Jayapura, Jubi –ย Koordinator Koalisi Hukum dan Hak Asasi Manusia Tanah Papua, Emanuel Gobay menyatakan ekspresi melawan diskriminasi rasial atau rasisme terhadap Orang Asli Papua bukanlah tindakan makar. Hal itu dinyatakan Gobay selaku pembicara dalam gelar wicara โRasisme, Kriminalisasi Viktor Yeimo dan Penyelesaian Konflik di Papuaโ yang diselenggarakan Redaksi Jubi secara daring pada Sabtu (15/4/2023).
Gobay menyatakan delik makar yang didakwakan kepada Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat Viktor Yeimo berawal dari unjuk rasa untuk memprotes ujaran rasial kepada mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019. Ia menyatakan unjuk rasa yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019 sesungguhnya merupakan dorongan publik menuntut pemerintah menjalankan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Akan tetapi, demonstrasi untuk memprotes ujaran rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya itu justru berdampak negatif bagi Viktor Yeimo yang lantas diadili di Pengadilan Negeri Jayapura sebagai terdakwa makar sebagaimana ketentuan Pasal 106 KUHP. “Itu sesuatu yang aneh bin ajaib, dari anti rasisme berubah menjadi makar. Sementara definisi kedua katanya sudah sangat berbeda ibarat langit dan bumi. Lalu dipersamakan oleh aparat penegak hukum di Papua,” ujar Gobay.
Selaku penasehat hukum Yeimo, Gobay menyoroti persidangan perkara makar Yeimo di Pengadilan Negeri Jayapura, ketika Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi ahli dari Universitas Gadjah Mada, Dr Aprinus Salam MHum. Dalam persidangan itu, Aprinus menyatakan kata โmakarโ dan โrasismeโ memiliki pengertian yang berbeda dan tidak saling berkaitan.
“Hal itu, [kriminalisasi demonstrasi anti rasisme sebagai perbuatan makar] justru sudah terjadi. Itu yang kami sebut kekonyolan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Papua,” kata Gobay.
Menurut Gobay, berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan perkara makar Yeimo justru menunjukkan tiga institusi penegak hukum di Papua tidak profesional dalam bekerja. Gobay mempertanyakan polisi yang menangkap aktivis seperti Viktor Yeimo, dan menjadikannya tersangka makar atas dasar keikutsertaan dalam demonstrasi memprotes rasisme.
Gobay juga mempertanyakan Kejaksaan yang mau menerima berkas perkara polisi, dan melimpahkan perkara Viktor Yeimo ke Pengadilan Negeri Jayapura. Ia juga mempertanyakan majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura yang mau memeriksa perkara Yeimo.
“Bisa disebut bahwa Viktor yeimo adalahย korban kriminalisasi [dengan menggunakan] pasal makar. Hal ini bahkan berulangkali terjadi di Papua,” kata Gobay.
Menurut Gobay, Mahkamah Konstitusi telah mengingatkan aparat penegak hukum, khususnya polisi, agar tidak menyalahgunakan delik makar untuk menjerat aktivis atau peserta demonstrasi, karena hal itu melanggar hak konstitusional warga. Akan tetapi, sejak tahun 2017 polisi justru semakin sering menggunakan pasal makar untuk mengkriminalisasi ekspresi warga, baik Orang Asli Papua maupun orang non-Papua.
Akan tetapi, ada perbedaan perlakuan terhadap Orang Asli Papua (OAP) dan orang non-Papua yang sama-sama dijerat dengan delik makar. Gobay mencontohkan kasus makar yang disangkakan kepada Eggy Sudjana dan Fatmawati Soekarnoputri. Hingga kini, kasus itu menggantu, tidak dilimpahkan ke pengadilan, tapi penyidikannya juga belum dinyatakan berhenti. Sebaliknya, sejumlah aktivis Papua dijerat dengan delik itu karena menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk Viktor Yeimo yang sedang menunggu pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara makar yang didakwakan kepadanya.
“Penerapan pasal makar di Indonesia diberlakukan secara diskriminasi. [Perkara makar yang disangkakan] kepada OAP langsung diproses. Sementara [perkara makar yang disangkakan kepada] non OAP tidak diproses. Pertanyaan kami, di mana prinsip โkesamaan di depan hukumโ?” tanya Gobay.
Selaku pembicara dalam gelar wicara yang sama, advokat HAM Latifah Anum Siregar menjelaskan seluruh tindakan aparat penegak hukum di Papua terhadap aksi melawan rasisme, demonstrasi memprotes perubahan Otonomi Khusus Papua, unjuk rasa memprotes pemekaran Papua, maupun ekspresi damai lainnya selalu didalilkan sebagai โpenegakan hukumโ. Akan tetapi, dalam kenyataannya, polisi kerap menangkap aktivis bahkan sehari sebelum demonstrasi berlangsung.
“Padahal, aksinya baru direncanakan, atau besok baru dilaksanakan, sudah ada korban penangkapan sehari sebelum aksi dilakukan,” ujar Anum.
Anum menyatakan reaksi aparat penegak hukum di Tanah Papua terhadap berbagai penyampaian pendapat di muka umum selalu berlebihan dan represif. Ia menyoroti kerapnya polisi mengerahkan kekuatan yang besar dan fasilitas penunjang seperti senjata api, kendaraan lapis baja, water cannon, dan peralatan lainnya.
โPadahal ada banyak pihak di sanaโmedia, aktivis, dan pihak lain. Kita bisa bayangkan, hal yang sama terjadi di wilayah pinggiran kota atau jauh dari pantau media maupun aktivis HAM. Sudah ada stigma negatif yang berlaku, sehingga setiap aksi OAP selalu dianggap melawan negara atau makar. Contoh kasus yang terjadi saat ini, para aktivis yang menentang diskriminasi lalu didakwa pasal makar,โ kata Anum.
Tokoh gereja dan antropolog Papua, Pdt Beny Giay mengatakan dalam beberapa pekan mendatang akan ada peringatan 60 tahun Tanah Papua menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Giay menyoroti kondisi OAP saat ini yang berhadapan dengan konflik dan siklus kekerasan yang tidak dapat diselesaikan Pemerintah Indonesia.
Giay menyatakan siklus kekerasan di Tanah Papua berkepanjangan karena sudah ada bingkai dan kerangka yang dibangun untuk menciptakan konflik itu sendiri. โPolitik dan kebijakan pembangunan di Papua sesungguhnya akan menghabiskan OAP itu sendiri,” ujarnya.
Giay menyatakan berbagai persoalan dan penyelesaian konflik di Tanah Papua membutuhkan solidaritas solidaritas antara OAP dan orang non-Papua. โMohon maaf, non-OAP juga bukan malaikat, tetapi energi positif yang ada di antara kita dapat digunakan untuk kesejahteraan, kedamaian, dan keberadapan manusia. Sehingga pikiran negatif, rasisme, radikalisme, teroris dan makar tidak [terus menerus] menjadi bagian [kehidupan] OAP,” ucapnya. (*)