun pada saat tertentu, amunisi dapat dijual seharga Rp 250.000-Rp 500.00/butir, jika pembeli membutuhkan cepat. Sebagai perbandingan, di lapangan Latihan tembak Perbakin, amunisi dijual dengan harga Rp 10.000.
Senjata api ini harganya pun bervariasi. Tidak ada patokan harga yang pasti. Dimana harga sejumlah senjata api berkisar untuk laras panjang M16 dihargakan Rp 90 juta dari tangan pertama, di perantara harganya sekitar Rp 170 juta tetapi pembeli dapat mengeluarkan dana Rp 300 juta-Rp 330 juta/satuan.
Senjata laras panjang M4 dilabeli harga Rp 95 juta dari tangan pertama, di perantara harganya berkisar antara Rp 150 juta-Rp 180 juta. Tetapi pembeli dapat mengluarkan uang Rp 200 juta-Rp 300 juta. Sedangkan untuk senjata laras pendek harganya Rp 15 juta dari tangan pertama, dan dari perantara dihargai Rp 30 juta tetapi pembeli dapat mengeluarkan dana hingga Rp 80 juta-Rp 100 juta. (*)
Tim Kolaborasi Peliputan Project Multatuli dan Jubi