Yogyakarta, Jubi – … Panggil saja namaku Papua/ Aku adalah anak zaman yang tidak ingin punah termakan zaman/… aku takut. Sungguh takut! bila aku dan kaumku punah/ lenyap termakan zaman/saat ini saja tubuhku penuh luka/ luka yang aku warisi dari orang tuaku…/ Karena nikel di kepalaku maka Kawei terluka, karena gas di leherku maka Sumuri terluka/ karena punggungku dinilai strategis maka Abrauw di Saukobye kehilangan ruang hidup/ karena mineral di dadaku maka Amungme terluka/ karena emas di perutku maka Moni hidup dalam kegelisahan bahkan bayang-bayang kematian/ dan kakiku penuh dengan sawit, Awyu menangis…/andaikan kau di sini…/Andai kau menjadi aku, menjadi kami…
Kata-kata itu dikumandangkan lantang oleh sosok lelaki berambut gimbal dan bertelanjang dada, di salah satu ruangan Jogja National Museum (JNM), Wirobrajan, Yogyakarta, tempat diselenggarakannya Art Jog 2023; salah festival seni rupa tersohor di planet bumi.
Pertunjukan itu berlangsung di hadapan puluhan pasang mata pengunjung, Kamis sore, 20 Juli 2023. Tak seperti lazimnya pertunjukan teater, para penonton boleh suka-suka pindah tempat.
Suasana lantas menjurus pilu. Kalimat-kalimat itu berpilin-pilin dengan iringan hymne berbahasa Biak yang ditimpa sengau Kaido, alat musik mulut milik suku Mee yang dimainkan oleh seniman Andre Takimai.
Habis itu, Andre tiba-tiba jatuh dan meraung panjang. Dia lumurkan lumpur di sekujur tubuhnya. Raungan itu, adalah ratapan duka seorang ibu, di hadapan jenazah anaknya yang tewas pada peristiwa Paniai Berdarah, 8 Desember 2014 silam.
“Anak, kenapa ko datang ke sini, ko tidak punya apa-apa, jadinya ko dapat tembak,” kata-kata dalam bahasa Mee itu terus meraung berulang.
Mulut pengunjung terkunci. Hanya mata terpana. Berkaca-kaca. Pertunjukan setengah jam itu jadi bagian dari rangkaian instalasi seni rupa karya Dicky Takndare & The Sampari. Ini salah satu karya yang menonjol di perhelatan Art Jog.
Rangkaian karya yang diberi judul “ Aaaah” itu merupakan karya kolektif sekaligus partisipatif. Proyek gotong royong ini, tidak hanya melibatkan seniman, tapi juga tahanan politik Papua.
Dalam proyek ini, Dicky membebaskan kawan-kawannya yang dia namakan “The Sampari (Bintang Kejora) untuk menafsir arti “Kebebasan”.
Hasilnya, lahir sejumlah karya patung dengan pose-pose mencekam. Wajah-wajah yang menutup mata. Tubuh-tubuh invalid. Patung potongan tangan dan kaki, manusia-manusia tak utuh dengan berbagai pose. Ada juga rangkaian mural sedinding penuh orang-orang mengepalkan tangan.
Lalu ada monumen patung terbesar yang menjadi pusat; laki-laki dengan belikat otot sedada, berteriak mengangkat kedua lengan setelah berhasil memutuskan tali rantai yang mencengkeram tangannya. Separuh badannya adalah rangkaian besi yang mengesankan jeruji penjara. Ada juga karya drawing dan lukis, tergolek di sela-sela karya instalasi.
Dicky membuat ulang patung besar itu, merujuk pada monumen “Pembebasan Irian Barat” karya pematung Edhi Sunarso semasa kekuasaan Presiden Soekarno.
Patung berbahan perunggu itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1963. Hingga sekarang masih berdiri kokoh di Lapangan Banteng, di Ibu Kota Jakarta.
Dalam ulasan kuratorial tim Art Jog yang diampu Nadiah Bamadhaj dan Hendro Wiyanto disebutkan, monumen bagi Dicky adalah konstruksi politis, dibangun oleh mereka yang menang atau bertujuan untuk menang. Ingatan mengalami reduksi melalui monumen, karena itulah generasi berikut akan membangun monumen-monumen lagi ketika monumen gagal menghadirkan memori di ruang publik.
Dicky menulis catatan, monumen tidak dihancurkan, tapi direkonstruksi, makna dan narasinya dimaknai ulang, dan yang menentukan hal itu adalah subjek-subjek elemen partisipatif yang aktif dalam mengonstruksi ide dan bentuk karya.
Dicky melakukan penelitian dengan melakukan wawancara dengan sejumlah narapidana tahanan politik dan kejahatan ringan di Papua Barat melalui penasihat hukum mereka.
Ini adalah suara partisipatif yang akan bergaung di luar meski tubuh mereka berada berada di dalam penjara. Sosok-sosok tersebut, dikonstruksi secara sangat simbolik dan terkesan centang-perenang melebur ke dalam bentuk besi-besi metalik yang menggambarkan struktur penjara.
Dicky secara efektif telah “meretas” monumen ini untuk mempertanyakan apakah orang Papua di masa kini benar-benar bebas. Realitasnya, banyak orang yang justru menjadi tahanan politik ketika menunjukkan aspirasinya untuk merdeka dari Indonesia.
Para seniman yang terlibat dalam proyek seni ini antara lain Albertho Wanma, Irto Mamoribo, Nelson Natkime, Betty Adii, Maximus Sedik, Yanto Gombo, Markus Rumbino, dan Wok The Rock.
Ada nama Yosias Motte, seorang tahanan politik Papua yang turut berkontribusi dengan karya lukis yang dibuatnya dari dalam penjara.
Sedangkan seniman yang berpartisipasi dalam pertunjukan antara lain Glen Rifurareany Neysel Mambraku, Wasti Bukorpioper, Trance Dimara, Anna Mansnembra, dan Andre Takimai.
Dalam diskusi “Meet the artist” usai pertunjukan, Dicky mengatakan, jika pada umumnya monumen diciptakan untuk menyimpan memori atas sesuatu di masa lalu, maka monumen yang mereka bangun dalam pameran itu, bercerita tentang masa depan.
“Ini monumen yang dibangun dari bawah ke atas, melihat masa depan Papua,” ujarnya. (*)