Jayapura, Jubi – Anggota Komisi Pemerintah, Politik, Hukum, Hak Asasi Manusia dan Keamanan DPR Papua, Laurenzius Kadepa mengatakan enam prajurit TNI yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi harus diadili di Pengadilan Negeri Kota Mimika. Kadepa menegaskan keluarga para korban harus bisa menyaksikan semua tahapan persidangan keenam prajurit TNI itu.
“Proses hukum harus benar-benar transparan. [Pengadilan] harus dilakukan di Timika atau di Jayapura, supaya keluarga korban juga menyaksikan semua tahapan persidangan,” kata Kadepa kepada wartawan di Kota Jayapura pada Jumat (16/9/2022).
Pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil asal Kabupaten Nduga terjadi di Satuan Permukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 lalu. Keempat korban itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Polisi Militer Komando Daerah Militer atau Pomdam XVII/Cenderawasih telah menetapkan enam prajurit Brigade Infanteri Raider/20 Ima Jaya Keramo sebagai tersangka kasus itu, yaitu Mayor Hf, Kapten Dk, Praka Pr, Pratu Ras, Pratu Pc, dan Pratu R. Sementara penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Papua telah menetapkan empat warga sipil sebagai tersangka kasus yang sama, yaitu APL alias Jeck, DU, R, dan RMH yang hingga saat ini masih menjadi buronan.
Kadepa menyatakan pembunuhan dan mutilasi terhadap empat warga Nduga di Kabupaten Mimika merupakan tindakan yang sangat kejam. Kasus pembunuhan dan mutilasi ini adalah masalah kemanusiaan yang merupakan masalah semua orang.
“Kasus ini membuat kita semua kaget karena pembunuhan ini sangat kejam. Jadi karena pembunuhan yang sangat kejam bukan hanya mahasiswa dan masyarakat Nduga yang punya masalah ini. Ini masalah kita semua, masalah orang Jawa, masalah orang Sulawesi, masalah orang Papua dan ini masalah kemanusiaan,” katanya.
Kadepa menyatakan DPR Papua telah melakukan koordinasi dengan Kepala Kepolisian Resor Mimika, bertemu dengan keluarga korban, dan memfasilitasi keluarga korban bertemu Ketua Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas, Benny Mamoto. Tim DPR Papua juga mengikuti proses rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi itu dari awal sampai akhir.
“Walaupun satu pelaku dari sipil sampai saat ini belum ditangkap, harapan kita pelaku [itu] segera menyerahkan diri, atau polisi segera menangkap dia. Soal potongan jenazah yang belum ditemukan, semoga itu menjadi perhatian kepolisian dan pihak-pihak terkait [untuk mencarinya],” ujarnya.
Kadepa menyatakan DRP Papua telah bertemu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan membicarakan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus itu. “Kami juga sudah ketemu Komnas HAM terkait dugaan terjadi pelanggaran HAM. Yang bisa menetapkan ini kategori pelanggaran HAM itu hanya Komnas HAM,” katanya.
Kadepa menyatakan DPR Papua akan mengawal agar proses hukum kasus itu segera diselesaikan, dan pelaku harus dihukum berat. “Kalau bisa yah, tuntutan keluarga korban adalah tuntutan mati. Itu yang kita harapkan. Ini bukan hanya kasus orang Nduga, ini kasus semua orang. Kita kawal sama-sama. Dan terkait aspirasi bentuk Panitia Khusus [DPR Papua] nanti pimpinan yang akan menentukan,” ujarnya.
Koordinator aksi Ikatan Pelajar Mahasiswa Nduga se-Indonesia Kota Studi Jayapura, Lepania Dronggi yang memimpin demonstrasi mahasiswa pada Jumat menyatakan enam prajurit TNI yang diduga terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi warga sipil Nduga itu harus diadili di Pengadilan Negeri Kota Mimika. Menurut Dronggi, jika para prajurit TNI itu diadili di luar Papua, pihaknya ragu mereka akan mendapatkan hukuman berat.
“Karena [dari] pengalaman ke pengamalan, setiap kasus [kekerasan oleh prajurit TNI], mereka buka pakaian di Papua [seolah sudah dipecat]. Tetapi, setelah keluar [dari Papua] dan ke Jakarta, mereka tetap pakai pakaian [dan kembali berdinas]. Kami minta [pelaku] harus diadili peradilan umum di Papua,” katanya.
Wakil Ketua DPC Ikatan Pelajar Mahasiswa Nduga se-Indonesia Kota Studi Jayapura tersebut menyatakan pembunuhan dan mutilasi terhadap empat warga sipil merupakan bentuk penghinaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, serta merendahkan hakekat dan nilai kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pembunuhan dan mutilasi tidak dibenarkan oleh norma hukum maupun agama.
Dronggi menyatakan keterlibatan anggota TNI berpangkat mayor, kapten, praka, dan pratu bersama empat warga sipil merupakan kerja sistematis dan terstruktur. Menurut Dronggi, keterlibatan itu dinilai terpenuhi unsur pertanggungjawaban komando.
Dronggi menyatakan kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil itu menjadi momentum membuka tabir kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Tanah Papua dan dibiarkan oleh Negara.
Para demonstran mendesakkan pembentukan tim investigasi independen guna mengungkapkan motif dan fakta kejahatan itu. Mereka meminta Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk tim investigasi untuk mengusut dan mengungkapkan kejahatan Negara terhadap rakyat Papua sejak 1961, dan menuntut anggota TNI yang terlibat dalam kasus penembakan dan mutilasi di Mimika diadili di peradilan umum di Timika, dan dipecat tidak dengan hormat.
“Kami keluarga korban menuntut hukuman mati kepada pelaku baik militer maupun warga sipil yang terlibat dalam kasus pembunuhan dan mutilasi. Serta mencopot Komandan Brigade Infanteri Raider/20 Ima Jaya Keramo. Proses hukum wajib dan harus dilakukan di Mimika, dan terbuka untuk umum,” kata Dronggi membacakan pernyataan sikap mahasiswa Nduga.
Sebelumnya, dosen Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi SPsi SH MH PhD menyatakan Jaksa Agung Muda Pidana Militer atau Jampidmil harus memastikan agar enam prajurit TNI yang menjadi tersangka kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika nantinya diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika. Hal itu dinyatakan Fachrizal saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Kamis (15/9/2022).
“Ini saatnya Jaksa Agung Muda Pidana Militer menjalankan kewenangannya, dengan memastikan 6 prajurit TNI itu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kota Timika. Apalagi di Kejaksaan Tinggi Papua sudah ada Asisten Tindak Pidana Militer atau Aspidmil,” kata Fachrizal.
Menurut Fachrizal, tidak masalah jika penyidikan perkara pembunuhan dan mutilasi itu dijalankan secara terpisah oleh Pomdam XVII/Cenderawasih dan penyidik Polda Papua. “Karena diduga pembunuhan itu dilakukan bersama-sama oleh prajurit TNI bersama warga sipil, perkara itu mutlak harus ditangani melalui mekanisme koneksitas. Justru itulah peran yang bisa dilakukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer, memastikan peradilan koneksitas digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Timika,” kata Fachrizal.
Fachrizal menegaskan Jaksa Agung Muda Pidana Militer berwenang untuk memerintah Oditurat Militer melimpahkan berkas perkara keenam prajurit TNI itu kepada Asisten Tindak Pidana Militer (Aspidmil) Kejaksaan Tinggi Papua. Selanjutnya, Aspidmil Kejaksaan Tinggi Papua akan melimpahkan berkas perkara enam prajurit TNI dan empat warga sipil yang menjadi tersangka kasus pembunuhan dan mutilasi itu kepada PN Kota Timika.
“Itu sesuai dengan semangat reformasi sistem peradilan pidana Indonesia untuk mengembalilan supremasi kekuasaan penegakan hukum dari militer kepada kekuasaan sipil. Itu sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000, yang secara tegas mengeliminir peran tentara dalam dalam birokrasi pemerintahan sipil, termasuk juga dalam sistem peradilan pidana sipil,” kata Fachrizal. (*)