Oleh: Thomas Ch Syufi*
Pemerintah pusat berupaya menambah tiga pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua,Β yakni pemekaran Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Pegunungan Tengah, dan Provinsi Papua Tengah. Rancangan Undang-Undangnya (RUU) telah ditetapkan di Badan Legislasi DPR RI.
Namun, upaya pemekaran DOB Papua itu mendapat sorotan dan penolakan sengit dari mayoritas rakyat Papua, termasuk Majelis Rakyat Papua (MRP), para aktivis, akademisi, dan kelompok peduli kemanusiaan di Papua. Tokoh politik Papua, Markus Haluk misalnya, mengkhawatirkan bahwa pemekaran DOB bisa membawa Papua, terutama daerah Pegunungan Tengah menuju kehancuran.
βJikalau pemekaran Provinsi Papua Tengah itu dipaksakan (terjadi), nasib orang asli Papua terancam marginalisasi dan menjadi penduduk minoritas di Wamena (calon ibu kota Pegunungan Tengah),β kata Haluk (Jubi, 5/3/2022).
Ketua MRP, Timotius Murib juga dengan tegas meminta pemerintah pusat menangguhkan upaya pemekaran tiga provinsi baru di Papua, karena proses pemekaran dilakukan tanpa melibatkan rakyat Papua yang diwakili MRP dan DPR Papua. Artinya tiga RUU Otsus yang ditetapkan DPR RI melalui mekanisme yang salah, sehingga Jokowi diminta menunda proses tersebut (Jubi, 12/4/2022).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mempertanyakan keputusan pemerintah terkait pemekaran tiga provinsi baru di Papua, yang dianggap bertentangan dengan moratorium dan proses yang tidak melibatkan MRP.
βIngat pemekaran wilayah terhadap Papua ini bertolak belakang dengan kebijakan nasional pemerintah Indonesia yang sedang memberlakukan moratorium pembentukan daerah otonomi baru (DOB) dan ini kemunduran terbesar dalam demokrasi,β kata Usman (Suara.com, 14/4/ 2022).
Akademisi Universitas Negeri Papua (UNIPA), Manokwari dan salah satu anggota Tim Asistensi RUU Otsus Papua 2001, Agus Sumule juga mengatakan, pemekaran Papua tak memiliki alasan ilmiah dan itu perjuangan elitis yang berdampak buruk bagi eksistensi masyarakat asli Papua.
βTidak ada dasar ilmiah yang menunjukkan pemekaran perlu di Tanah Papua. Elite Papua yang memperjuangkan pemekaran sedang mengajak masyarakat Papua masuk dalam lorong kegelapan. Masyarakat Papua dibuat tidak tahu bagaimana dampaknya. Kebijakan pemekaran ialah untuk non-Papua, yaitu mendatangkan transmigrasi skala besar di seluruh Tanah Papua, (maka) akan terjadi kesenjangan dan ketimpangan,β kata Sumule (Suara Papua, 3/2/2022).
Gelombang demonstrasi penolakan juga terjadi di Tanah Papua dan Jakarta. Misalnya di Merauke dan Nabire (31 Maret 2022), Kota Sorong, Kota Jayapura, dan Mimika (1 April 2022), Manokwari (13-14 April 2022), Jayawijaya (6 Maret 2022), dan Yahukimo (15 Maret 2022) yang berujung ricuhβdua pendemo tertembak mati, yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan, serta di Biak (25 April 2022), dan Jakarta (11 Maret 2022).
Mereka yang menolak pemekaran memiliki alasan. Di antaranya, pemekaran tidak memberi manfaat apa pun kepada rakyat Papua dari berbagai aspek, baik di bidang politik, ekonomi, maupun demografi. Hal itu berangkat dari pengalaman sebelumnya, yakni pemerintah pusat memaksakan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat), yang lahir tanpa dasar hukum, dan hingga kini belum menjawab cita-cita kesejahteraan masyarakat asli Papua di Provinsi Papua Barat.
Provinsi Papua Barat merupakan provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi kedua setelah Provinsi Papua dari sepuluh provinsi termiskin di Indonesia, yakni 21,82 persen pada September 2021. Padahal Papua Barat memiliki 9 kabupatenβyang merupakan daerah otonom baru (DOB)βlahir setelah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (termasuk Provinsi Papua Barat).
Namun, fakta itu belum bisa meminimalisir gejolak dan konflik yang terus terjadi di βsemenanjung Kepala Burung Papuaβ. Konflik bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dengan TNI-Polri baru saja meletus di Maybrat.
Provinsi Papua juga dimekarkan jadi 22 kabupaten baru setelah pemberlakuan UU Otsus Papua. Namun gelombang protes atas status Papua dalam NKRI serta tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk konflik bersenjata TPNPB vs TNI/Polri juga terus terjadi.
Semua gejolak ini terjadi di era otsus dan maraknya pemekaran daerah, baik pemekaran kabupaten, maupun provinsi.
Selain itu, isu kedaulatan dan keamanan negara hanyalah sebuah imajinasi dan retorika politik para elite di Jakarta. Inti dari pemekaran sebenarnya adalah tuntutan para oligarki, yang memegang jabatan ganda; sebagai pejabat negara sekaligus sebagai pebisnis. Atau minimal para konglomerat atau saudagar yang bersekongkol dengan para pejabat negara untuk memuluskan kepentingan investasi di Papua. Mereka ingin menguasai berbagai lahan dan sumber daya alam di Tanah Papua.
Target para oligarkiΒ adalah sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo mereka harus mengkapling beberapa kawasan di Papua menurut keinginannyaβsebagai tempat investasi masa depan, seperti tambang, kayu, kelapa sawit, dan lain-lain. Para oligarki sebagian adalah orang nonpartai politik di lingkaran Jokowi.
Lalu para elite Jakarta juga sulit masuk ke Papua untuk mengekspansi bisnisnya, karena sikap Gubernur Papua Lukas Enembe yang tak melunak dengan oligarki. Dia menolak sejumlah investasi tambang, kelapa sawit, dan lain-lain di Papua.
Maka dari itu, cara yang tepat bagi oligarki untuk memuluskan agendanya adalah berkolaborasi politik dengan legislatif, dengan mengobral isu keamanan, kedaulatan, dan akselerasi pembangunan, serta kesejahteraan. Setelah itu dikorelasikan dengan elite oportunis Papuaβsejumlah anggota DPR dan DPD RI asal Papua, termasuk para bupati dan walikota di Papua.
Jadi, sejumlah oligarki mencoba merangkul dan menjadikanΒ para elite oportunis Papua bermental pemekaran dan otsus sebagai βinstrumenβ pemerintah pusat.
Para elite Papua itu tak menyadari skenario politik yang dimainkan para oligarki yang ingin menancapkan kukunya di Papua, dengan menanam investasi dan menguras segala sumber daya alam Papua, demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Para elite Papua hanya βdisogokβ dengan hal remeh-temeh, seperti janji jabatan, uang, dan segala kepentingan pragmatis lainnya.
Para oligarki memang pandai mengusung slogan menjaga keutuhan NKRI, kedaulatan, keamanan, dan demi kesejahteraan masyarakat Papua, sehingga Papua dimekarkan menjadi lima provinsi.
DPR sekutu rakyat
Untuk meloloskan kepentingan politik DOB Papua, DPR RI tampak tanpa beban melangkahi kewenangannya sebagai βwakil rakyatβ. Padahal DPR merupakan lembaga yang harus mencerminkan kedaulatan rakyat.
Dari rahim rakyatlah para anggota DPR yang terhormat dilahirkan melalui proses demokrasi elektoral. Maka, apapun yang dilakukan oleh DPR, terutama dalam hal produk regulasi yang hendak dikeluarkan, harus benar-benar representatif dan menjamin kepentingan rakyat.
Meminjam filsuf dan diplomat Britania Raya, John Parvus dari SalisburyΒ (1120-1180), βJantung masyarakat adalah parlemen (DPR) seharusnya terdiri dari orang-orang tua yang pandai,β atau Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf dan penulis Perancis Abad Pencerahan, βParlemen adalah jantung negara, ketika jantung negara tidak efektif bekerja, maka seluruh anatomi negara pun ikut sakit.β.
Ahli teori politik Inggris, Harold Joseph Laski (1893-1950) menyatakan, βYang menjadi inti soal organisasi negara adalah perhubungan antara rakyat dengan undang-undang. Rakyat turut campur dalam pembuatan undang-undang, maka dalam hal seperti ini bentuk negara itu sedikit banyak adalah demokrasi. Atau jika susunan undang-undang dipaksakan kepadanya (rakyat), maka hal tersebut menandakan bahwa itu bentuk negaranya adalah autokrasi.β
Esensi dari pendapat tiga ahli ini memberi pesan bahwa legislatif dan rakyat adalah βsekutu sejatiβ yang tak bisa disatukan oleh kepentingan apapun, termasuk kepentingan politik, kekuasaan, kedaulatan, maupun alasan primordialisme; suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Apa pun gerak-gerik anggota DPR harus mencerminkan kehendak dan kedaulatan rakyat.
Ketika dilantik sebagai anggota legislatif, maka sejak saat itu pula loyalitasnya pada partai pun berakhir dan loyalitas kepada kepentingan bersama dimulai. Secara total mereka mengabdikan diri demi kepentingan segenap rakyat Indonesia tanpa diskriminasi SARA atau kepentingan politik pemerintahan, kekuasaan, maupun ekonomi.
Oleh karena itu, rakyat Papua yang merupakan bagian dariΒ keluarga besar NKRI harus diperlakukan sama di depan hukum dan pemerintahan. Baik atau tidaknya aspirasi rakyat Papua, DPR jangan alergi dan fobia, apalagi apriori.
Suara rakyat Papua juga adalah suara rakyat Indonesia, yang perlu dikupingi atau diserap oleh siapapun pejabat publik, termasuk para politisi di senayan.
Kritik dan suara rakyat Papua bukanlah peluru berdarah, tapi surat suara damai yang wajib didengar dan diteruskah oleh wakil rakyat kepada pemerintah maupun melalui undang-undang yang dilahirkannya. Hak konstitusionalitas DPR sudah diatur dalam pasal 20 UUD 1945, maka keberpihakan DPR kepada rakyat adalah perintah konstitusi dan merupakan kemutlakan yang pantang ditawar (conditio sine qua non).
Lembaga DPR tidak dibenarkan menjadi alat politik kekuasaan eksekutif. Karena DPR bukan lembaga subordinasi pemerintah hingga segala aktivitas DPR, termasuk kewenangannya dalam urusan regulasi pun didominasi atau diberangus oleh eksekutif.
DPR harus teguh pada prinsip trias politika: pemisahan kekuasaan yang tegas dan paralel antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif;Β tidak saling mendominasi, apalagi menjadi serigala bagi yang lain (homo homini lupus est). Jadi, DPR perlu tegas menjalankan tiga fungsi pokoknya (fungsi legislasi, kontrol, dan anggaran) tanpa mendengar interupsi dari pemerintah!
Jika Rancangan Undang-Undang yang diinisiasi atau diprakarsai oleh eksekutif, DPR berhak untuk memberikan pertimbangan dan berhak menolak bila hal tersebut tidak sesuai aspirasi rakyat atau mendapat penolakan dari khalayak, setelah melakukan dengar pendapat dari rakyat. DPR memiliki bargaining position yang cukup kuat dan strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk untuk fungsi legislasi. Apalagi, prinsip negara kesatuan hanya mengenal supremasi parlemen pusat atau tidak ada badan berdaulat tambahan.
Artinya, DPR pusat satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pembuatan dan pengesahan undang-undang, bukan DPRD atau badan lainnya. Karena itu, DPR semestinya tidak gegabah mengesahkan undang-undang secara subjektif, tanpa dikonsultasikan atau memperhatikan aspirasi rakyat.
Sebagai negara demokrasi, pembahasan RUU harus bersifat terbuka. Ada prosedur yang harus ditempuh oleh DPR dan itu sudah dinormakan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yaitu legislatifΒ harus melakukan konsultasi publik (public hearing); menampung aspirasi (usulan) dari anggota masyarakat, seperti LSM, organisasi profesi, organisasi buruh, asosiasi pengusaha, perguruan tinggi, mahasiswa, maupun perorangan. Jadi, tidak semata harus berawal dariΒ inisiatif anggota legislatif atau partai politik, atau dari usulan pemerintah (eksekutif).
Dari mana pun usulan undang-undang yang masuk ke legislatifΒ harus diterima dan dibahas. Selanjutnya DPR menilai adakah usulan tersebut layak dimasukkan menjadi agenda kerja DPR. Usulan dianggap layak apabila telah melalui tahap penelitian dan pembahasan, berlanjut menjadi agenda resmi lembaga untuk masuk dalam pembahasannya menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU). Jadi, harus inklusif dan terbuka dalamΒ seluruh pembahasan, mulai dari tahap usulan, meningkat ke fase RUU, sampai pada pembahasan materi undang-undang.
Pembahasan RUU juga tidak hanya terbuka, tetapi harus melalui tahap sosialisasiβmelalui metode jajak pendapat, publikasi di media massa, dan dan membuka diskusi di perguruan tinggi.
Hal tersebut dilakukan untuk mendapat umpan balik (feedback) dari masyarakat, karena pada akhirnya merekalah yang akan menerima dampak positif/negatif dari undang-undang yang dihasilkan.
Masukan dari masyarakat berupa kritik, usulan penambahan, dan pengurangan materi RUU adalah bagian dari proses penyempurnaan undang-undang.
Tentu tahap awal sosialisasi RUU terjadi kontroversi dan perdebatan, bahkan menuai penolakan dari rakyat. Itulah sistem politik yang demokratis, sekaligus merupakan udara segar bagi paru-paru demokrasi. Aspirasi masyarakat tidak perlu ditakuti, kecuali kritik yang bersifat menyerang pribadi orang yang dipandang sebagai kesesatan logika (argumentum ad hominem).
Setiap tahapan sosialisasi RUU terjadi pro-kontra, sehingga DPR jangan memaksakan diri untuk menyetujui dan mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang.
Undang-undang yang tidak mendapat dukungan penuh atau bertentangan dengan aspirasi rakyat, tidak hanya tidak efektif dalam implementasinya, tetapi juga akan mengalami delegitimasi atau dianggap tidak pernah ada oleh rakyat. Artinya, undang-undang tersebut tidak memiliki kewibawaan!
Kerap kali para anggota legislatif terlalu terobsesi untuk mengatur banyak hal dalam negara demokrasi melalui produk undang-undang. DPR cenderung terperosok dalam nuansa negara kekuasaan yang gemar membuat undang-undang tanpa dikonsultasikan dengan rakyat sebagai pemberi mandat.
Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang sangat ideal yang menjadi konsensus nasional. Eksistensinya mengoreksi dan menantang kerusakan rezim politik otoritarianisme (despotis), hingga wajib mendapat tempat istimewa dalam proses pengelolaan negara.
Bagi negara demokrasi, rakyat adalah pihak yang diperintah (objek), sekaligus pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara (subjek). Sedangkan pemerintah adalah pihak yang memiliki kekuasaan memerintah (mengatur). Pemerintah juga perlu menyadari bahwa kekuasaan yang diperoleh karena adanya mandat dari rakyat (prinsip resiprositas atau simbiosis mutualisme).
Jadi, undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif tidak efektif karena proses pembuatannya tidak aspiratif, dinilai cacat formil atau cacat prosedur. Maka DPR sebagai lembaga tinggi negara dan lembaga publik mengalami krisis kepercayaan oleh rakyat hingga kehilangan kewibawaannya.
Legislatif sebagai lembaga terhormat sekaligus representasi rakyat telah mengkhianati kedaulatan rakyat yang sudah diatur dalam konstitusi (pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Antara kedaulatan rakyat dan hukum ditempatkan sejajar dan berdampingan, sehingga menegaskan dianutnya prinsip βconstitutional democracyβ yang mengatakan, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi berdasar atas hukum (rechtsstaat) atau negara hukum yang demokratis, bukan negara kekuasaan (machstaat)!
Dari beberapa pandangan teoritis tersebut, disimpulkan bahwa upaya pemerintah pusat memekarkan Papua menjadi tiga provinsi baru belum mewakili keinginan mayoritas rakyat Papua.
Upaya pemekaran tersebut tidak memenuhi dua unsur intrinsik dalam bernegara, yakni nomokrasi (kedaulatan hukum) dan demokrasi (kedaulatan rakyat). Namun hal itu lebih pada konspirasi politik, kekuasaan, dan ekonomi semata di tataran elite eksekutif dan legislatif pusat.
Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua, juga lembaga politik formal di tingkat provinsi untuk melaksanakan UU Otsus dalam rangka keberpihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap orang asli Papua bahkan tidak dilibatkan oleh pemerintah dan DPR dalam proses pemekaran.
Jika pemekaran dipaksakan, maka legislatif diduga melakukan intrik politik dengan mengkhianati demokrasi dan peraturan perundang-undangan, yang menjadi manifestasi kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum (nomokrasi), hingga tidak patuh pada aspirasi rakyat dan amanat konstitusi.
Tidak hanya RUU Pemekaran Papua, DPR juga telah lalai untuk mencegah kesalahan awal yang dilakukan oleh pemerintah, dengan sengaja melakukan perubahan kedua secara sepihak atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua menjadi UU No. 2 Tahun 2021Β tanpa melibatkan rakyat Papua melalui MRP, yang kini tengah mengajukan judicial review terhadap UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Maka, yang terjadi pada perubahan kedua UU Otsus Papua adalah bersifat sentralistik dan otoriter (semua kebijakan atau keputusan terhadap nasib rakyat Papua bergantung pada kemauan pemerintah pusat). Hingga kini RUU Pemekaran pun lahir dari UU Otsus Papua hasil perubahan kedua yang telah dinilai cacat dalam proses kelahiran (pembuatannya). Inilah kecelakaan dan kemunduran terbesar dalam demokrasi!
Solusinya, DPR dan pemerintah perlu mengurungkan niat atau setidaknya menunda pemekaran PapuaΒ sambil menunggu putusan MK.
Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan memutus secara adil perkara a quo (sebagaimana putusan MK terhadap UU Cipta Kerja yang cacat formal), agar rasa keadilan hukum bisa dinikmati seluruh warga Indonesia, termasuk rakyat Papua. Ad officium justiciariorum spectat unicuique coram eis placitanti justitiam exhibere (tugas penegak hukum untuk memberikan keadilan bagi siapa pun yang memohon).
Polemik pemekaran Papua bersumber dari UU tersebut yang diubah secara parsial oleh pemerintah pusat hingga mengabaikan kewenangan MRP dalam proses pemekaran di Papua. Jadi, pengabaian terhadap MRP dalam urusan pemekaran, termasuk berbagai hal yang berkorelasi langsung dengan hak-hak masyarakat asli Papua adalah sebuah paradoksal. Itu merupakan serangan terhadap jantung βOtsus Papuaβ.
Lembaga MRP adalah punggawa/pilar utama yang ikut mengawal proses pelaksanaan Otsus Papua. Sekaligus MRP harus dilibatkan dalam pembentukan DOB Papua (dengan tetap memperhatikan aspirasi kolektif rakyat Papua), agar proses demokratisasi di Papua tetap sejuk dan tumbuh subur tanpa diinterupsi oleh praktik politik sentralistik dan otoritarianisme, kewenangan MRP dalam urusan Otsus Papua, terutama hal pemekaran harus dioptimalkan (atau dilibatkan). Sekaligus kita juga terhindar dari apa yang oleh Martin van Creveld (76), sejarawan Yahudi kelahiran Belanda sebut keruntuhan negara itu terjadi ketika nurani publik tidak lagi menjadi bagian pertimbangan negara dan pemerintahan. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan advokat muda Papua
Discussion about this post