Merauke, Jubi – Uskup Agung Merauke, Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC mengimbau para politisi tidak menjadikan proses pemekaran Papua dan pembentukan Provinsi Papua Selatan sebagai sarana untuk berebut jabatan atau kekuasaan. Hal itu disampaikan Uskup Mandagi kepada Jubi di Kabupaten Merauke, Kamis (2/6/2022).
Sejumlah empat kabupaten di wilayah selatan Papua—Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Asmat akan disatukan menjadi provinsi baru, yaitu Provinsi Papua Selatan. Saat ini, DPR RI tengah membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Pembentukan Provinsi Papua Selatan bersama pemerintah.
Meskipun pembahasan RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan berjalan terus berjalan, Uskup Mandagi menyatakan para politisi seharusnya tidak sibuk berebut jabatan dan kekuasaan. “Jangan sampai di masa mendatang kita hanya sibuk dengan jabatan dan kekuasaan, tapi manusia-manusia yang hancur,” tegas Uskup Mandagi.
Uskup Mandagi menekankan pembentukan Daerah Otonom Baru hendaknya dilakukan untuk kemanusiaan. Jika pemekaran Papua justru menghancurkan Orang Asli Papua, maka gereja tidak dapat menerima.
“Pemekaran itu harus menjadi sarana bagi orang asli Papua bertumbuh dan berkembang dalam segala bidang, baik pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Kalau itu, tentu saya setuju,” imbuhnya.
Aktivis perempuan Merauke, Ana Mahuze mempertanyakan manfaat pemekaran Papua dan pembentukan Provinsi Papua Selatan bagi perempuan dan anak asli Papua. “Kalau ditanya tentang PPS, saya bisa setuju, bisa juga tidak setuju. Apa untungnya bagi kami, khususnya perempuan dan anak Papua. Kalau tidak ada manfaatnya, kami justru merasa terancam [dengan pembentukan Provinsi Papua Selatan,” kata dia.
Mahuze meminta pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat provinsi dan kabupaten dapat membuat regulasi yang memproteksi orang asli Papua. “Regulasi itu diperlukan, sehingga Orang Asli Papua di sini tidak merasa terancam atau bahkan populasinya berkurang,” tandasnya. (*)