Jayapura, Jubi – Praperadilan terhadap SP3, yang diterbitkan oleh Kepala Kepolisian Sektor Jayapura Utara telah diputuskan Hakim Tunggal Zakarias Talapaty, S.H dengan menolak praperadilan tersebut, karena hakim mempertimbangkan SP3 tersebut telah sah karena kurangnya saksi yg melihat peristiwa teror bom molotov.
Direktur Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R. Kawer mengatakan, kasus teror bom molotov ini seharusnya dianggap serius oleh Polda Papua, dengan melibatkan Densus 88.
“Bukan ‘meremehkan’ penanganan dengan membiarkan pihak penyidik di level polsek untuk menangani perkara serius ini, karena kualitas penyidik dan peralatan yang minum, berdampak pada kesimpulan kurangnya saksi yang melihat kejadian,” kata Gustav Kawer seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Papua, Selasa (9/7/2024).
Kawer berujar, teror bom molotov terhadap jurnalis senior Victor Mambor merupakan perkara serius, karena masuk delik pidana khusus yang diatur dalam UU Teroris dan UU Kepemilikan Senjata Api dan Amunisi.
“Penanganannya harus serius oleh pihak kepolisian, karena menyangkut keselamatan orang/masyarakat umum,” ujarnya.
Ketidakseriusan pihak kepolisian dalam penanganan perkara ini hingga terbitnya SP3, lanjutnya, diikuti lagi oleh Hakim Tunggal Zaka Talapatty, S.H dengan menolak praperadilan, tanpa mempertimbangkan bukti surat dan saksi-saksi secara komprehensif, baik bukti surat dan saksi yang diajukan pemohon, maupun bukti surat dan saksi yang diajukan termohon.
Dalam proses hukum pidana yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, untuk menemukan suatu peristiwa adalah peristiwa pidana. Dan pelaku tindak pidana adalah pihak polisi yang diberi mandat dalam UU Kepolisian dan KUHAP, bukan korban/pelapor, keluarga korban dan pihak ketiga/LSM yang berkepentingan.
“Sangat aneh jika beban pembuktian diberikan kepada korban atau pelapor.”
Menurut Kawer, putusan praperadilan ini jelas menjadi preseden buruk bagi pengungkapan teror terhadap jurnalis, apalagi dilakukan dengan teror bom molotov yang dampaknya sangat serius terhadap korban dan masyarakat umum.
Teror ini dilakukan di Kota Jayapura, wilayah yang dari sisi pengungkapan kasus ini seharusnya sangat mudah dilakukan jika polisi bekerja “digdaya”.
“Kasus ini tentu menjadi misteri bagi jurnalis senior Victor Mambor yang menjadi korban dan masyarakat umum, bagaimana kasus-kasus ini mau diungkap jika pihak kepolisian dan hakim bekerja ‘seremeh’ ini? Masyarakat umum dan insan pers, tentu butuh polisi dan hakim ‘yang bekerja digdaya’ supaya kedepan teror bom seperti ini dapat diungkap,” katanya. (*)