Jayapura, Jubi – Masyarakat adat pemilik tanah Welesi tetap menolak segala aktivitas yang mendukung pembangunan kantor gubernur Papua Pegunungan di lokasi tanah yang bersengketa wilayah Wouma dan Welesi. Mereka meminta lokasi pembangunan itu dikaji ulang.
“Oleh karena itu kami meminta kepada Pj Gubernur Papua Pegunungan, Pj Bupati Jayawijaya agar soal lokasi pembangunan kantor itu kaji kembali bersama, karena tanah itu bersengketa sampai hari ini… Jadi [sebelum ada mediasi] jangan ada aktivitas apapun di lokasi itu,” kata Erwin Kuwan perwakilan masyarakat adat.
Permintaan itu disampaikan masyarakat yang didampingi kuasa hukum, pada konferensi pers masyarakat pemilik tanah Welesi yang menolak pembangunan di lahan produktif perkebunan masyarakat, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Kota Jayapura, Papua, Selasa (4/6/2024).
Perwakilan mahasiswa dan masyarakat adat wilayah Wouma, Kilitius Wetipo mengatakan terkait pro kontra pembangunan kantor tersebut, pihaknya terus mengadvokasi sejak tahun 2022-2024 dengan tuntutan agar Pemprov Papua Pegunungan segera lakukan mediasi. Tetapi sampai kini belum ada tindakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut.
“Perlu ada mediasi oleh pemerintah dengan kedua bela pihak pro dan kontra terkait perjelas status tanah. Tanah Balim, Wouma, atau Welesi itu bukan milik satu dua orang, atau satu klen saja. Tapi semua masyarakat adat wilayah Wouma dan Welesi sama memiliki hak atas tanah itu,” kata Klitius.
Jadi perlu ada kesepakatan bersama dan perlu duduk sama-sama, lanjut Kilitius Wetipo. Tapi sejauh ini, sayangnya, hanya beberapa orang yang dilibatkan dan sebagian sengaja diabaikan. “Intinya kami minta perlu ada ruang yang harus dibuka antara pro dan kontra supaya ini diperjelas sebenarnya siapa punya? Dan seharusnya bagaimana?” kata Wetipo.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay, selaku kuasa hukum masyarakat yang menolak pembangunan kantor gubernur Papua Pegunungan menegaskan bahwa dirinya dan tim Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia atau KPH HAM Papua telah menandatangani surat kuasa masyarakat adat yang kontra pembangunan kantor gubernur, sejak tahun lalu.
“Dalam surat kuasa itu, intinya masyarakat adat meminta kami mendampingi secara hukum apabila apa yang ditolak [pembangunan kantor gubernur di lokasi sengketa] tetap diwujudkan [oleh pemerintah], maka kami diminta untuk melakukan upaya hukum baik pidana, perdata, maupun Hak Asasi Manusia,” kata Gobay.
Emanuel Gobay menjelaskan bahwa kliennya telah bertemu dengan Pj Gubernur Papua Pegunungan dan telah menyampaikan penolakan pembangunan kantor gubernur di Welesi itu. Dan Pj Gubernur telah menerima kliennya sehingga penjabat gubernur paling tidak mengetahui persoalan sebenarnya yang terjadi.
“Siapa-siapa aktor yang bermain rencana pembangunan kantor ini, kepentingan apa? Itu semua sudah diketahui oleh Pak Pj Gubernur,” ujarnya.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP Latifah Anum Siregar, yang juga anggota tim kuasa hukum menekankan bahwa kliennya bukan kelompok penolak pembangunan di Provinsi Papua Pegunungan. Kliennya berpendapat bahwa pada saat proses pelepasan tanah ulayat itu, ada pihak-pihak yang tidak dilibatkan oleh pemerintah.
“Padahal mereka yang menolak lokasi pembangunan kantor gubernur ini juga punya hak dan bagian dari tanah bermasalah itu,” katanya.
Ia menilai pemerintah tidak mempertimbangkan aspek budaya, sosial, ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan untuk masyarakat pemilik hak ulayat, dalam hal ini Orang Asli Papua di tempat tersebut dan kliennya, telah berjuang dua tahun namun tidak direspon oleh Pemprov Papua Pegunungan.
“Minggu lalu mereka bisa bertemu dengan Pj Gubernur, mereka bisa bertemu Ketua Komisi II DPR RI. Meski pertemuan itu singkat tapi kami berharap para pejabat ini menyampaikan, mendiskusikan untuk mencarikan solusi yang terbaik,” ujar Siregar.
Dia mengingatkan, pembangunan yang berhasil dilakukan oleh pemerintah apabila didukung secara maksimal oleh masyarakat, mampu menyejahterakan, mendamaikan, dan mampu menjaga keberlangsungan hidup masyarakat.
“Kalau pemerintah tidak bisa mewujudkan itu, berarti pemerintah gagal,” katanya.
Direktur ALDP juga menyarankan kepada pemerintah untuk mengundang kelompok pro dan kontra atas lokasi pembangunan kantor itu, supaya mendiskusikan dan membicarakannya solusi atau mendapatkan titik terang.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!