Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua Emanuel Gobay menilai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura dan Pengadilan Tinggi Tata Negara Manado tidak mematuhi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (Perma Nomor 1 Tahun 2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup karena mengabaikan perkara gugatan dan banding masyarakat adat suku Awyu.
Hal itu disampaikan Direktur LBH Papua, di Kota Jayapura, Papua, Senin (29/4/2024). Emanuel Gobay menjelaskan bahwa dalam aturan hukum acara baik pidana maupun perdata termasuk juga hukum tata usaha negara telah ada pedoman yang dibuat oleh Mahkamah Agung atau MA RI.
Pedoman itu dikhususkan kepada hakim yang memeriksa perkara lingkungan agar mematuhi prinsip-prinsip yang ditetapkan. Namun menurut Gobay dalam perkara masyarakat adat suku Awyu pedoman itu tidak dipatuhi.
“Kami temukan fakta bahwa hakim PTUN Jayapura mengabaikan surat edaran MA tentang pedoman hakim memeriksa perkara lingkungan di PTUN. Fakta itu kita lihat saat hakim ini menyebutkan dia tidak punya kewenangan untuk membuka AMDAL [Analisis Mengenai Dampak Lingkungan],” ujar Gobay.
Padahal kata Gobay, dalam Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun pedoman MA tersebut hakim pemeriksa perkara lingkungan Hidup di PTUN itu wajib membuka perkara yang dimaksud. Ketika beralasan tidak memiliki kewenangan untuk membuka dokumen AMDAL dalam perkara tersebut itu menunjukkan bahwa hakim mengesampingkan peraturan MA RI No 1 Tahun 2023.
“Inilah yang menjadi hambatan ketidakprofesionalan hakim di pengadilan. Tidak hanya berhenti di PTUN Jayapura tapi rupanya di PTTUN Manado juga melakukan hal yang sama yaitu mengabaikan pedoman perkara lingkungan hidup. Ini menjadi temuan bahwa antara hakim PTUN Jayapura tingkat pertama dan PTTUN Manado tingkat banding itu sama saja tidak profesional,” keluhnya.
Direktur LBH Papua yang menjadi anggota Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua itu menyatakan hakim sebagai representasi lembaga yudikatif yang sejajar dengan lembaga eksekutif atau pemerintah telah melakukan kecerobohan yang fatal dengan merujuk pada UUD 1945 pasal 28 I ayat 4 tentang Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai tanggung jawab Negara terutama pemerintahan.
“Sikap hakim sebagai representatif lembaga yudikatif ini mencerminkan sebuah pembangkangan terhadap konstitusi yang padahal mewajibkannya melindungi hak, dalam hal ini melindungi hak-hak masyarakat adat. Ini yang menjadi fakta miris dalam bernegara di Indonesia yang mengaku Negara hukum,” ujar Emanuel.
Ia menambahkan saat ini perkara masyarakat adat suku Awyu itu sendiri sedang berada pada tahap kasasi ke MA RI. Sementara temuan-temuan fakta terhadap perilaku hakim yang tidak profesional tersebut pihaknya telah melaporkan ke Komisi Yudisial.
Terkait kasus-kasus lingkungan dan masyarakat adat yang dibawa ke pengadilan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Papua Maikel Primus Peuki mengatakan pengadilan negeri yang ada di Papua ini merasa baru menangani perkara masyarakat adat dan lingkungan, sehingga dalam keputusan-keputusan hakim sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
“Kita punya pengamatan di pengadilan-pengadilan, hakim-hakim di Papua itu sangat minim sekali [menangani] isu-isu lingkungan, hutan, masyarakat adat. Hal-hal ini dirasa baru bagi mereka, seperti PTUN Jayapura sini dan hakimnya, sehingga hal ini [membuat] mereka [berpotensi] keliru dengan keputusan-keputusan yang mereka buat,” Kata Maikel Peuki.
Pada 2 November 2023, majelis hakim yang yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusup Klemen SH dan Donny Poja SH menyatakan gugatan masyarakat adat Suku Awyu tidak beralasan hukum dan ditolak. Pada 22 November 2023 Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua selaku penasehat hukum masyarakat adat Suku Awyu mengajukan banding ke PTTUN Manado.
Pada 29 Februari 2024 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Manado menyatakan menolak banding karena permohonan gugatan penggugat telah lewat waktu sembilan puluh hari/daluwarsa sejak diketahuinya surat keputusan objek sengketa. PTTUN Manado juga menyatakan permohonan penundaan pelaksanaan objek sengketa ditolak. Pada 14 Maret 2024, masyarakat adat Suku Awyu mendaftarkan kasasi mereka ke PTUN Jayapura. (*)
Discussion about this post