Jayapura, Jubi – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pada Senin (3/2/2025) menyampaikan keterangan pers tertulis bersama untuk menyikapi kasus kekerasan yang dilakukan prajurit TNI terhadap pacarnya di Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten. Koalisi itu menyoroti kekerasan oleh prajurit TNI terus berulang menunjukkan bahwa sistem peradilan militer gagal.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Mereka menyoroti kasus penemuan jenazah perempuan di sebuah kosan di Pondok Aren yang merupakan korban penganiayaan oleh TS, prajurit Batalion Infanteri 318/Adhirajasa Yudha.
Meskipun prajurit Batalion Infanteri 318/Adhirajasa Yudha yang menjadi pelaku pembunuhan itu telah disersi sejak 19 Januari 2025, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa TS adalah prajurit TNI aktif.
Koalisi menyatakan insiden itu bukan yang pertama kali terjadi. Insiden itu juga disebut menambah daftar panjang kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum militer terhadap warga sipil.
Koalisi menegaskan bahwa sistem peradilan militer gagal dalam mencegah berulangnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI. Sistem peradilan militer juga dinilai telah gagal memberikan keadilan bagi korban/ keluarga korban.
Siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan itu menyatakan sebelumnya juga terjadi insiden penembakan bos rental mobil di Kilometer 45 Tangerang yang dilakukan oleh anggota TNI aktif. “Kita juga tidak boleh lupa bahwa sebelumnya telah terjadi penyerangan dan pembunuhan terhadap warga sipil oleh puluhan anggotan TNI aktif di Deli Serdang yang hingga kini proses hukumnya juga tidak jelas,” demikian keterangan Koalisi.
“Kami mencatat beberapa kasus lain yang memperlihatkan pola impunitas yang sama adalah penyiksaan yang mengakibatkan kematian terhadap Jusni, yang hingga kini masih menyisakan pertanyaan besar mengenai keadilan bagi korban. Juga pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani [di Tanah Papua] yang memperlihatkan hukum militer sering kali gagal membawa pelaku ke pengadilan yang transparan dan akuntabel,” demikian keterangan pers Koalisi.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI terhadap warga sipil harus segera dihentikan. Mereka menyatakan reformasi peradilan militer harus segera dilakukan.
Koalisi menekankan bahwa kewenangan peradilan militer mengadili prajurit TNI yang menjadi terdakwa kasus pidana umum bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000. Pasal 3 ayat (4) huruf a ketetapan itu menyatakan bahwa “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.
Hal itu juga telah ditegaskan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Beleid itu menyatakan bahwa prajurit tunduk pada peradilan militer untuk pelanggaran hukum militer, sementara pelanggaran hukum pidana umum harus diselesaikan melalui peradilan umum.
“Sudah seharusnya anggota TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum diadili dalam sistem peradilan umum yang lebih terbuka, akuntabel, dan dapat diawasi oleh publik secara luas. Kekerasan oleh anggota TNI bukan sekadar tindakan oknum, melainkan didukung oleh sistem yang memungkinkan pelaku menghindari hukuman setimpal. Tanpa reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan militer dan mekanisme pertanggungjawaban yang lebih kuat, kasus serupa akan terus berulang,” demikian keterangan pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Koalisi itu mendesak pemerintah dan Panglima TNI untuk memastikan proses hukum yang menjunjung asas keadilan dan transparansi dengan menyelesaikan kasus itu.
Mereka juga meminta pemerintah dan DPR segera mengambil langkah nyata untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. “Reformasi peradilan militer merupakan mandat yang secara tegas dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000, dan merupakan kewajiban Konstitusional negara untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum,” demikian pernyataan pers Koalisi. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!