Jayapura, Jubi – Aktivis isu lingkungan dan masyarakat adat, Ruth Ohoiwutun mengatakan, agar orang Papua dapat bersaing di era globalisasi tanpa meninggalkan adat dan budaya serta kearifan lokal, maka masyarakat adat melalui lembaga adat dapat menghidupkan ķembali pendidikan adat melalui rumah inisiasi. Di dalam rumah inisiasi dibicarakan membicarakan tentang kehidupan orang Papua, termasuk penyelamatan lingkungan hidup dan kearifan lokal tiap suku, khususnya di wilayah Tabi (Jayapura dan sekitarnya).
Ohoiwutun mengatakan, masyarakat adat di Papua memiliki sistem religi dan inisiasi bagi perempuan dan laki-laki, sehingga sistem ini yang harus dihidupkan kembali. Sebab sistem inisiasi ini perlahan hilang dan membentuk generasi yang apatis terhadap kebudayaan dan adat.
“Agar dalam masyarakat nilai-nilai kehidupan sosial itu tetap terjaga dan melalui pendidikan inisiasi masyarakat dapat menimba pendidikan dasar. Dan di tempat inisiasi itu dapat menjadi basis pembelajaran bagi kami generasi muda Papua,” kata Ohoiwutun dalam diskusi bertajuk “Hari Bumi & Kearifan Lokal” yang disiarkan melalui Instagram yang oleh Komunitas Sa Sayang Bumi , Rabu (4/5/2022).
Ohoiwutun menegaskan tentang pentingnya pendidikan adat atau rumah inisiasi orang Papua, sehingga harus diperkokoh agar tidak tergerus zaman globalisasi.
“Karena melalui rumah inisiasi inilah masyarakat terutama generasi muda dapat belajar terkait dengan adat dan budaya kearifan lokal. Setelah mereka belajar tentang kebiasaan-kebiasaan hidup mereka dalam rumah inisiasi kita bisa bersaing di era modern tanpa mengabaikan kearifan lokal kita,” katanya.
Agar tanah dan hutan Papua tetap aman, maka katanya, orang Papua seharusnya menaati hal-hal prinsipil, dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon dana tidak membuang limbah sembarangan.
Hal senada dikatakan pekerja Gereja yang mendampingi masyarakat adat, Rina Krebru. Rina berpandangan bahwa membangun wawasan tentang menjaga bumi dan melestarikan kearifan lokal di Papua harus dimulai dari keluarga.
“Mulai saat ini kita perlu menyampaikan kepada keluarga kita atau mengajarkan kepada anak-anak kita ataupun keponakan kita untuk tidak membuang sampah sembarangan dan tidak menebang pohon sembarangan agar hutan kita tetap terjaga,” katanya.
Menurut Krebru, banjir yang terjadi di Kota dan Kabupaten Jayapura selama ini diakibatkan oleh tiadanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Masyarakat membuang botol-botol bekas, plastik, dan sampah-sampah lainnya di got atau parit. Dampaknya parit tersumbat sehingga air meluap ke badan jalan dan perumahan padat penduduk.
Sampah-sampah yang dibawa banjir ke muara sungai kemudian menumpuk di pantai, hingga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Oleh sebab itu, Krebru mengajak masyarakat Kota dan Kabupaten Jayapura agar membuang sampah pada tempatnya.
Krebru juga menyoroti sistem penggunaan transportasi di Kota dan Kabupaten Jayapura agar dievaluasi. Menurut dia, kemacetan dan peningkatan kendaraan mengakibatkan polusi.
Di sisi lain, Founder Komunitas Sa Sayang Bumi Ana Baransano mengatakan, orang Papua tidak bisa menolak perubahan yang sedang terjadi. Namun, orang Papua juga perlu belajar bagaimana menyelamatkan lingkungannya dengan pengetahuan dan wawasan tentang lingkungan hidup, seperti pendidikan adat atau kearifan lokal.
“Kami harus gencar melakukan sosialisasi, sebab, kalau tidak melakukan sosialisasi akan menjadi suatu kebiasaan yang kemudian mengancam lingkungan hidup dan mencemari laut yang berujung pada kerusakan bumi,” katanya.
Baransano mengatakan, pihaknya akan terus menggelar diskusi dan seminar terkait dengan kearifan lokal dan penyelamatan bumi dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten. (*)
Discussion about this post