Jayapura, Jubi – Pemerintah Indonesia didesak membuka ruang dialog damai guna menyelesaikan konflik bersenjata di Tanah Papua. Pendekatan keamanan selama ini senantiasa menuai masalah dan mengorbankan warga sipil.
Demikian disampaikan Juru Bicara Jaringan Damai Papua atau JDP, Yan Christian Warinussy pada Senin (15/4/2024). “JDP menyerukan dikedepankannya cara damai dalam penyelesaian konflik bersenjata di wilayah Tanah Papua,” kata Warinussy kepada Jubi via pesan WhatsApp.
Warinussy mengatakan JDP sejak 2010 telah mendorong dialog damai guna menyelesaikan persoalan di Tanah Papua. Dialog damai itu didorong melalui berbagai forum, salah satunya melalui pertemuan (exploratif meeting) yang dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia, yaitu Denpasar (Bali), Manado (Sulawesi Utara), Semarang (Jawa Tengah), Yogyakarta (DIY), dan Jakarta (DKI).
“JDP telah tampil di garda terdepan dalam mengajak para pemangku kepentingan untuk duduk semeja dan berbicara tentang apa dan bagaimana dialog damai itu dapat diwujudkan,” ujarnya.
Warinussy mengatakan JDP memilih kota-kota tersebut dengan pertimbangan agar persoalan Papua harus kian populer di wilayah luar Papua dan dapat memperoleh respon positif dari masyarakat non-Papua. Ia mengatakan saat itu pemimpin di daerah tersebut banyak berbicara dan ikut mendorong dialog damai, seperti Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
“Dalam pertemuan tersebut para pemangku kepentingan diberikan kesempatan yang seluasnya untuk menyampaikan atau mengeksplorasi cita-cita, harapan, dan komitmennya masing-masing tentang dialog Papua dan Jakarta, serta cara dan langkah bagaimana mewujudkan dialog damai tersebut,” katanya.
Menurut Warinussy, Presiden Joko Widodo dan jajaran di pemerintahannya mesti bertanggung jawab dalam menghentikan konflik bersenjata dan kekerasan di wilayah Papua. “Penyelesaian konflik melalui jalan mengangkat senjata tidak akan pernah menyelesaikan masalah apapun,” ujarnya.
JDP, tambahnya, senantiasa menyerukan agar pendekatan dalam upaya menyelesaikan konflik sosial politik di Tanah Papua yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun hanya bisa dilakukan melalui dialog Jakarta-Papua yang damai.
Komnas HAM mencatat 12 peristiwa kekerasan dan konflik bersenjata yang terjadi di Papua yang menyasar anggota TNI/Polisi maupun warga sipil sepanjang Maret hingga April 2024. Selusin peristiwa hanya dalam dua bulan itu mengakibatkan 5 anggota TNI/Polisi dan 3 warga sipil meninggal dunia, 4 warga sipil dan 5 anggota TNI/Polisi luka-luka, dan 2 perempuan mengalami Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pemerintah tidak setuju dialog Jakarta-Papua
Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Cahyo Pamungkas mengatakan tidak ada komitmen dari pemerintah pusat untuk menggelar dialog damai Jakarta-Papua. Cahyo mengatakan Jaringan Damai Papua terus mendorong, namun pemerintah pusat hanya mau berdialog terkait masalah sektoral seperti pendidikan dan kesehatan.
“Perjuangan dialog itu sudah dilakukan JDP dengan bertemu dengan Presiden Jokowi pada 2016, tetapi pemerintah tidak setuju dengan dialog Jakarta-Papua. Pemerintah hanya setuju dialog antara pemerintah dengan masyarakat Papua untuk masalah-masalah sektoral seperti kesehatan hingga pendidikan,” kata Cahyo kepada Jubi via telepon, Senin (15/4/2024).
Cahyo khawatir akan pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah pusat semakin meningkatkan eskalasi konflik bersenjata di Tanah Papua. Menurutnya perubahan istilah dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Kelompok Separatis Teroris (KST) kembali menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) kemungkinan akan diberlakukannya operasi militer.
KontraS mencatat sekitar 1.147 pasukan TNI/Polri dari luar Papua, terdiri atas 142 anggota polisi dan 1.005 anggota TNI telah dikirim ke Tanah Papua periode Januari 2023 hingga Februari 2024.
“Pendekatan keamanan yang lebih insentif dan dampak konflik bersenjata akan semakin meningkat, akan membuka peluang banyak jatuh korban sipil. Perubahan istilah KBB kembali menjadi OPM itu memberikan kesan bahwa ada kemungkinan akan diberlakukan operasi militer dan dalam operasi militer yang menjadi ujung tombak TNI/Polisi. Tapi peran TNI akan diperbesar mengatasi OPM,” katanya.
Akan tetapi, menurut Cahyo dengan perubahan istilah itu juga menunjukkan adanya pengakuan entitas politik Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perubahan istilah itu, artinya pandangan terhadap konflik di Papua sudah berbeda.
“Ada pengakuan terhadap entitas politik OPM. Secara tidak langsung mengakui kelompok pro kemerdekaan Papua. Dulu mereka [TNI] menganggap konflik itu disebabkan KBB yang dihadapi dengan operasi penegakan hukum,” ujarnya.
Menurutnya perubahan istilah ini juga ikut membuka peluang dialog damai. “Membuka kemungkinan dialog tetap ada untuk jeda kemanusian, selanjutnya dialog damai,” ujarnya.
Penentuan nasib sendiri
Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk mengatakan tidak ada masa depan orang Papua bersama Indonesia. Haluk mengatakan situasi yang terjadi di Papua tidak bisa dianggap hal yang wajar.
“Situasi krisis kemanusian di Tanah Papua tidak bisa dibiarkan. Ini sudah waktunya orang Papua bangkit dan menyatakan bahwa kami orang Papua ingin hidup bebas dan punya masa depan,” ujarnya.
Haluk mengatakan orang Papua dalam berbagai kesempatan menyerukan bahwa Pemerintah Indonesia, PBB, dan berbagai pihak yang terlibat dalam masalah Papua harus mendengar, melihat, dan memberikan kemerdekaan bagi Papua.
“Dengar suara kami, lihat kami, beri kami kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Nah, mandat itu juga yang diberikan melalui deklarasi Saralana di Vanuatu pada 6 Desember 2014. ULMWP menjaga mandat itu bagaimana berjuang untuk menentukan nasib sendiri,” katanya.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan penyelesaian konflik bersenjata seperti yang terjadi di belahan dunia dan secara khusus di Indonesia itu hanya melalui penyelesaian politik. Usman mengatakan operasi militer tidak akan pernah menumpaskan Organisasi Papua Merdeka.
“Karena kalau dilihat dari sejarah OPM itu jelas, memang punya tujuan politik membangun kemerdekan, membangun negara. Jadi bukan bersifat seperti organisasi mafia di New York 1980, mafia di Meksiko, kartel bersenjata di Kolombia. Bukan kartel-kartel narkotika yang mencari keuntungan dengan cara-cara kekerasan. OMP bukan itu, makanya dia tidak bisa dimatikan dengan pendekatan operasi militer seintensif apapun. Karena dia hidup di dalam nasionalisme orang Papua. Ada nasionalisme di Papua yang saling berkonflik. Nasionalisme Indonesia dan Papua ini yang saya kira menjadi penting untuk menjadi evaluasi,” ujarnya.
Menurut Usman harus didorong terus penyelesaian persoalan konflik bersenjata di Tanah Papua. Usman mengakui hal itu tidak mudah, tetapi harus terus dicoba, karena tidak ada perundingan damai di dunia yang berhasil satu-dua kali pembicaraan.
“Sebenarnya ada unsur-unsur di dalam pemerintah dan juga di gerakan pro-kemerdekaan Papua sangat ingin untuk membangun kepercayan itu. Tidak ada yang sekali duduk lalu berhasil, tidak ada di dunia perdamaian seperti itu. Perdamaian itu dihasilkan dari pertemuan, penjajakan berkali-kali, kegagalan berkali-kali, dan pada akhirnya berhasil,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!