Jayapura, Jubi – Anggota DPR Papua, Namantus Gwijangge mengaku kesal dengan langkah DPR RI yang pada Kamis (30/6/2022) mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang atau RUU pemekaran Papua menjadi Undang-Undang. Pengesahan tiga RUU pemekaran Papua tentang pembentukan tiga provinsi baru di Papua itu dinilai Gwijangge mengabaikan aspirasi Orang Asli Papua yang menolak pembentukan provinsi baru di Papua.
Hal itu dinyatakan Gwijangge menyikapi langkah DPR RI mengesahkan RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, RUU Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, dan RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis. Gwijangge menyatakan mayoritas Orang Asli Papua menolak pembentukan tiga provinsi baru itu.
“Kami kesal dengan Negara, meskipun mayoritas masyarakat menolak [pembentukan provinsi baru], namun [aspirasi itu] diabaikan. Sementara pihak yang menerima Daerah Otonom Baru di Papua hanya segelintir pejabat. Harusnya ada pertimbangan [yang] dilihat oleh DPR-RI,” kata Gwijangge saat ditemui Jubi di ruang kerjanya pada Kamis.
Menurut Gwijangge, rombongan Komisi II DPR RI berkunjung ke Papua pada akhir pekan lalu hanya bertemu dengan pihak yang menyetujui rencana pemekaran Papua, dan mendengarkan aspirasi sepihak mereka. Ia menyatakan Komisi II DPR RI tidak bertemu dengan berbagai pihak yang menolak rencana pemekaran Papua. “Sementara aspirasi penolakan [terhadap rencana pemekaran Papua akan] terus berlanjut pasca pengesahan tiga RUU pemekaran itu,” kata Gwijangge.
Ia berpendapat DPR RI telah mengabaikan suara mayoritas rakyat Papua, dan lebih mendengakan suara segelintir orang. Hal itu membuat Gwijangge bertanya, apakah pemekaran Papua itu merupakan kepentingan rakyat?
“Atau [pemekaran itu] hanya untuk kepentingan para elit yang tidak ada jabatan? Mereka yang meminta pemekaran bukan [membawa] aspirasi murni masyarakat Papua,” katanya.
Gwijangge juga mengkhawatirkan potensi konflik pasca pengesahan RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, RUU Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, dan RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan menjadi UU. “Seperti saat ini terjadi di Mimika [terjadi] pro-kontra ibu kota provinsi, soal data kependudukan, batas wilayah, dan sebagainya. Kalau begitu, untuk apa pemekaran?” Gwijangge bertanya.
Gwijangge menyatakan seharusnya pemerintah belajar dari hasil pemekaran Papua untuk membentuk Provinsi Papua Barat. Gwijangge menilai pembentukan Provinsi Papua Barat tidak serta merta mengurangi tingkat kemiskinan di Papua. Ia juga menilai pemekaran itu tidak serta merta menghilangkan gerakan kelompok bersenjata di Papua Barat.
“Kalau pemerintah pusat beranggapan pemekaran wilayah itu solusi, faktanya pemekaran membawa masalah. [Anggapan pemerintah pusat] itu sangat keliru,”katanya.
Secara terpisah, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Nabire, Des Goo mengatakan rakyat Papua telah menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak pemekaran Papua. Seharusnya pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat Papua itu
“Kami menilai penegesahan tiga Daerah Otonom Baru di Tanah Papua merupakan kelanjutan dari Penentuan Pendapatan Rakyat atau Pepera 1969. Jika Pepera cacat hukum dan memanipulasi suara rakyat Papua, pengesahan Daerah Otonom Baru itu itu mengabaikan aspirasi masyarakat Papua. Itu murni penjajahan di Tanah Papua yang dilanjutkan oleh pemerintah,” kata Goo. (*)
Discussion about this post