Jayapura, Jubi – Peradilan adat di Papua harus diperkuat agar bisa menyelesaikan permasalahan atau perkara adat yang terjadi di dalam kehidupan hukum adat masyarakat Papua. Hal itu sesuai dengan amanat Pasal 51 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua atau UU Otsus Papua Lama.
Hal itu disampaikan Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy dalam Lokakarya Peradilan Adat Dewan Adat Papua. Lokakarya itu diselenggarakan Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) di Kota Jayapura pada Sabtu (14/5/2022).
Warinussy menyampaikan pembentukan peradilan adat akan mengurangi jumlah perkara yang harus ditangani peradilan umum di Tanah Papua. Jika sengketa yang terkait masyarakat adat sudah diselesaikan peradilan adat, jumlah sengketa yang diajuakan ke peradilan umum akan berkurang.
Warinussy menjelaskan penyelesaian adat dimulai dari hakim adat menerima laporan atau pengaduan, lalu melakukan pengujian kebenaran dengan bertemu pihak terlapor dan korban. Sesudah, hakim adat akan menyusun kronologis untuk dipakai dalam sidang adat.
Dalam sidang adat akan ada kesaksian yang diberikan pihak korban, lalu tanggapan pihak pelaku. Jika pelaku tidak menerima, maka pihak korban akan menghadirkan bukti, baik itu dokumen, foto atau menghadirkan orang akan memberikan kesaksian.
Setelah mendengarkan keterangan dari para pihak, hakim adat akan mengambil kesimpulan. Jika pihak pelaku menerima kesimpulan hakim adat, akan dilakukan pemberian sanksi sesuai bentuk pelanggaran yang dilakukan pelaku.
“Itu menarik, sebab dalam setiap proses adat selalu dibuat berita acara, lalu diikuti dengan pemberian sanksi adat, kemudian proses perdamaian didoakan oleh rohaniwan atau hamba Tuhan,” ujarnya.
Warinussy mengatakan peradilan adat ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan perkara dengan mendamaikan berbagai pihak, dan itu terjadi di antara sesama Orang Asli Papua. Jika pelaku dan korban sesama Orang Asli Papua, maka penyelesaian berdasarkan hukum adat yang dikedepankan.
“Apa lagi sudah Peraturan Jaksa Agung nomor 15 Tahun 2021 dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 yang intinya mengarahkan penyelesaian perkara melalui restorative justice. Dewan Adat Papua mempunyai kapasitas tampil sebagai lembaga perdamaian adat masyarakat,” katanya.
Walaupun demikian, kata Warinussy, kompetensi peradilan adat terbatas dalam kasus yang dikategorikan bisa diselesaikan dengan cara melalui hukum adat, misalnya kasus pelanggaran norma susila, caci-maki, perselingkuhan, perzinahan, dan pemerkosaan. “Proses yang menurut saya menarik dan hampir ada di semua wilayah adat,” ujarnya.
Menurut, pemerintah dapat berperan mendorong penguatan kapasitas peradilan adat Papua. Pemerintah juga bisa mengukuhkan peradilan adat sebagai bagian dari sistem peradilan di Tanah Papua.
Yeheskiel Jenjeman dalam presentasi kelompok wilayah adat Mamta Tabi menjelaskan peradilan adat belum memiliki putusan yang bisa mengingat dan berkekuatan hukum. Ia mencontohkan kasus manipulasi tanda tangan menggunakan paraf daftar hadir peserta rapat yang dilakukan pihak PT. Gaharu Prima Lestari dalam proses pembebasan tanah masyarakat adat seluas 31 ribu hektare.
Jenjeman menjelaskan kasus tersebut telah dibawah ke peradilan adat, dan peradilan adat sudah menanganinya dari tingkatan keret sampai ke pemerintah daerah dan peradilan umum. Akan tetapi, peradilan umum mengarahkan agar masalah dibawa ke Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. “Kasus tersebut sampai saat ini belum ada titik temu penyelesaian masyarakat adat Sarmi,” katanya. (*)